Search This Blog

This is default featured post 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Sunday, September 11, 2011

kebebasan pers setelah reformasi

Kondisi Pers Indonesia Sejak Reformasi Hingga Sekarang

1. Apakah Kondisi politik mempengaruhi pers ?
Kondisi politik di suatu negara akan sangat mempengaruhi keadaan pers di negara tersebut. Pengaruh politik akan sangat besar terutama mengenai sistem pers yang dianut dan seberapa besar kadar kebebasan pers yang ada.
a. Pengaruh terhadap Sistem politik yang di anut.
Klasisikasi sistem pers dunia yang disajikan dalam buku Four Theories of the Press (Siebert, Perterson, & Schramm, 1956). Para pengarang membagi pers dunia ke dalam empat kategori: otoritarian, libertarian, tanggung jawab sosial dan totalitarian Soviet. (Heru Puji winarso, 122: 2005). Pembagian itu berdasarkan pengamatan mereka dengan menggunakan metode-metode ilmu sosial. Tesis buku ini, pers selalu mengambil bentuk dan warna struktur-struktur sosial politik di mana pers itu beroperasi. Untuk melihat perbedaan dan perspektif di mana pers berfungsi, harus dilihat asumsi-asumsi dasar yang dimiliki masyarakat itu mengenai: hakikat manusia, hakikat masyarakat dan negara, hubungan antara manusia dan negara, hakikat pengetahuan dan kebenaran. Pada akhirnya, perbedaan antara system pers merupakan perbedaan filsafat yang mendasarinya.
Menurut Dominick, sistim media disuatu negara berkaitan dengan sistim politik dinegara tersebut. Sistim politik menentukan kepastian hubungan yang nyata antara media dan pemerintah (dalam Elvinaro Ardianto,2004:154). Pembagian pers dalam dunia ini juga didasari pada keadaan politik di suatu negara. Ini dapat dilihat dalam perjalan pers di dunia. Sistem otoritarian berdasarkan sistem keadaan negara yang mempunyai kekuatan mutlak, pengawasan yang ketat, dan ancaman pembredelan bagi media yang melanggar. Liberatarian yang mengusung nilai-nilai kebebasan, tetapi ternyata akhirnya juga ditinggalkan karena dinilai hanya mengusung kepentingan kapitalisme dibanding dengan nilai-nilai edukasi. Berkembang teori tanggung jawab sosial, merupakan jawaban bagi suatu pers yang bertanggung jawab tetapi juga mempunyai kepedulian dengan terhadap masyarakat sebagai nilai tanggung jawab sosial. Totalitarian soviet merupakan wujud dari kekuasan yang absolud kepada media dan tujuan media adalah memberikan sumbangan terhadap suksesnya dan berlangsungnya sistem negara soviet. Melihat perjalanan pers di dunia tampak jelas bahwa sistem politik, akan sangat berpengaruh dalam sistem pers yang dianut.
b. Keadaan politik juga akan mempengaruhi kadar.
Keadaan politik juga akan sangat mempengaruhi kadar dalam kebebasan pers yang ada. Konsep kebebasan pers sangat tergantung pada sistim politik di mana pers itu berada. Dalam negara komunis atau otoriter, kebebasan pers dikembangkan untuk membentuk opini pers yang mendukung penguasa. Sedangkan dalam negara liberal atau demokrasi, kebebasan pers pada prinsipnya diarahkan untuk menuju masyarakat yang sehat, bebas berpendapat dan berdemokrasi.
Pendekatan filosofis barangkali bisa dipergunakan untuk melihat hubungan antara kebebasan dan manusia sebagai individu. John Stuart Mill ( dalam Jakob Oetama : 1985 ) berpendapat, biarlah orang seorang mengembangkan kebebasannya yang absolut. Dengan menggunakan proses kebebasan itu pikirannya yang rasional akhirnya akan menemukan kebenaran. Singkat kata, apabila dipersoalkan kebebasan pers, maka inti masalahnya adalah hubungan pers dan pemerintah. Kekuasaan dan relasi-relasinya menentukan ada tidaknya kadar kebebasan tersebut. Pengertian klasik ini tetap berlaku. Menurut Prof. Oemar Seno Adji SH, persoalan kebebasan pers terlalu disoroti dari segi hukum saja. Sedangkan dalam prakteknya, terutama di negara-negara sedang berkembang seperti Indonesia, persoalan kebebasan pers lebih merupakan masalah politik. Artinya masalah hukum yang diterapkan dan didalam penerapan itu politik ikut berperan dan berpengaruh terhadap hubungan kekuasaan dan kepentingan ( dalam Jakob Oetama, 1989;73 )

2. Apakah ada Objektivitas Media?
Menurut Westerstahl (1983), mengukur objektivitas media harus memiliki dua kriteria. Yaitu factuality dan Impartiality. Faktualitas berarti berita ditulis berdasarkan fakta. Jadi berita bukanlah sebuah show atau rekayasa. Terdiri dari tiga hal, truth, informatif dan relevan. Truth disini maknanya bahwa nilai kebenaran komunikasi bergantung kepada nara sumber yang terpercaya dan dapat diandalkan. Harus sesuai dengan peristiwa nyata dan berguna di berbagai aplikasi atau lapisan. Tentu tidak kalah penting juga prinsip-prinsip kebebasan, kesetaraan, atau keragaman insane media sendiri.
Kalau informatif bagaimana suatu informasi yang disampaikan media tujuannya adalah untuk mengurangi “ketidakpastian” dalam masyarakat, sehingga sedikit banyak masyarakat bisa paham tentang apa yang disampaikan media, apa yang terjadi di sekitar, dan justru dengan adanya informasi tersebut tidak menambah bingung masyarakat. Sementara relevan adalah bagaimana sebuah informasi itu bermanfaat untuk masyarakat. Relevan tidak untuk disajikan ke publik. Apa dampak sosial serta manfaatnya.
Kedua, aspek impartiality. Yaitu sebuah informasi atau berita yang tidak mengandung “keberpihakan” pada satu pihak. Ia nya terbagi dua, balance dan netrality. Balance dipahami sebuah berita yang disajikan harus berimbang. Dalam satu topik atau peristiwa tidak boleh dilihat dari satu sudut pandang saja. Ada beberapa narasumber baik yang pro maupun kontra yang diwawancarai. Kalau netralitas maksudnya sebuah media itu harus netral, tidak boleh menjadi sumpalan kelompok tertentu.
Dua aspek itu menjadi ukuran media tersebut diketegorikan objektif atau sebaliknya. Selain itu, objektivitas berita juga membutuhkan prinsip kesamaan perlakuan antara ‘ekualitas’, yaitu sikap adil dan non diskriminatif terhadap narasumber dan objek berita. Dalam hubungan dengan komunikasi dan kekuasaan politik, kesamaan perlakuan menuntut tidak boleh adanya perlakuan khusus kepada pemegang kekuasaan (Morissan: 2009). http://nurudin.multiply.com/journal/item/32/Media_Massa_dan_Tantangan_Obyektivita
Melihat dua kriteria yang ada di atas, tentunya kita dapat melihat bagaimana objektivitas media saat ini. Saat ini banyak pelanggaran yang dilakukan oleh media. Mungkin ini terjadi karena media mempunyai agenda yang tersendiri. Media mempunyai ideologi yang berbeda antara satu media dengan media yang lain. Tetapi seyogyanya setiap media harus tetap menjunjung nilai-nilai obyektivitas yang ada.
Hal ini mungkin terjadi karena saat ini tidak ada regulasi yang tegas tentang ini, dewan pers yang bertugas mengawasai jalannya pers seolah hanya diam dan tidak bertindak dengan tegas mengenai pelanggaran yang terjadi.
Tidak ada Regulasi yang jelas mengenai kepemilikan media pun menyebakna adanya patologi/penyakit sosial seperti yang diungkapkan Vincent Moscow dalam buku “The Political Economy of Communication” (1998). Lagi-lagi kapitalis bertanggung jawab dalam atas homogenisasi dan politisasi media.
Masing-masing media mempunyai idelologi yang berbeda. Ideologi ini akan dijunjung tinggi oleh semua orang yang bekerja dalam media tersebut. padahal idelogi yang dianut ini sangat tergantung pada ideologi yang dianut oleh pemilik modal tersebut. Pada akhirnya apa yang diberitakan oleh media merupakan refleksi dari ideologi yang di anut oleh pemilik modal. Apakah pemilik modal hanya menginginkan keuntungan yang besar? Atau keterpihakan kepada suatu politik tertentu ? tentu saja akan sangat mempengaruhi apa yang tertuang dalam media tersebut.
Nilai objektifivitas media saat ini mungkin masih ada dalam media, tetapi kadarnya berbeda dalam setiap media. Ada yang masih memegang teguh nilai objektivitas, misal majalah tempo. Tetapi juga banyak media yang telah mengabaikan nilai nilai objektivitas dan hanya mengejar rating dan penjualan yang beroriantasi keuntungan atau masih banyak juga media yang menguntungkan satu kekuatan politik saja.

3. Bagaimana dengan posisi pemerintah? masih diperlukan atau tidak?
Dalam tonggak perjalanan sejarah pers nasional (di Indonesia) tercatat, sejak Era Reformasi (1998), media massa memiliki kebebasan yang luas, terutama dalam melakukan kontrol dan koreksi terhadap jalannya pemerintahan (eksekutif). Sejalan dengan itu, penerbitan pers tidak perlu lagi memiliki izin (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers-SIUPP), dan tidak lagi dikenal adanya sensor dan pembredelan .Hal ini sesuai dengan ketentuan dan jiwa dari Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Pers nasional memiliki kebebasan meskipun seringkali terasa bahwa suratkabar, tabloid dan majalah yang menyalahgunakan kebebasan itu (Anwar Arifin,2003:22).
Kebebasan pers di Indonesia saat ini memang patut kita banggakan, tetapi kebanggan itu juga jangan membawa kita ke kebasan yang terlalu bebas.
Bebas tanpa batas adalah anarki, anarki berlawanan dengan tata tertib, padahal masyarakat yang paling sederhanapun punya tata tertib. Menurut tokoh pers Wonohito, kemerdekaan pers (baca: kebebasan pers) bukanlah pengertian obsolut, melainkan bersifat relatif. Wajah pers senantiasa dipengaruhi oleh ruang dan waktu.
Sementara itu, Andi Muis menilai masalah pokok system pers Indonesia adalah
masalah keseimbangan antara kebebasan dan pembatasannya atau tanggungjawabnya (1999:75). Bagaimana keseimbangan itu dapat terjadi? Daniel Dhakidae menilai, tanggungjawab adalah garis batas kebebasan. Dan yang sebaliknya tidak kurang benarnya yakni kebebasan adalah garis batas tanggungjawab. Tanpa kebebasan tidak mungkin menuntut tanggungjawab, dan tanpa tanggungjawab tidak mungkin menuntut kebebasan. Keduanya tidak bisa dipisahkan (dalam Akhmadi,1997:29).
Peran pemerintah dalam dunia pers saat ini diwaliki oleh dewan pers. Dewan pers mempunyai fungsi mengawasi jika ada pers yang melanggar ketentuan perundang undang dan melakukan pembinaan bagi para insan pers di indonesia.
Menurut penulis peran pemerintah saat ini harus membuat regulasi terhadap kepemilikan media di indonesia. Kebebasan yang terlalu mudah dalam kepemilikan media telah membuat adanya penyakit sosial yaitu homogenisasi berita dan politisasi media.
Kepemilikan media pada satu orang telah membuat opini yang berkembang dalam masyarakat mudah sekali di mainkan oleh media yang dimiliki oleh satu orang pemilik modal.
Pemerintah lewat komisi menyiaran masih sangat diperlukan perannya. Kekuarang tegasan KPI membuat tayangan ditelevisi banyak berisi nilai-nilai yang tidak pantas disiarkan. Pornografi, pornoaksi, mistik, dan tidak kekerasan masih kerap ditemuakan dalam berbagai tayangan. Menurut penulis peran pemerintah masih sangat penting, tetapi sesuai porsinya masing-masing.
4. Menurut Anda sistem pers macam apa yg paling cocok? masihkah relevan dengan adanya sistem pers “Pancasila”?
a. Sistem pers yang paling cocok
Klasisikasi sistem pers dunia yang disajikan dalam buku Four Theories of the Press (Siebert, Perterson, & Schramm, 1956). Para pengarang membagi pers dunia ke dalam empat kategori: otoritarian, libertarian, tanggung jawab sosial dan totalitarian Soviet. (Heru Puji winarso, 122: 2005).
Seperti dibahas di awal, bahwa sistem pers yang dianut dalam negara akan berbeda di setiap negara tergantung dengan keadaan politik di negara tersebut. menurut penulis sitem pers yang paling cocok di gunakan di indonesia saat ini adalah sitem tanggung jawab sosial, di mana media mempunyai kebebasan pers tetapi masih menjunjung tinggi nilai tanggung jawab sosial.
b. Sistem pers Pancasila
Pada masa Orde Baru, pers Indonesia dibingkai sebagai pers pembangunan atau pers Pancasila dengan mengembangkan mekanisme interaksi positif antara pers, pemerintah dan masyarakat dan konsep pers pembangunan yang dikembangkan berdasarkan model komunikasi pendukung Model ini mulai diperkenalkan sejak sidang ke 25 Dewan Pers, 7-8 Desember 1984 dan disahkan dengan sebutan Pers Pancasila. Pers Pancasila adalah pers yang orientasi, sikap dan perilakunya didasari oleh nilai-nilai ideology Pancasila dan bertanggungjawab untuk menerapkan Pancasila dan UUD 1945 dalam melakukan peliputan terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat (Atmadi,1982:12). Menurut Selo Soemardjan (1987), dalam melaksanakan fungsinya Pers Pancasila harus memilih dan memilah sumber-sumber berita dan melaporkan berita berdasarkan ideology Pancasila dan menyajikan berita sedemikian rupa sehingga efeknya pada masyarakat tetap harmonis, seimbang dan sesuai dengan ideology tersebut. Namun dalam praktiknya, konsep pers pembangunan atau pers Pancasila telah menjadi sistem pers otoritarian yang digunakan sebagai sarana propaganda bagi pembangunan ekonomi nasional.Dan kebebasan pers yang inheren dalam suatu sistem pers, terbukti tidak berjalan. Proses kebebasan pers yang ada hanya tunduk pada penguasa. Dengan demikian sistem pers di Indonesia sejak zaman penjajahan sampai Indonesia merdeka hingga penguasa Soeharto, menganut system otoritarian. Selama pemerintahan Orde Baru label system pers bernama system pers Pancasila atau pers Pembangunan. Praktiknya adalah pers bebas dan bertanggungjawab, t etapi bertanggungjawab kepada penguasa. Manakala perilaku pers tidak berkenan di mata penguasa, maka ancamannya pembredelan atau pembatalan SIUPP. Ini merupakan salah satu ciri pers otoritarian. Setelah merdeka, pada tahun 1950-an, pihak militer mengharuskan pers mempunyai surat izin terbit (SIT). Dan ini berarti suatu kemunduran, dalam arti pers tunduk pada kemauan penguasa. Pers pada masa Orde Baru banyak menerima tekanan dari rezim yang berkuasa. Dan bagaimana praktik kebebasan pers pada era Reformasi dewasa ini, setelah pada awal Reformasi, gerbang kebebasan pers telah terkuak lebar, dan kini telah dinikmati praktik kebebasan pers tersebut.
Awalnya pers pancasila seakan sebagai cerminan sebagai kehidupan pers yang berpegang kepada tatanan yang terkandung dalam pancasila. Tetapi pada prakteknya pers pancasila hanya sebagai topeng dari pengekangan kekebabasa pers. Pers penacasila hanya sebagai kekuatan penguasan saat itu orde baru untuk mengendalikan pers. Upaya itu dilakukan karena dinilai pers mempunyai peranan yang penting dan berbahaya karena dapat mempengaruhi jalannya pemerintahan saat itu. Pers pancasila bertanggung jawab kepada penguasa tidak kepada rakyat. http://ugilands.blogspot.com/2011/01/praktik-kebebasan-pers-pada-era.html

Penulis menilai pers semacam ini tampaknya tidak relevan dengan semangat kebebasan pers yang terkandung dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Sekarang ini yang kita butuhkan adalah kebebasan pers yang bertanggung jawab tidak lagi kebebasan pers yang semu.

Daftar Pustaka


Heru, Puji Winarso, 2005. Sosilogi Komunikasi. Jakarta : Prestasi Pustaka


http://ugilands.blogspot.com/2011/01/praktik-kebebasan-pers-pada-era.html

http://nurudin.multiply.com/journal/item/32/Media_Massa_dan_Tantangan_Obyektivitas

http://akusaeni.blogspot.com/2007/12/objektivitas-pemberitaan.html

http://nurudin.staff.umm.ac.id/2010/02/16/media-massa-dan-tantangan-objektivitas/

http://acehinstitute.org/index.php?option=com_content&view=article&id=529:menyoal-objektivitas-media&catid=77:humaniora&Itemid=127