Search This Blog

This is default featured post 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Monday, March 18, 2019

Pengertian Konglomerasi Media dan Dampaknya


Pengertian Konglomerasi Media dan Dampaknya


Definsi Konglomerasi Media 



Konglomerasi Media adalah penggabungan perusahaan mediamenjadi perusahaan yang lebih besar yang membawahi banyak media. Konglomerasi ini dilakukan dengan melakukan korporasi dengan perusahaan media lain yang dianggap mempunyai visi yang  sama. Pembentukan konglomerasi ini dengan cara kepemilikan saham, joint venture / merger, atau pendirian kartel komunikasi dalam skala besar baik intergrasi vertikalintergasi horisontalmaupun kepemilikan silang. Akibatnya kepemilikan media yang berpusat pada segelintir orang. Contoh dalam hal ini Trans7 dan Trans TV berada pada payung bisnis yang sama yakni Trans Corp yang dikuasai oleh Chairul Tanjung, Global TV, RCTI dan TPI bergabung dalam Group MNC dan bertindak selaku pemilik di Indonesia adalah hary Tanoesoedibyo, TV One dan ANTV bernaung di bawah bendera Bakrie Group dengan Boss utama Abu Rizal bakrie, SCTV yang sebahagian besar sahamnya dimiliki oleh Eddy Sariatmadja, dan yang terakhir Metro TV dengan Surya Paloh pemimpinnya yang termasyhur karena wajahnya sering ditampilkan oleh TV yang dimilikinya sendiri. kalo di tingkat dunia internasional kita mengenal Rupert Murdoch.
Intinya adalah kepemilikan media pada hanya segelintir orang saja, membentuk sebuah gurita media karena satu orangmenguasai berbagai media. Mungkin bagi kebanyakan  orang nampaknya hal ini sah-sah saja, karena setiap orang pasti akan selalu berusaha untuk mengembangkan usahanya. Tetapi ternyata konglomerasi mempunyai dampak yang luar biasa berbahaya bagi masyarakat, karena dapat membentuk opini tertentu yang tidak sehat, sterotipe pada suatu hal tertentu dan lain-lain.
Konglomerasi Media di Indonesia menyebabkan satu orang dapatmenguasai banyak media, sehingga orang tersebut dapat mengendalikan berbagai media dalam satu waktu, dari kebijakan yang harus dianut, berita mana yang layak di publikasikan, nilai-nilai yang dianut dan sebagainya. Akibatnya jika media yang tergabung dalam satu group tertentu maka berita dan informasi yang disampaikan akan homogen. Selain itu berita yang disampaikan hanya berita yang dianggap menguntungan secara ekonomi bagi media atau pemilik media tersebut. Akhirnya berita tidak lagi dinilai dari seberapa besar nilai beritanya, tetapi berapa banyak keuntungan yang akan didapatkan dari pemuatan berita tersebut. Sebetulnya ini merupakan tanda-tanda bahwa  regulasi atau peraturan yang mengatur tentang kepemilikan media tidak berjalan dengan baik. Padahal konglomerasi media berbahaya danmengancam kebebasan pers.
Contoh ANTV karena saham terbesarnya milik keluarga Bakri, maka bagaimana pun tidak akan pernah ada berita yang akan mengangkat lumpur lapindo dan penderitaan masyarakat yang ada di sana.
Televisi lain adalah Metro TV yang sering kali menyiarkan pemberitaan tentang Partai Nasional Demokrat, padahal kalo diperhatikan nilai berita mungkin tidak terlalu tinggi. Tetapi karena kepentingan pemiliknya maka berita tersebut sering muncul. Kita dapat melihat media mana yang berkiblat pada partai politik apa, melihat pemilik media tersebut. Peta dukungan media kepada partai politik pun dapat terlihat jelas. 
Konglomerasi menjadi sangat berbahaya, karena informasi yang disampaikan oleh media dalam satu konglomerasi merupakan berita yang sama atau homogen. Sehingga masyarakat yang menggunakan media tersebut menganggap berita tersebut adalah benar dan realita. Masyarakat tidak mengetahui bahwa realita dangan realita media itu berbeda, Karena media tentu saja mempunyai idealis dan sudut pandang yang berbeda. Sebelum berita  disiarkan atau diterbitkan media punya kesempatan untuk memilah, memilih, memotong atau menambahkan isi berita tersebut. tentu saja yang disampaikan kepada khalayak adalah sesuatu yang menguntungkan media tersebut. Masyarakat tidak dapat membedakan realita dengan Realita media, sehingga masyarakat menganggap realita media adalah realita bahkan kita terjebak dalam hiperrealita. Konglomerasi media pun juga harus bertanggung jawab terhadap degradasi moral yang terjadi, karena tayangan dan berita nya sama dan seragam. Ketika ada konten negatif masyarakatpun akan belajar dengan konten terebut.  

  • Beberapa Contoh Korporasi Media yang ada di Indonesia diantaranya :
  1. Media Nusantara Citra (MNC) Group milik Hary Tanoesoedibjo
  2. Mahaka Group milik Erick Tohir
  3. Kelompok Kompas Gramedia milik Jakob Oetama
  4. Jawa Pos Group milik Dahlan Iskan
  5. Media Bali Post Group milik Satria Narada
  6. Elang Mahkota Teknologi (EMTEK) Group milik Eddy Kusnadi Sariaatmadja
  7. Lippo Group milik James T Riady
  8. Bakrie & Brothers milik Anindya Bakrie
  9. Femina Group milik Pia Alisyahbana dan Mirta Kartohadiprodjo
  10. Media Group milik Surya Paloh
  11. Mugi Reka Aditama (MRA) Group milik Dian Muljani Soedarjo
  12. Trans Corporation milik Chairul Tanjung
  13. Tempo Group milik Goenawan Muhammad
  14. Bisnis Indonesia Group milik R Sukamdani S Gitosardjono

Referensi
Rohim, Syaiful. 2009. Teori Komunikasi. Rineka Cipta, Jakarta
Littlejhon, Stepen W, Foss, Karen A. 2009. Teori Komunikasi, Salemba Humanika, Jakarta
Yasir. 2009. Pengantar Ilmu Komunikasi, Wita Irzani, Pekanbaru


Baca Juga Link Terkait Konglomerasi Di Bawah Ini :

Televisi, Media dan Politik
Politik Televisi Pilpres 2019 
Aturan Konglomerasi Media Di Indonesia 
Intervensi Pemilik Media "Konglomerasi Media" 
Bahaya Konglomerasi Media
Dampak Konglomerasi Media 
Regulasi atau Aturan Konglomerasi Media Di Indonesia 
Degradasi Moral dan Televisi 
Bahaya Televisi 
Pengusaha yang mempunyai banyak media 

Televisi, Media dan Politik


Televisi, Media dan Politik


Media massa khusunya TV saat ini menjadi primadona di kalangan masyarakat dibandingakn dengan media lain seperti koran dan radio. Hampir setiap hari masyarakat selalu menonton TV, baik daerah perkotaan maupun yang tinggal di perdesaan. TV menjadi sarana informasi yang selalu terdepan dalam memberitakan berbagai hal yang terjadi di masyarakat.  Hal ini sangat disadari oleh pemilik media yang juga ketua partai politik. Dalam konteks media dan politik, ada premis yang berbunyi “siapa yang memiliki media massa, ia akan menguasai politik.” Hal ini terbukti terjadi di Italia. Mantan Perdana MenteriItalia,Silvio Berlusconi merupakan pemiliksebuah perusahaanmedia, dan dia dapat menguasai politik.
Kekhawatiran banyak kalangan terkait potensi tidak proporsionalnya berita politik dalam media penyiaran, tampaknya benar-benar terjadi. Hari ini secara kuantitas, potensi dukungan media televisi kepada capres Jokowi-Ma’ruf lebih besar dibandingkan dengan capres Prabowo-Uno. TV ONE,  dan ANTV, dekat ke Prabowo-Uno, sementara MNC TV, Global TV,  RCTI, Metro TV ke Jokowi-Ma’ruf. Yang menarik, ruang-ruang diskursif politik tidak sebatas bermodal dana kampanye yang menggunung, tetapi sekaligus oleh modal stabilitas media dalam menopang citra personal calon. Arus deras dukungan media televisi, menjadi satu magnet tersendiri, sebab siapa yang menguasai media, maka ia berpotensi menguasi suara. Politik media adalah gerakan strategis untuk mendapatkan kemenangan yang telah digaris.
Keberpihakan media dalam skala politik tentu bukan sesuatu yang instan dan tanpa sebab. Para pemangku kebijakan dalam industri media--dalam hal ini pemilik media--telah sejak awal menisbatkan kiprahnya dalam pusaran politik praktis. Sehingga, keberpihakan media terhadap salah satu calon, tidak ditentukan oleh nalar dan kadar profesionalitas jurnalisme, tetapi oleh kepentingan partikular pemilik media. Di sini, media televisi terancam menjadi mobilitas politik yang mengabaikan netralitas media sebagai penghubung kepentingan publik.
Kita analisa secara sederhana,
Kedekatan Chaerul Tanjung dengan megawati mengindikasikan gerbong yang dibekangnya  Trans7, Trans TV dan detik.com berada pada payung bisnis yang sama yakni Trans Corp Mendukung PDIP artinya Jokowi, tetapi walau masih abu-abu
Pernyataan Hary Tanoesoedibyo yang dukung Jokowi, memastikan Global TV, RCTI, TPI bergabung dalam Group MNC, Sindo TV, MNC TV, Koran Sindo, Trust, MNC Radio pasti dukung Perindo, perindo Pro Jokowi
Abu Rizal bakrie juga dukung prabowo, TV One dan ANTV bernaung di bawah bendera Bakrie Group pasti dukung Golongan Karya, tetapi menurut Tirto.id masih setia mendukung Prabowo
SCTV dan Indosiar  yang sebahagian besar sahamnya dimiliki oleh Eddy Sariatmadja ini dukung siapa ya ? abu-abu
Metro TV dan media Indonesia dengan bergabungnya  Surya Paloh (nasdem ke PDIP) Jelas akan dukung jelas NAsdem dan PDIP, dipastikan mendukung Jokowi
Namun hal ini tidak berlaku bagi wartawan. Seorang wartawan memang menyuarakan berbagai fenomena di masyarakat dan tetap bersikap netral tidak menjadi media corong dari petinggi parpol. Anggapan menyamakan wartawan corong dari partai tentu merendahkan derajat seorang wartawan yang bekerja pada instusi media. Wartawan yang profesional memegang kode etik jurnalisme dalam mencari betrita. Wartawan sebagai kuli tinta setiap hari mencari berita untuk masyarakat, bukan robot yang dapat disetir dan dikendalikan para pemilik kepentingan.
Kedua kekuatan media yaitu TVOne dan MetroTV, apabila tidak disadari oleh media lain, tentu akan menjadi saingan politik yang tidak seimbang. Para penguasa partai politik seharusnya dapat memanfaatkan media dalam bentuk pemberitaan yang berimbang, namum dalam prakteknya hal itu sulit terlaksana. Terlihat adanya perbedaan yang menonjol dalam kampanye iklan antara parpol yang kaya dan parpol yang miskin. Namun sepertinya dewan pers maupun Komisi Penyiaran Indonesia belum bertidak secara serius menangani hal ini.
Secara teorits, pers sebaiknya tidak memihak, harus independent dan kredibel dalam memberitakan informasi kepada masyarakat. Namun prakteknya, pers sering mempunyai kepentingan apalagi jika menyangkut petinggi partai yang menyokong dana media cetak atau media penyiaran seperti TV atau radio.
Dalam pemberitaannya, media harus mengedepankan prinsip obyektif, independen dan berimbang. Namun seperti yang pernah disampaikan Jakob Oetama dalam pidato pengukuhan gelar doktor honoris causa dari Universitas Gajah Mada, “obyektivitas media massa merupakan obyektivitas yang subyektif.” Bisnis industri televisi memang menggiurkan dan sarat akan nilai kapitalisme. Pengusaha yang mempunyai modal besar dapat menggelontorkan uangnya untuk membangun sebuah media penyiaran yang nantinya dapat mendukung kegiatan dan sarana kampanye parpol.
Konglomerasi Media adalah penggabungan perusahaan media menjadi perusahaan yang lebih besar yang membawahi banyak media. Konglomerasi ini dilakukan dengan melakukan korporasi dengan perusahaan media lain yang dianggap mempunyai visi yang  sama. Pembentukan konglomerasi ini dengan cara kepemilikan saham, joint venture / merger, atau pendirian kartel komunikasi dalam skala besar baik intergrasi vertikal, intergasi horisontal maupun kepemilikan silang.
Intinya adalah kepemilikan media pada hanya segelintir orang saja, membentuk sebuah gurita media karena satu orang menguasai berbagai media. Mungkin bagi kebanyakan  orang nampaknya hal ini sah-sah saja, karena setiap orang pasti akan selalu berusaha untuk mengembangkan usahanya. Tetapi ternyata konglomerasi mempunyai dampak yang luar biasa berbahaya bagi masyarakat, karena dapat membentuk opini tertentu yang tidak sehat, sterotipe pada suatu hal tertentu dan lain-lain.
Konglomerasi Media di Indonesia menyebabkan satu orang dapat menguasai banyak media, sehingga orang tersebut dapat mengendalikan berbagai media dalam satu waktu, dari kebijakan yang harus dianut, berita mana yang layak di publikasikan, nilai-nilai yang dianut dan sebagainya. Akibatnya jika media yang tergabung dalam satu group tertentu maka berita dan informasi yang disampaikan akan homogen. Selain itu berita yang disampaikan hanya berita yang dianggap menguntungan secara ekonomi bagi media atau pemilik media tersebut. Akhirnya berita tidak lagi dinilai dari seberapa besar nilai beritanya, tetapi berapa banyak keuntungan yang akan didapatkan dari pemuatan berita tersebut. Sebetulnya ini merupakan tanda-tanda bahwa  regulasi atau peraturan yang mengatur tentang kepemilikan media tidak berjalan dengan baik. Padahal konglomerasi media berbahaya dan mengancam kebebasan pers.
Dalam tulisannya, Waren Breed (1955) Social control in The Newsroom , menegaskan bahwa gelombang media penyiaran pada akhirnya akan surut ketika politik telah masuk menjadi kanker kehidupan media massa, terutama televisi. Televisi menjadi sebuah black box karena sarat kepentingan politik yang turut menentukan arah  pemberitaan. Kerja televisi tidak sebatas berkutat pada proses linear, sekadar langkah-langkah kegiatan memproduksi berita. Tetapi, oleh ambisi politik salah satu kandidat yang dipaksakan.
Televisi telah menjelma menjadi dua arus besar. Pertama, televisi memainkan peran sebagai alat politik (political tool) terhadap kandidat, kemudian pada saat yang sama pendukung kritis (critical supporter) bahkan pembengkang (spoiler)terhadap  kandidat lain yang dianggap sebagai lawan. Ekspektasi ini akan mencederai gugus politik yang berkembang. Setidaknya bagi mereka yang tidak memiliki banyak dukungan dari media televisi akan berpotensi menjadi sasaran empuk instabilitas sebuah citra. Jika pada rezim Orde Baru televisi seperti RCTI, SCTV, dan Indosiar, harus mendukung penuh program pemerintah dan partai politik tertentu karena terancam oleh gerakan Represif State Aparatus, tetapi justru kini setelah semuanya bebas dan aman media menjelma menjadi penopang strategis gerakan politik.


Referensi

Rohim, Syaiful. 2009. Teori Komunikasi. Rineka Cipta, Jakarta
Littlejhon, Stepen W, Foss, Karen A. 2009. Teori Komunikasi, Salemba Humanika, Jakarta
Yasir. 2009. Pengantar Ilmu Komunikasi, Wita Irzani, Pekanbaru






Politik Televisi Pilpres 2019


Politik Televisi Pilpres 2019 

Konglomerat Media Di Indonesia

Kekhawatiran banyak kalangan terkait potensi tidak proporsionalnya berita politik dalam media penyiaran, tampaknya benar-benar terjadi. Hari ini secara kuantitas, potensi dukungan media televisi kepada capres Jokowi-Ma’ruf lebih besar dibandingkan dengan capres Prabowo-Uno. TV ONE,  dan ANTV, dekat ke Prabowo-Uno, sementara MNC TV, Global TV,  RCTI, Metro TV ke Jokowi-Ma’ruf. Yang menarik, ruang-ruang diskursif politik tidak sebatas bermodal dana kampanye yang menggunung, tetapi sekaligus oleh modal stabilitas media dalam menopang citra personal calon. Arus deras dukungan media televisi, menjadi satu magnet tersendiri, sebab siapa yang menguasai media, maka ia berpotensi menguasi suara. Politik media adalah gerakan strategis untuk mendapatkan kemenangan yang telah digaris.
Keberpihakan media dalam skala politik tentu bukan sesuatu yang instan dan tanpa sebab. Para pemangku kebijakan dalam industri media--dalam hal ini pemilik media--telah sejak awal menisbatkan kiprahnya dalam pusaran politik praktis. Sehingga, keberpihakan media terhadap salah satu calon, tidak ditentukan oleh nalar dan kadar profesionalitas jurnalisme, tetapi oleh kepentingan partikular pemilik media. Di sini, media televisi terancam menjadi mobilitas politik yang mengabaikan netralitas media sebagai penghubung kepentingan publik.

Kita analisa secara sederhana:

  • Kedekatan Chaerul Tanjung dengan megawati mengindikasikan gerbong yang dibekangnya  Trans7, Trans TV dan detik.com berada pada payung bisnis yang sama yakni Trans Corp Mendukung PDIP artinya Jokowi, tetapi walau masih abu-abu
  • Pernyataan Hary Tanoesoedibyo yang dukung Jokowi, memastikan Global TV, RCTI, TPI bergabung dalam Group MNC, Sindo TV, MNC TV, Koran Sindo, Trust, MNC Radio pasti dukung Perindo, perindo Pro Jokowi
  • Abu Rizal bakrie juga dukung prabowo, TV One dan ANTV bernaung di bawah bendera Bakrie Group pasti dukung Golongan Karya, tetapi menurut Tirto.id masih setia mendukung Prabowo
  • SCTV dan Indosiar  yang sebahagian besar sahamnya dimiliki oleh Eddy Sariatmadja ini dukung siapa ya ? abu-abu
  • Metro TV dan media Indonesia dengan bergabungnya  Surya Paloh (nasdem ke PDIP) Jelas akan dukung jelas NAsdem dan PDIP, dipastikan mendukung Jokowi

Memang, secara formalitas tidak ada satu pun televisi yang secara struktur mendeklarasikan dukungan kepada pihak manapun. Tetapi, porsi pemberitaan yang berlebihan adalah kunci untuk melihat bagaimana sesungguhnya dinamika televisi hari ini. Agensi (pelaku dalam industri) akan me-realy berita-berita yang sesuai dengan pilihan politik para pemilik media. Potret semacam ini tidak saja bermasalah karena terkait netralitas, tetapi oleh pemfungsian pada 'jalan lain' frekuensi publik yang menjadi hak publik. Berupa berita perporsional sebagai mandat konstitusional.
Realitas semacam ini telah menimbulkan kontradiksi, pertama, kontradiksi yang bersumber dari media sebagai instrumen hegemoni isu dan semangat netralitas. Kedua, benturan kontradiksi berkaitan dengan aturan kepentingan publik dengan napas media yang menjadi perpanjangan tangan dari kepentingan pemilik. Kedua benturan tersebut sesungguhnya merupakan problem pelik demokratisasi media. Ketika demokrasi diberikan seluas-luasnya, justru potensi keberpihakan pada politik menjadi sangat sulit ditepis. Isu-isu politik akan digiring pada kamuflase tentang sepak terjang calon tertentu secara terus-menerus  dan pada saat yang bersamaan sangat minimalis pada kandidat yang lain.

 Konglomerasi Media 
Konglomerasi Media adalah penggabungan perusahaan media menjadi perusahaan yang lebih besar yang membawahi banyak media. Konglomerasi ini dilakukan dengan melakukan korporasi dengan perusahaan media lain yang dianggap mempunyai visi yang  sama. Pembentukan konglomerasi ini dengan cara kepemilikan saham, joint venture / merger, atau pendirian kartel komunikasi dalam skala besar baik intergrasi vertikal, intergasi horisontal maupun kepemilikan silang.
Intinya adalah kepemilikan media pada hanya segelintir orang saja, membentuk sebuah gurita media karena satu orang menguasai berbagai media. Mungkin bagi kebanyakan  orang nampaknya hal ini sah-sah saja, karena setiap orang pasti akan selalu berusaha untuk mengembangkan usahanya. Tetapi ternyata konglomerasi mempunyai dampak yang luar biasa berbahaya bagi masyarakat, karena dapat membentuk opini tertentu yang tidak sehat, sterotipe pada suatu hal tertentu dan lain-lain.
Konglomerasi Media di Indonesia menyebabkan satu orang dapat menguasai banyak media, sehingga orang tersebut dapat mengendalikan berbagai media dalam satu waktu, dari kebijakan yang harus dianut, berita mana yang layak di publikasikan, nilai-nilai yang dianut dan sebagainya. Akibatnya jika media yang tergabung dalam satu group tertentu maka berita dan informasi yang disampaikan akan homogen. Selain itu berita yang disampaikan hanya berita yang dianggap menguntungan secara ekonomi bagi media atau pemilik media tersebut. Akhirnya berita tidak lagi dinilai dari seberapa besar nilai beritanya, tetapi berapa banyak keuntungan yang akan didapatkan dari pemuatan berita tersebut. Sebetulnya ini merupakan tanda-tanda bahwa  regulasi atau peraturan yang mengatur tentang kepemilikan media tidak berjalan dengan baik. Padahal konglomerasi media berbahaya dan mengancam kebebasan pers.
Dalam tulisannya, Waren Breed (1955) Social control in The Newsroom , menegaskan bahwa gelombang media penyiaran pada akhirnya akan surut ketika politik telah masuk menjadi kanker kehidupan media massa, terutama televisi. Televisi menjadi sebuah black box karena sarat kepentingan politik yang turut menentukan arah  pemberitaan. Kerja televisi tidak sebatas berkutat pada proses linear, sekadar langkah-langkah kegiatan memproduksi berita. Tetapi, oleh ambisi politik salah satu kandidat yang dipaksakan.
Televisi telah menjelma menjadi dua arus besar. Pertama, televisi memainkan peran sebagai alat politik (political tool) terhadap kandidat, kemudian pada saat yang sama pendukung kritis (critical supporter) bahkan pembengkang (spoiler)terhadap  kandidat lain yang dianggap sebagai lawan. Ekspektasi ini akan mencederai gugus politik yang berkembang. Setidaknya bagi mereka yang tidak memiliki banyak dukungan dari media televisi akan berpotensi menjadi sasaran empuk instabilitas sebuah citra. Jika pada rezim Orde Baru televisi seperti RCTI, SCTV, dan Indosiar, harus mendukung penuh program pemerintah dan partai politik tertentu karena terancam oleh gerakan Represif State Aparatus, tetapi justru kini setelah semuanya bebas dan aman media menjelma menjadi penopang strategis gerakan politik.
Elihu Katz (1991) dalam penelitiannya mengenai sistem televisi di 120 negara berkembang menemukan bahwa 95 kepemilikan stasiun televisi di negara berkembang selalu memiliki afiliasi dengan politik tertentu. Ini terjadi karena beberapa hal. Pertama, berpotensi menjadi suplai tambah dalam menopang pembangunan infrastruktur media. Kedua, televisi berpengaruh dalam membangun citra positif, khususnya citra kelompok dan figur yang didukung. Ketiga, jaringan televisi sangat cepat dan efektif bagi penyabaran informasi dan inovasi pemerintah untuk program pembangunan para kandidat. Untuk kategori yang kedua dan terakhir, sangat relevan untuk menujukkan proses politik yang terjadi hari ini. Keterlibatan para pemilik media dalam pusaran politik telah menciptakan irasionalitas substantif yang dapat memengaruhi diaspora berita televisi.
Pertarungan capres pada titik klimaksnya melahirkan pertarungan citra melalui televisi yang sangat ketat. Sehingga, format berita yang ditampilkan menjadi kabur. Sukar untuk membedakan di mana berita yang benar-benar mencerminkan realitas yang netral dan realitas yang penuh keberpihakan. Televisi di satu sisi menjadi instrumen demokrasi, pada sisi yang lain ia menjadi instrumen politik pragmatis. Tidak lagi berpihak pada masyarakat sebagai mandat, tetapi berpihak pada salah satu kandidat. Demokrasi politik pada akhirnya riuh oleh sentimen politik dan kebencian yang dilahirkan oleh media penyiaran.
Hal ini sekaligus menunjukkan televisi yang memiliki keberpihakan pada proses politik kandidat capres telah menjelma menjadi ruang yang berpotensi melahirkan propaganda bukan informasi yang mencerahkan. Semangat untuk menayangkan berita yang penuh dengan nilai-nilai pendidikan dan high culture berorientasi  pada kepentingan, manfaat,  idealisme berwawasan publik, pada akhirnya jauh panggang dari api. Dinamika televisi yang berada di bawah bayang-bayang kepentingan politik  telah melahirkan berbagai kontradiksi yang membentur struktur dan idealisme televisi itu sendiri sebagai  instrumen demokrasi yang paling populis.   




Referensi
Rohim, Syaiful. 2009. Teori Komunikasi. Rineka Cipta, Jakarta
Littlejhon, Stepen W, Foss, Karen A. 2009. Teori Komunikasi, Salemba Humanika, Jakarta
Yasir. 2009. Pengantar Ilmu Komunikasi, Wita Irzani, Pekanbaru




Wednesday, November 21, 2018

Konglomerasi Media Jurnalisme adalah Taruhannya



Konglomerasi Media 
Jurnalisme adalah Taruhannya

Rencana bisnis masing-masing perusahaan media di Indonesia, menurut Tapsell, adalah sebangun: merebut audiens Indonesia lewat sebanyak mungkin platform. Mereka juga membangun “ekosistem” media, dari konten hingga infrastruktur komunikasi.

Dengan demikian, menurut Tapsell, akan sulit bagi media baru—terutama yang berbasis online—untuk bertahan dan punya bisnis yang berkelanjutan, jika tidak bergabung dengan konglomerasi tersebut.

Penelitian Merlyna Lim dan Ignatius Haryanto menunjukkan betapa para pemimpin perusahaan ini bukan cuma punya pengaruh pada lanskap media, tapi juga keterlibatannya pada panggung politik dan ekonomi Indonesia. Membuat kualitas jurnalisme memang jadi taruhannya.

Tempo—majalah mingguan milik PT Tempo Inti Media Tbk— yang tadinya diletakkan Tapsell di luar garis konglomerat media ini, sahamnya sudah diserap konglomerat Edwin Soeryadjaya dan grup SCTV—yang terafiliasi dengan EMTEK—lewat right issue.

Menurut Y. Tomi Aryanto, wakil direktur bisnis digital Tempo Group, jumlah itu tak lebih dari 1 persen dan tak berpengaruh pada kualitas jurnalisme Tempo.

“Kami tidak akan mudah menerima hal-hal yang tidak bisa kami kompromikan,” kata Tomi kepada saya. Menurutnya, Tempo punya basis jurnalisme yang kuat, karena bahkan orang-orang manajemennya adalah bekas wartawan yang paham batas api antara produk jurnalistik dan iklan.

“Apakah dengan right issue segitu bisa memengaruhi (dapur redaksi)? Kecil sekali, kok. Apa yang bisa kamu lakukan dengan satu persen?” ujar Tomi.

“Investor itu kalau mau intervensi, kan, mesti hitung berapa punya shares. Kalau cuma kecil, kami cuekin aja, dia enggak bisa apa-apa, istilahnya gitu. Tentu hari-harinya tidak begitu. Mereka juga tahu, mereka bukan orang bodoh, yang hanya punya 2-3 persen terus mau intervensi. Ya enggaklah, kami yakin mereka tidak seperti itu. Maka, kami juga mau terima,” tambahnya mengenai right issue Tempo.
Sumber 
tirto.id

Konglomerasi Media Bisnis yang Makin Terkonvergensi ke Digital


Konglomerasi Media 
Bisnis yang Makin Terkonvergensi ke Digital


Lippo Group, perusahaan bisnis Keluarga Riady, tak tinggal diam ketika bisnis media mulai goyang. “Tak ada uang yang dihasilkan media,” kata John Riady, anak James pada awal 2015, ketika Lippo Group berinvestasi 500 juta dolar AS untuk e-commerce MatahariMall.

“Berita Satu yang sebelumnya dipegang John kini di bawah kontrol adiknya, Henry,” tulis Tapsell.

Selain toko daring, pada Juli 2016, Lippo Group semakin melebarkan sayap di bisnis digital lewat kerja sama dengan Grab, perusahan rintisan transportasi berbasis aplikasi asal Malaysia.

Beberapa dari konglomerat lain tertarik pada sektor yang sama, yakni bisnis digital yang memang tengah naik daun. Pada 2011, MNC menjadi rekanan WeChat—aplikasi layanan pesan asal Tiongkok. Pada 2013, Bakrie Group berinvestasi di Path senilai 25 juta dolar AS. (Belakangan, Path dijual ke KakaoTalk pada 2015, dan Bakrie sudah tak punya saham di sana.)

Selain media-media tersebut, EMTEK ditemukan berinvestasi pada bobobobo.com, Property Guru Pte, Kudo, Hijup.com, Bridestory Pte, Bukalapak.com, Home Tester Club, BBM Indonesia, Oshop, Rumah.com, dan belakangan terafiliasi dengan Go-Jek dan Google. Bila ditarik lebih luas, jaringan bisnis ini juga bisa meluas sampai Tencent dan Alibaba, dua perusahaan raksasa dari Cina.
Menurut Tapsell, para konglomerat media cenderung mengembangkan model bisnis konglomerasi digital yang hampir sama: berusaha menjadi perusahaan media multiplatform, dan untuk mencapai hal itu, mereka memusatkan produksi berita mereka.

Hal ini sudah ditunjukkan CT Corp. Mengutip Tapsell, Ishadi SK, saat itu komisaris CT Corp, berkata bahwa detik.com bukan cuma dijadikan pusat berita Trans Media, tapi jadi pusat bisnis.

"Untuk mendukung itu," kata Ishadi, "Trans Corp bakal membangun fasilitasnya di Jakarta, termasuk 50 studio TV yang bakal jadi pusat newsroom semua perusahaan media Trans. Termasuk akan dibangun hotel, theme park, ocean park, sampai teater hiburan yang akan jadi pusat bisnis."

Meski tidak spesifik di Jakarta, pembangunan itu akan segera dilakukan di Serpong dan Tangerang Selatan.

Sumber :
tirto.id