Konglomerasi Media dan dampaknya
Konglomerasi
Media adalah penggabungan perusahaan media menjadi perusahaan yang
lebih besar yang
membawahi banyak media. Konglomerasi ini dilakukan dengan melakukan korporasi
dengan perusahaan media lain yang dianggap mempunyai visi yang sama. Pembentukan konglomerasi ini dengan cara
kepemilikan saham, joint venture / merger, atau pendirian kartel komunikasi
dalam skala besar baik intergrasi vertikal, intergasi horisontal maupun kepemilikan silang. Akibatnya kepemilikan media yang berpusat
pada segelintir orang. Contoh dalam hal ini Trans7 dan Trans TV berada pada
payung bisnis yang sama yakni Trans Corp yang dikuasai oleh Chairul Tanjung,
Global TV, RCTI dan TPI bergabung dalam Group MNC dan bertindak selaku pemilik
di Indonesia adalah hary Tanoesoedibyo, TV One dan ANTV bernaung di bawah
bendera Bakrie Group dengan Boss utama Abu Rizal bakrie, SCTV yang sebahagian
besar sahamnya dimiliki oleh Eddy Sariatmadja, dan yang terakhir Metro TV
dengan Surya Paloh pemimpinnya yang termasyhur karena wajahnya sering
ditampilkan oleh TV yang dimilikinya sendiri. kalo di tingkat dunia internasional kita mengenal Rupert Murdoch.
Intinya
adalah kepemilikan media pada hanya segelintir orang saja, membentuk sebuah
gurita media karena satu orang menguasai berbagai media. Mungkin bagi
kebanyakan orang nampaknya hal ini
sah-sah saja, karena setiap orang pasti akan selalu berusaha untuk
mengembangkan usahanya. Tetapi ternyata konglomerasi mempunyai dampak yang luar
biasa berbahaya bagi masyarakat, karena dapat membentuk opini tertentu yang
tidak sehat, sterotipe pada suatu hal tertentu dan lain-lain.
Konglomerasi
Media di Indonesia menyebabkan satu orang dapat menguasai banyak media,
sehingga orang tersebut dapat mengendalikan berbagai media dalam satu waktu,
dari kebijakan yang harus dianut, berita mana yang layak di publikasikan,
nilai-nilai yang dianut dan sebagainya. Akibatnya jika media yang tergabung
dalam satu group tertentu maka berita dan informasi yang disampaikan akan
homogen. Selain itu berita yang disampaikan hanya berita yang dianggap
menguntungan secara ekonomi bagi media atau pemilik media tersebut. Akhirnya berita tidak lagi dinilai dari seberapa
besar nilai beritanya, tetapi berapa banyak keuntungan yang akan
didapatkan dari pemuatan berita tersebut. Sebetulnya ini merupakan tanda-tanda
bahwa regulasi atau peraturan yang mengatur tentang kepemilikan media tidak berjalan dengan baik. Padahal konglomerasi media berbahaya dan mengancam kebebasan pers.
Contoh
ANTV karena saham terbesarnya milik keluarga Bakri, maka bagaimana pun tidak
akan pernah ada berita yang akan mengangkat lumpur lapindo dan penderitaan
masyarakat yang ada di sana.
Televisi lain adalah Metro TV yang sering kali menyiarkan pemberitaan tentang Partai Nasional Demokrat, padahal kalo diperhatikan nilai berita mungkin tidak terlalu tinggi. Tetapi karena kepentingan pemiliknya maka berita tersebut sering muncul. Kita dapat melihat media mana yang berkiblat pada partai politik apa, melihat pemilik media tersebut. Peta dukungan media kepada partai politik pun dapat terlihat jelas.
Konglomerasi menjadi sangat berbahaya, karena informasi yang disampaikan oleh media dalam satu konglomerasi merupakan berita yang sama atau homogen. Sehingga masyarakat yang menggunakan media tersebut menganggap berita tersebut adalah benar dan realita. Masyarakat tidak mengetahui bahwa realita dangan realita media itu berbeda, Karena media tentu saja mempunyai idealis dan sudut pandang yang berbeda. Sebelum berita disiarkan atau diterbitkan media punya kesempatan untuk memilah, memilih, memotong atau menambahkan isi berita tersebut. tentu saja yang disampaikan kepada khalayak adalah sesuatu yang menguntungkan media tersebut. Masyarakat tidak dapat membedakan realita dengan Realita media, sehingga masyarakat menganggap realita media adalah realita bahkan kita terjebak dalam hiperrealita. Konglomerasi media pun juga harus bertanggung jawab terhadap degradasi moral yang terjadi, karena tayangan dan berita nya sama dan seragam. Ketika ada konten negatif masyarakatpun akan belajar dengan konten terebut.
Baca Juga Link Terkait Konglomerasi Di Bawah Ini :
Televisi, Media dan Politik
Politik Televisi Pilpres 2019
Aturan Konglomerasi Media Di Indonesia
Intervensi Pemilik Media "Konglomerasi Media"
Bahaya Konglomerasi Media
Dampak Konglomerasi Media
Regulasi atau Aturan Konglomerasi Media Di Indonesia
Degradasi Moral dan Televisi
Bahaya Televisi
Pengusaha yang mempunyai banyak media
Televisi lain adalah Metro TV yang sering kali menyiarkan pemberitaan tentang Partai Nasional Demokrat, padahal kalo diperhatikan nilai berita mungkin tidak terlalu tinggi. Tetapi karena kepentingan pemiliknya maka berita tersebut sering muncul. Kita dapat melihat media mana yang berkiblat pada partai politik apa, melihat pemilik media tersebut. Peta dukungan media kepada partai politik pun dapat terlihat jelas.
Konglomerasi menjadi sangat berbahaya, karena informasi yang disampaikan oleh media dalam satu konglomerasi merupakan berita yang sama atau homogen. Sehingga masyarakat yang menggunakan media tersebut menganggap berita tersebut adalah benar dan realita. Masyarakat tidak mengetahui bahwa realita dangan realita media itu berbeda, Karena media tentu saja mempunyai idealis dan sudut pandang yang berbeda. Sebelum berita disiarkan atau diterbitkan media punya kesempatan untuk memilah, memilih, memotong atau menambahkan isi berita tersebut. tentu saja yang disampaikan kepada khalayak adalah sesuatu yang menguntungkan media tersebut. Masyarakat tidak dapat membedakan realita dengan Realita media, sehingga masyarakat menganggap realita media adalah realita bahkan kita terjebak dalam hiperrealita. Konglomerasi media pun juga harus bertanggung jawab terhadap degradasi moral yang terjadi, karena tayangan dan berita nya sama dan seragam. Ketika ada konten negatif masyarakatpun akan belajar dengan konten terebut.
- Beberapa Contoh Korporasi Media yang ada di Indonesia diantaranya :
- Media Nusantara Citra (MNC) Group milik Hary Tanoesoedibjo
- Mahaka Group milik Erick Tohir
- Kelompok Kompas Gramedia milik Jakob Oetama
- Jawa Pos Group milik Dahlan Iskan
- Media Bali Post Group milik Satria Narada
- Elang Mahkota Teknologi (EMTEK) Group milik Eddy Kusnadi Sariaatmadja
- Lippo Group milik James T Riady
- Bakrie & Brothers milik Anindya Bakrie
- Femina Group milik Pia Alisyahbana dan Mirta Kartohadiprodjo
- Media Group milik Surya Paloh
- Mugi Reka Aditama (MRA) Group milik Dian Muljani Soedarjo
- Trans Corporation milik Chairul Tanjung
- Tempo Group milik Goenawan Muhammad
- Bisnis Indonesia Group milik R Sukamdani S Gitosardjono
Referensi
Rohim, Syaiful. 2009. Teori Komunikasi. Rineka Cipta, Jakarta
Rohim, Syaiful. 2009. Teori Komunikasi. Rineka Cipta, Jakarta
Littlejhon, Stepen W, Foss, Karen A. 2009. Teori Komunikasi,
Salemba Humanika, Jakarta
Yasir. 2009. Pengantar Ilmu Komunikasi, Wita Irzani,
Pekanbaru
Televisi, Media dan Politik
Politik Televisi Pilpres 2019
Aturan Konglomerasi Media Di Indonesia
Intervensi Pemilik Media "Konglomerasi Media"
Bahaya Konglomerasi Media
Dampak Konglomerasi Media
Regulasi atau Aturan Konglomerasi Media Di Indonesia
Degradasi Moral dan Televisi
Bahaya Televisi
Pengusaha yang mempunyai banyak media
6 comments:
betul banget bro, setuju saya dengan tulisan ini, semoga nanti suatu saat kalau saya punya media ga seperti ini. Amiiinnn..
terimakasih mas.. ok mohon kalo ada informasi dan ilmu lagi mohon di share ya
Media semakin berkuasa jangan sampai kita diperdaya... Gunakan akal dan rasa , selektif membaca berita.
Media semakin berkuasa jangan sampai kita diperdaya... Gunakan akal dan rasa , selektif membaca berita.
keren
referensinya mana?
Post a Comment