Search This Blog

This is default featured post 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Saturday, April 18, 2015

Konglomerasi Media Ancaman Kebebasan Pers


Konglomerasi Media Ancaman Kebebasan Pers 



Sejumlah kalangan mengaku sangat khawatir dengan perkembangan konglomerasi dalam kepemilikan media massa belakangan ini di Indonesia. Mereka meyakini, konglomerasi kepemilikan itu sudah sampai pada tahap mengancam kebebasan pers. 
Konglomerasi Media adalah penggabungan-penggabungan perusahaan media menjadi perusahaan yang lebih besar yang membawahi banyak media. Konglomerasi ini dilakukan dengan melakukan korporasi dengan perusahaan media lain yang dianggap mempunyai visi yang  sama. Pembentukan konglomerasi ini dengan cara kepemilikan saham, joint venture / merger, atau pendirian kartel komunikasi dalam skala besar, baik intergrasi vertikal, intergasi horisontal maupun kepemilikan silang. Akibatnya kepemilikan media yang berpusat pada segelintir orang. Contoh dalam hal ini Trans7 dan Trans TV berada pada payung bisnis yang sama yakni Trans Corp yang dikuasai oleh Chairul Tanjung , Global TV, RCTI dan TPI bergabung dalam Group MNC dan bertindak selaku pemilik di Indonesia adalah hary Tanoesoedibyo, TV One dan ANTV bernaung di bawah bendera Bakrie Group dengan Boss utama Abu Rizal bakrie, SCTV yang sebahagian besar sahamnya dimiliki oleh Eddy Sariatmadja, dan yang terakhir Metro TV dengan Surya Paloh pemimpinnya yang termasyhur karena wajahnya sering ditampilkan oleh TV yang dimilikinya sendiri.
 Kepemilikan berbagai macam perusahaan media massa, baik cetak, online, maupun elektronik, oleh satu konglomerat tertentu diyakini membatasi hak publik dalam memperoleh keberagaman informasi, pemberitaan, dan pandangan, yang sangat diperlukan dalam konteks berdemokrasi.
Sementara di sisi lain, keberadaan konglomerasi perusahaan media massa juga dianggap tidak memberi banyak kontribusi pada perlindungan dan peningkatan kesejahteraan para pekerja pers. Perusahaan juga diketahui sangat alergi terhadap keberadaan serikat pekerja media massa yang ada.
Penilaian tersebut terungkap dalam diskusi di Dewan Pers, Rabu (3/3/2010), yang digelar Aliansi Jurnalis Independen (AJI) bersama Dewan Pers, dengan tema "Konglomerasi Media: Ancaman atau Peluang bagi Kebebasan Pers".
"Akibat konglomerasi dan kekuasaan modal yang semakin tak tertahankan, keberadaan pemilik media massa di ruang redaksi menjadi sangat dominan. Mereka bahkan mampu mencengkeram media massa, yang sebenarnya selama ini bersikap independen," ujar Direktur Eksekutif Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP) Ignatius Haryanto.
Selain Haryanto, turut hadir sebagai pembicara, antara lain Abdul Manan (Federasi Serikat Pekerja Media Independen) dan anggota Dewan Pers Bambang Harimurti.  Juga datang sejumlah perwakilan pekerja media, yang beberapa waktu belakangan terkena dampak mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak.
Lebih lanjut, menurut Haryanto, praktik konglomerasi perusahaan media massa juga menciptakan berbagai kondisi merugikan lain, terutama ketika media massa kemudian hanya dijadikan sekadar corong demi kepentingan politik dan bisnis sang pemilik modal.
Dalam kondisi seperti itu, media massa dan pemberitaan yang dihasilkan menjadi sangat bias serta cenderung berbohong kepada publiknya. Bahkan, dalam beberapa kasus diketahui telah terjadi semacam ”malapraktik” pemberitaan media massa.
Pemberitaan dimanfaatkan oleh pemilik modal untuk menekan kelompok lawan, baik untuk kepentingan politik maupun bisnis, dari sang konglomerat atau bahkan untuk mempromosikan dan menguntungkan kelompok bisnisnya sendiri.
”Selain itu, bisa dibilang, perilaku pemilik media hampir rata, mereka sama-sama antiserikat pekerja dan mudah resah ketika para pekerja media massa mencoba bersatu membela kepentingannya. Belum apa-apa para aktivis serikat pekerja disingkirkan dengan berbagai alasan,” ujar Haryanto.
Padahal dalam perkembangannya, praktik konglomerasi justru merugikan dan itu tampak dalam sejumlah kasus seperti fenomena perkembangan multimedia di mana wartawan dituntut tidak hanya bekerja dalam satu moda industri, misal untuk media cetak saja, melainkan juga untuk beragam moda pemberitaan lain.
”Para pengusaha menyebutnya media konvergensi atau sinergi media. Namun, pada praktiknya wartawan diharuskan bekerja membuat berita dalam berbagai format mulai dari online, cetak, dan elektronik. Sementara di sisi lain, kesejahteraan mereka sama sekali tidak menjadi lebih baik dengan beban kerja yang bertambah itu,” ujar Haryanto.
Dalam kesempatan yang sama, anggota Dewan Pers Bambang Harimurti menilai konglomerasi media bisa jadi merugikan, tetapi di sisi lain bukan tidak mungkin pula bisa menguntungkan dan memberi peluang bagi kebebasan pers. Namun, semua itu tergantung pada pengaturan yang ada dan bagaimana aturan itu dilaksanakan.
Kelebihan konglomerat, menurut Bambang, memiliki kemampuan modal yang kuat sehingga mampu merugi dalam waktu lama untuk merebut pasar. Selain itu, dukungan modal kuat juga bisa diikuti kemampuan membayar gaji pengelola dengan baik dan juga membiayai pelatihan.
Peraturan harus mampu menciptakan persaingan sehat, keberadaan media publik yang independen, transparansi kepemilikan akhir, keberimbangan posisi pemilik dan pengelola media, pemisahan penyedia infrastruktur dengan penyedia isi, dan keberagaman pers,” ujar Bambang.

Aturan Konglomerasi Media Di Indonesia 
Intervensi Pemilik Media "Konglomerasi Media"
Bahaya Konglomerasi Media
Dampak Konglomerasi Media 
Regulasi atau Aturan Konglomerasi Media Di Indonesia 
Konglomerasi Media Di Indonesia
Konvergensi Media dan Peran Pemilik Media

Konglomerasi media DI Indonesia



Kehidupan manusia modern tidak lepas dengan yang namanya media massa. Media massa seolah menjadi kebutuhan yang selalu harus di penuhi. Perkembangan industri media massa di Indonesia telah menempatkan media sebagai sentral dalam komunikasi massa yang mampu menyediakan kebutuhan informasi secara cepat mengenai suatu peristiwa. Menurut Lasswell dan Wright, komunikasi massa memiliki fungsi sosial sebagai surveillance, korelasi dan interpretasi, transmisi budaya dan sosialisasi, serta sebagai media hiburan.
Peranannya yang penting inilah yang membuat industri media massa berkembang sangat pesat dan membuat media massa tidak hanya sebagai sebuah institusi yang idealis, seperti misalnya sebagai alat sosial, politik, dan budaya, tetapi juga telah merubahnya menjadi suatu institusi yang sangat mementingkan keuntungan ekonomi. Sebagai institusi ekonomi, media massa hadir menjadi suatu industri yang menjanjikan keuntungan yang besar bagi setiap pengusaha. Di sini fungsi media mulai tergeser dengan kepentingan ekononi. Isi pemberitaan dalam media di isi oleh, pemberitaan yang paling menguntungkan pemilik media.
Seiring dengan perkembangan teknologi telekomunikasi dan informatika (telematika) yang cenderung konvergen (menyatu), konglomerasi media justru semakin menguat. Betapa tidak, kini hampir semua media massa milik konglomerat itu memiliki versi onlinenya. Dimana pun kita berada, secara offline maupun online, media konglomerasi mengikuti kita. Bahkan ada yang mengungkapkan makin kuatnya konglomerasi media seiring dengan keamajuan teknologi telematika adalah sebuah keniscayaan. Saat berbicara pada acara diskusi yang diselenggarakan oleh AJI pada tahun 2011 silam, Don Bosco Salamun dari Satu Media Holding mengungkapkan bahwa konglomerasi media di era konvergensi telematika adalah sesuatu yang sulit dihindarkan.
Konglomerasi Media adalah penggabungan-penggabungan perusahaan media menjadi perusahaan yang lebih besar yang membawahi banyak media. Konglomerasi ini dilakukan dengan melakukan korporasi dengan perusahaan media lain yang dianggap mempunyai visi yang  sama. Pembentukan konglomerasi ini dengan cara kepemilikan saham, joint venture / merger, atau pendirian kartel komunikasi dalam skala besar. Akibatnya kepemilikan media yang berpusat pada segelintir orang.
Konglomerasi di Indonesia menyebabkan satu orang dapat menguasai banyak media, sehingga orang tersebut dapat mengendalikan berbagai media dalam satu waktu, dari kebijakan yang harus dianut, berita mana yang layak di publikasikan, nilai-nilai yang dianut, dan sebagainya. Akibatnya jika media yang tergabung dalam satu grup tertentu maka berita dan informasi yang disampaikan akan homogen. Selain itu berita yang disampaikah hanya berita yang dianggap menguntungan secara ekonomi. Akhirnya Pers tidak lagi dinilai dari seberapa besar nilai berita yang ada, tetapi berapa banyak keuntungan yang akan didapatkan dari pemuatan berita tersebut. Sebetulnya ini merupakan tanda-tanda bahwa tidak ada regulasi yang mengatur tentang kepemilikan media.
Manajemen media haruslah memisahkan antara redaksi pemberitaan dan unsur bisnis, sehingga menghindari adanya intervensi pemberitaan karena faktor bisnis. Media harus menyadari tanggung jawab sosialnya kepada masyarakat sehingga faktor kepentingan pemilik media seperti kepentingan politik pemilik media sebaiknya dipisahkan dengan objektifitas media tersebut, karena media bersifat independen dan loyal kepada masyarakat. Pemberitaan yang mengandung informasi kepada publik yang disampaikan harus mengandung kebenaran yang mencakup akurasi, pemahaman publik, jujur dan berimbang. Keseimbangan dalam pemberitaan atau penyiaran tersebut termasuk menyangkut sebuah opini dan perspektif atas suatu kasus. 
Konglomerasi di Indonesia menyebabkan satu orang dapat menguasai banyak media muncul, sehingga orang tersebut dapat mengendalikan berbagai media dalam satu waktu, dari kebijakan yang harus dianut, berita mana yang layak di publikasikan, nilai-nilai yang dianut dan sebagainya. Akibatnya jika media yang tergabung dalam satu group tertentu maka berita dan informasi yang disampaikan akan homogen. Selain itu berita yang disampaikah hanya berita yang dianggap menguntungan secara ekonomi. Akhirnya Pers tidak lagi dinilai dari seberapa besar nilai berita yang ada, tetapi berapa banyak keuntungan yang akan didapatkan dari pemuatan berita tersebut. Sebetulnya ini merupakan tanda-tanda bahwa tidak ada regulasi yang mengatur tentang kepemilikan media.
Contoh ANTV karena saham terbesarnya milik keluarga Bakri, maka bagaimana pun tidak akan pernah ada berita yang akan mengangkat lumpur lapindo dan penderitaan masyarakat yang ada di sana. Televisi lain adalah Metro TV yang sering kali menyiarkan pemberitaan tentang Partai Nasional Demokrat, padahal kalo diperhatikan nilai berita mungkin tidak terlalu tinggi. Tetapi karena kepentingan pemiliknya maka berita tersebut sering muncul. 

Data Pemilik Konglomerasi media di Indonesia
Aturan Konglomerasi Media Di Indonesia 
Intervensi Pemilik Media "Konglomerasi Media"
Bahaya Konglomerasi Media
Dampak Konglomerasi Media 
Regulasi atau Aturan Konglomerasi Media Di Indonesia 

Friday, April 3, 2015

Data Pemilik Media



Pemilik Media Di Indonesia 




Berikut Data yang dipublish tahun 2012 oleh Merlyna Lim dalam Jurnal penelitianya berjudul The League of Thirteen, Media Concentration in Indonesia.
Media Nusantara Citra (MNC) Group (Hary Tanoesoedibjo)
  • 1.     RCTI, Global TV, MNCTV (ex TPI)
  • 2.      Indovision, Sky Vision, SINDO tv network
  • 3.       Sindo Radio (Trijaya FM), Radio Dangdut, ARH Global Radio
  • 4.       Seputar Indonesia (Koran Sindo)
  • 5.       High End magz, Genie, Mom & Kiddie tabloids
  • 6.       okezone.com, seputar Indonesia.com, Sindonews.com 7.      IT, content production and distributions, talent management, automobile


Mahaka Media Group (Erick Tohir)
  • 1.      Jak TV, Alif TV
  • 2.      JakFM, Prambors FM, Delta FM, Female, Gen FM
  • 3.       Republika, Harian Indonesia (in Mandarin) Parents Indonesia, A+, GolfDigest, Area, magazines
  • 4.      Republika Online,rileks.com,Rajakarcis.com, Entertainment, outdoor advertisement
  • Kompas Gramedia Group (Jakob Oetama,Agung Adiprasetyo)
  • 1.      Kompas TV network
  • 2.      Sonora Radio network, Otomotion Radio, Motion FM, Eltira 3.      FM Kompas, Jakarta Post,Warta Kota, + other 11 local papersIntisari + 43 magazines &tabloids, 5 book publishers Kompas Cyber Media, Hotels, public relation agencies, university & telecommunication tower (in plan)

Jawa Pos Group (Dahlan Iskan)
  • 1.      JPMC network Fajar FM (Makassar)
  • 2.      Jawa Pos, Indo Pos
  • 3.      Rakyat Merdeka, Radar + others (total: 151)Mentari, Libertymagazines + 11 tabloids
  • 4.      Jawa Pos Digital Edition
  • 5.      Travel bureau, power plant
Media Bali Post Group (KMB) (Satria Narada)
  • 1.      Bali TV network, Jogja TV,Semarang TV,Sriwijaya TV, +others (total: 9)
  • 2.      Global Kini Jani, GentaFM. Global FM,Lombok FM, Fajar FM,
  • 3.      Suara Besakih, Singaraja FM, Nagara FM
  • 4.      Bali Post, Bisnis Bali, Suluh Indonesia, Harian Denpost, & Suara NTB Tokoh, Lintang, & Wiyata Mandala tabloids
  • 5.       Bali Post, Bisnis Bali
Elang Mahkota Teknologi (EMTEK) Group (Eddy Kusnadi Sariaatmadja)
  • 1.      SCTV
  • 2.      Indosiar, O’Channel,
  • 3.      ElShinta TV, Elshinta FM —Elshinta, Gaul, Story, Kort, Mamamia,Wireless broadband, pay‐TV, telecommunications, banking, IT solutions, production house
Lippo Group (James Riady)
  • 1.      First Media, Berita Satu TV 
  • 2.      Jakarta Globe, Investor Daily, Suara Pembaruan Investor, Globe Asia, &Campus Asia magazines Jakarta Globe Online Property, hospital, education, insurance

Bakrie & Brothers (Visi Media Asia) (Anindya Bakrie)
  • 1.      antv, TVOne Channel [V] — — — VIVAnews
  • 2.       Telecommunications, property, metal, oil & gas, agribusiness, coal, physical infrastructure
Femina Group (Pia Alisyahbana,Mirta Kartohadiprodjo)
  • 1.      U‐FM Jakarta & Bandung
  • 2.      Femina, Gadis, Dewi, Ayahbunda + others (total:15) FeminaGitaCinta, Ayahbunda,Gadis, Parenting Online Production house, event management, boutique, education, printing
Media Group (Surya Paloh)
  • 1.      Metro TV
  • 2.      Media Indonesia,
  • 3.       Lampung Post, BorneoNews
  • 4.      Media Indonesia Online
Mugi Reka Abadi (MRA) Group (Dian Muljani Soedarjo)
  • 1.      O’Channel
  • 2.      Cosmopolitan FM, Hard Rock FM, IRadio, Trax FM
  • 3.      Cosmopolitan, Cosmogirl, Fitness + others (total: 16) Holder of several international boutique brands
Trans Corpora (Para Group) (Chairul Tanjung)
  • 1.      Trans TV
  • 2.      Trans 7
  • 3.      Detik Online,
  • 4.      Banking, venture capital, insurance, theme parks, resort, retail, cinem
Yang menjadi catatan adalah, penelitian ini dilaksanakan pada tahun 2012. Sekarang sudah tahun 2015, pasti akan perubahan dan perlu penelitian lanjutan. Meskipun begitu, penelitian yang di lakukan oleh Merlyna Lim patut diapreseasi karena memberikan sebuah landasan sudut pandang bagi masyarakat umum atau bahkan pengambil kebijakan di negeri ini.
Konglomerasi Media adalah penggabungan-penggabungan perusahaan media menjadi perusahaan yang lebih besar yang membawahi banyak media. Konglomerasi ini dilakukan dengan melakukan korporasi dengan perusahaan media lain yang dianggap mempunyai visi yang  sama. Pembentukan konglomerasi ini dengan cara kepemilikan saham, joint venture / merger, atau pendirian kartel komunikasi dalam skala besar baik intergrasi vertikal, intergasi horisontal maupun kepemilikan silang. Akibatnya kepemilikan media yang berpusat pada segelintir orang. Contoh dalam hal ini Trans7 dan Trans TV berada pada payung bisnis yang sama yakni Trans Corp yang dikuasai oleh Chairul Tanjung , Global TV, RCTI dan TPI bergabung dalam Group MNC dan bertindak selaku pemilik di Indonesia adalah hary Tanoesoedibyo, TV One dan ANTV bernaung di bawah bendera Bakrie Group dengan Boss utama Abu Rizal bakrie, SCTV yang sebahagian besar sahamnya dimiliki oleh Eddy Sariatmadja, dan yang terakhir Metro TV dengan Surya Paloh pemimpinnya yang termasyhur karena wajahnya sering ditampilkan oleh TV yang dimilikinya sendiri.Intinya adalah kepemilikan media pada hanya segelintir orang saja, membentuk sebuah gurita media karena satu orang menguasai berbagai media. Mungkin bagi kebanyakan  orang nampaknya hal ini sah-sah saja, karena setiap orang pasti akan selalu berusaha untuk mengembangkan usahanya. Tetapi ternyata konglomerasi mempunyai dampak yang luar biasa berbahaya bagi masyarakat, karena dapat membentuk opini tertentu yang tidak sehat, sterotipe pada suatu hal tertentu dan lain-lain.

Thursday, April 2, 2015

Konglomerasi Media MNC

Konglomerasi Media adalah penggabungan-penggabungan perusahaan media menjadi perusahaan yang lebih besar yang membawahi banyak media. Konglomerasi ini dilakukan dengan melakukan korporasi dengan perusahaan media lain yang dianggap mempunyai visi yang  sama. Pembentukan konglomerasi ini dengan cara kepemilikan saham, joint venture / merger, atau pendirian kartel komunikasi dalam skala besar. Akibatnya kepemilikan media yang berpusat pada segelintir orang. Contoh dalam hal ini Trans7 dan Trans TV berada pada payung bisnis yang sama yakni Trans Corp yang dikuasai oleh Chairul Tanjung , Global TV, RCTI dan TPI bergabung dalam Group MNC dan bertindak selaku pemilik di Indonesia adalah hary Tanoesoedibyo, TV One dan ANTV bernaung di bawah bendera Bakrie Group dengan Boss utama Abu Rizal bakrie, SCTV yang sebahagian besar sahamnya dimiliki oleh Eddy Sariatmadja, dan yang terakhir Metro TV dengan Surya Paloh pemimpinnya yang termasyhur karena wajahnya sering ditampilkan oleh TV yang dimilikinya sendiri. 
 
Baru-baru ini konglomerasi media dapat dirasakan oleh publik sebagai masalah. 
 kasus Konglomerasi Media di MNC
 
Dalam rapat redaksi RCTI Jumat pagi, 23 Mei 2014 kemarin, Pemimpin Redaksi RCTI Arya Sulingga marah besar. Pria yang dikenal sebagai tangan kanannya bos MNC Group Hari Tanoesudibyo ini tidak bisa menyembunyikan kemarahannya karena tidak bisa mengendalikan awak redaksinya di mana kepentingan politik  bos MNC Group di salah satu pasangan capres diketahui publik. Arya Sulingga sangat murka karena kebijakan redaksi RCTI bocor ke luar. Meski demikian hal ini tidak menghentikan langkahnya.
Memang, sejak Jumat (23/5/2014) semua Eksekutif Produser sebagai penanggung jawab program RCTI diinstruksikan oleh Pemred dan Wapemred (Eddy Soeprapto) untuk tidak menayangkan berita korupsi dana haji dengan tersangka Suryadharma Ali (SDA) di Seputar Indonesia, Jumat sore, 23 Mei 2014. Serta tidak memberi ruang kepada KPK dalam kasus ini.
Koordinator Nasional Jokowi Keren (JOKER) Indonesia Budi Mulyawan yang juga mantan anggota DPRD DKI Jakarta menilai, mestinya RCTI sebagai  media nasional ternama di Indonesia bersikap netral dan tidak mengganggu kebijakan Pemred RCTI yang selama ini masih dirasakan independen oleh  para pemirsanya.
Menurut Budi, soal pemberitaan Pemilu 2014 maupun pemberitaan lain, media itu seharusnya berpihak pada kepentingan seluruh rakyat Indonesia.
“Terlebih lagi ini masalah pemberantasan korupsi. Media harus pada posisi terdepan dan bersikap netral dan bebas dari tekanan siapapun,” ungkap Budi, dikutip dari SICOM.
Budi Mulyawan menegaskan akan menyampaikan hal tersebut ke dewan pers agar memberikan tindakan dalam bentuk teguran maupun pemanggilan untuk mengklarifikasi atas kebijakan bos MNC Group Hari Tanoesudibyo.
“Saya rasa pihak dewan pers harus segera menegur kebijakan bos MNC Group tersebut. Kalau tidak didengar, maka saya berharap kepada dewan redaksi RCTI wajib mengevaluasi jabatan yang disandang Pemred RCTI tersebut,” tegas Budi.
Lebih lanjut Budi mengajak kepada seluruh media masa nasional baik online, cetak maupun elektronik untuk bersatu dan merapatkan barisan demi untuk membantu kawan-kawan redaksi RCTI yang berjuang menegakkan independensi.
“Ayo lawan konglomerasi media. Frekuensi adalah milik publik,” tandasnya.(*/bw)