Teori Kultivasi
Teori Ini berhubungan dengan pengaruh televisi yang penting, yang oleh para teoretisi disebut kultivasi. Singkatnya, televisi dipercaya menjadi agen penyamaan dalam budaya. Karena televisi merupakan pengalaman umum yang besar dari hampir semua orang, televisi mempunyai pengaruh dalam memberikan cara-ara yang sama dalam memandang dunia.
Televisi adalah sebuah sistem penceritaan yang tersentralisasi. Sistem ini merupakan bagian terpenting dari kehidupan sehari-hari kita. Drama, iklan, berita dan program lainnya menghadirkan sebuah dunia tentang gambaran dan pesan-pesan yang cukup berkaitan ke dalam setiap rumah. Televisi berkembang dari kecenderungan yang sangat kecil dan pilihan-pilihan yang biasa diperoleh dari sumber-sumber utama lainnya. Melebihi pengalaman historis buku dan mobilitas, televisi telah menjadi sumber umum dari sosialisasi dan informasi sehari-hari terutama dalam bentuk hiburan dari populasi yang sangat heterogen. Pola berulang dari pesan-pesan dan gambaran televisi yang diporduksi secara massa membentuk kecenderungan akan lingkungan simbolis yang umum dan menjebak dalam hiperrealitas.
A. Latar Belakang Teori
George Gerbner adalah yang pertama kali menggagas teori kultivasi
(cultivation theory). Ide Gerbner bersamaan rekan-rekannya di Annenberg School
of Communication di Universitas
Pansylvania tahun 1969 itu dituangkan dalam sebuah artikel berjudul the televition World of Violence. Artikel
tersebut merupakan tulisan dalam buku bertajuk Mass Media and Violence yang
disunting D. Lange, R. baker dan S. Ball (eds).
Awalnya, Gerbner
melakukan penelitian tentang “Indikator Budaya” dipertengahan tahun 60-an,
untuk mempelajari pengaruh menonton
televisi. Gerbner ingin mengetahui dunia nyata seperti apa yang dibayangkan,
dipersepsikan oleh penonton televisi itu? Itu juga bias dikatakan bahwa
penelitian kultivasi yang dilakukannya lebih menekankan pada “dampak” (Nurudin,
2004:157). Menurut Wood (2000:245) kata ‘cultivation’ sendiri merujuk pada
proses kumulatif di mana televisi menanamkan suatu keyakinan tentang realitas
sosial kepada khalayaknya.
Teori kultivasi
muncul dalam situasi ketika terjadi perdebatan antara kelompok ilmuwan
komunikasi yang meyakini efek sangat kuat media massa (powerfull effects model)
dengan kelompok yang mempercayai keterbatasan efek media (limited effects
model), dan juga perdebatan antara
kelompok yang menganggap efek media massa bersifat tidak langsung atau
kumulatif. Teori kultivasi muncul untuk meneguhkan keyakinan orang, bahwa efek
media massa lebih bersifat kumulatif dan lebih berdampak pada tataran
social-budaya ketimbang individual.
Menurut
Signorielli dan Morgan (1990 dalam Griffin, 2004) analisis kultivasi merupakan
tahap lanjutan dari paradigm penelitian tentang efek media, yang sebelumnya
dilakukan oleh George Gerbner yaitu ‘cultural indicator’ yang menyelidiki
proses institusional dalam produksi isi media, image (kesan) isi media, dan
hubungan antara terpaan pesan televisi dengan keyakinan dan perilaku khalayak.
Teori kultivasi
ini di awal perkembangannya lebih memfokuskan kajiannya pada studi televisi dan
audience, khususnya pada tema-tema kekerasan di televisi. Tetapi dalam
perkembangannya, ia juga bias digunakan untuk kajian di luar tema kekerasan.
Misalnya, seorang mahasiswa Amerika di sebuah unversitas pernah mengadakan
pengamatan tentang para pecandu opera sabun (heavy soap opera). Mereka, lebih
memungkinkan melakukan affairs (menyeleweng), bercerai dan menggugurkan
kandungan dari pada mereka yang bukan termasuk kecanduan opera sabun (Dominick,
1990).
Gerbner bersama
beberapa rekannya kemudian melanjutkan penelitian media massa tersebut dengn
memfokuskan pada dampak media massa dalam kehidupan sehari-hari melalui
Cultivation Analysis. Dari analisis tersebut diperoleh berbagai temuan yang
menarik dan orisional yang kemudian banyak mengubah keyakinan orang tentang
relasi antara televisi dan khalayaknya berikut berbagai efek yang menyertainya.
Karena konteks penelitian ini dilakukan dalam kaitan merebaknya acara kekerasan
di televisi dan meningkatnya angka kejahatan di masyarakat, maka temuan penelitian
ini lebih terkait efek kekerasan di media televisi terhadap persepsi
khalayaknya tentang dunia tempat mereka tinggal. Salah satu temuan terpenting
adalah bahwa penonton televisi dalam kategori berat (heavy viewer)
mengembangkan keyakinan yang berlebihan tentang dunia sebagai tempat yang
berbahaya dan menakutkan. Sementara kekerasan yang mereka saksikan di televisi menanamkan
ketakutan sosial (social paranoia) yang membangkitkan pandangan bahwa
lingkungan mereka tidak aman dan tidak ada orang yang dapat dipercaya. Gerbner
berpendapat bahwa media massa menanamkan sikap dan nilai tertentu. Media pun
kemudian memelihara dan menyebarkan sikap dan nilai tersebut antar anggota
masyarakat, kemudian mengikatnya bersama-sama pula. Media mempengaruhi penonton
dan masing-masing penonton itu meyakini. Jadi, para pecandu televisi itu akan
punya kecenderungan sikap sama satu sama lain.
B.
Penemu Teori
Kultivasi (Cultivation Theory)
Sebelum bergabung di Universitas Pennsylvania, ia mengajar dan menjadi ahli di berbagi universitas diantaranya adalah : di Institut Riset Komunikasi, Universitas Illinois; Universitas California Selatan; El Camino Perguruan tinggi, Torrance, Cal.; dan Yohanes Muir Perguruan tinggi, Pasadena, Cal. Nya U.S. Gerbner juga bergabung untuk melakukan riset-riset dan juga bergabung dengan badan-badan atau komisi-kominsi diantaranya adalah riset internasional yang didukung oleh lembaga Ilmu pengetahuan nasional, Institut Kesehatan Mental nasional, Riset internasional dan Pertukaran (IREX), Komisi pengawas Presiden atas Penyebab Dan Pencegahan terhadap kekerasan, Ahli badan penasehat Umum Ilmiah atas Televisi dan Perilaku Sosial, Serikat sekerja Para aktor Layar. Komisi pengawas Hak Sipil, lembaga Robert Kayu Johnson , dan organisasi lainnya. George Gerbner adalah Profesor Dan Dekan Annenberg School for Communication, Universitas Pennsylvania dari 1964 sampai 1989. Ia kemudian menjadi suatu peneliti dan guru yang mandiri, dan dia mengunjungi Tokoh-tokoh dan Profesor di banyak negara. diantara yang dia kunjungi adalah: dosen di Universitas Athens, Yunani; Profesor Universitas Amerika ,Washington, D.C., ;Profesor Universitas Budapest, Hungary; Profesor Universitas Salesian Italia; dll.
Selain disebutkan seperti diatas George Gerbner juga aktif sebagai editor
eksekutif Jurnal Komunikasi yang triwulanan dan editorial dewan Encyclopedia
Komunikasi internasional.
Jurnal, Buku,
Serta Analisis dari George Gerbner Sampai sekarang sudah bayak sekali
jurnal dan buku yang sudah dibuat oleh Gerbner, judul jurnal dan buku dari
Gerbner yang terkenal diantaranya adalah :
Mass Media
Policies in Changing Cultures. A Cross-Cultural Study. Letter to the
Communication Initiative Violence Profile No. 11. Culture Wars and the
Liberating Alternative. What Conglomerate Media Control Means for America
and the World The Global Media Debate Violence and Terror in the Media International
Encyclopedia of Communications.
World Communications: Communications in the Twenty-First Century Mass Media Policies in Changing Cultures. Communications Technology and Social Policy.
World Communications: Communications in the Twenty-First Century Mass Media Policies in Changing Cultures. Communications Technology and Social Policy.
Analisis
Kultivasi dll Dewasa ini Gerbner juga tampak aktif dalam gerakan media
literacy yang bertujuan untuk melakukan penyadaran dan pemberdayaan khalayak
media agar tidak dirugikan dengan kehadiran media industri. Yang paling
terkenal dari karya Gerbner adalah analisisnya tentang Kultivasi. Analisis ini
menganggap bahwa Televisi membuat suatu pandangan dunia, walaupun tidak akurat
tetapi kebanyakan orang mempercayainya. Gerbner meneliti televisi karena dia
menggap televisi berbeda dengan media yang lain karena memiliki karakteristik
dan keunikan tersendiri.
C.
Definisi Teori
Teori Kultivasi
(Cultivation Theory) merupakan salah satu teori yang mencoba menjelaskan
keterkaitan antara media komunikasi (dalam hal ini televisi) dengan tindak
kekerasan. Teori ini dikemukakan oleh George Gerbner, mantan Dekan dari
Fakultas (Sekolah Tinggi) Komunikasi Annenberg Universitas Pennsylvania,yang
juga pendiri Cultural Environment Movement, berdasarkan penelitiannya terhadap
perilaku penonton televisi yang dikaitkan dengan materi berbagai
program televisi yang ada di Amerika Serikat.
D. Esensi teori
Teori kultivasi memiliki beberapa asumsi pokok (Wood,
2004:249), yakni :
a.
Televisi merupakan media yang
unik. Televisi membawa pesan visual dan audio sekaligus, sehingga lebih
impresif. Aspek unik lainnya, televisi bersifat Pervasive, menyebar dan hampir
dimiliki seluruh keluarga. Sebagai contoh di Amerika Serikat, pada tahun 1950,
hanya 9% keluarga yang memiliki pesawat televisi, tetapi pada tahun 1991
jumlahnya telah melonjak menjadi 98.3%. dari jumlah itu, lebih dari 2/3-nya
memiliki lebih dari satu pesawat. Pada tahun 2001, lebih dari 99% keluarga
Amerika memiliki pesawat televisi. Televisi juga bersifatAssesible, yakni dapat
diakses tanpa memerlukan kemampuan literasi atau keahlian lain). Selain itu,
televisi bersifat coherent, karena mempersentasikan pesan dengan dasar yang
sama tentang masyarakat melintasi program dan waktu.
b.
Televisi membentuk budaya
mainstream. Kita tak bisa menyangkal, tren budaya di mana pun selalu disebarkan
melalui televisi. Orang bergaul, berpakaian, atau memilih selera makan kini
dibentuk oleh televisi. Budaya global, yang berlaku di Negara mana pun,
sejatinya berasal dari isi siaran televisi. Gerbner dan kawan-kawan
memperkenalkan faktor-faktor mainstreaming dan resonance (Gerbner, Gross,
Morgan dan Signorielli, 1980 dalam Griffin, 2004). Mainstreaming diartikan
sebagai kemampuan memantapkan dan menyeragamkan berbagai pandangan di
masyarakat tentang dunia di sekitar mereka (Tv Stabilize and homogenize views
within a society). Dalam proses ini televisi pertama kali akan mengaburkan
(bluring), kemudian membaurkan (blending) dan melenturkan (bending) perbedaan
realitas yang beragam menjadi pandangan mainstream tersebut. Sedangkan
resonance mengimplikasikan pengaruh pesan media dalam persepsi realita
dikuatkan ketika apa yang dilihat orang di televisi adalah apa yang mereka
lihat dalam kehidupan nyata.
c.
Televisi menanamkan asumsi
tentang hidup secara luas, ketimbang memberikan opini dan sikap yang lebih
spesifik. Televisi memang bicara banyak, tetapi menghindari detail. Televisi
lebih mengikuti tren ketimbang terfokus pada sebuah isu yang sebetulnya lebih
relevan untuk disiarkan.
d.
Semakin banyak seseorang
menghabiskan waktu untuk menonton televisi, semakin kuat kecenderungan orang
tersebut menyamakan realitas televisi dengan realitas sosial. Dunia nyata (real
world) di sekitar penonton dipersamakan dengan dunia rekaan yang disajikan
media tersebut (symbolic world). Dengan kata lain, penonton mempersepsi apapun
yang disajikan televisi sebagai kenyataan sebenarnya. Namun teori ini tidak
menggeneralisasi pengaruh tersebut berlaku untuk semua penonton, melainkan
lebih cenderung pada penonton dalam kategori heavy viewer (penonton berat).
Hasil pengamatan dan pengumpulan data yang dilakukan oleh Gerbner dan
kawan-kawan bahkan kemudian menyatakan bahwa heavy viewer mempersepsi dunia ini
sebagai tempat yang lebih kejam dan menakutkan (the mean and scray world)
ketimbang kenyataan sebenarnya. Fenomena inilah yang kemudian dikenal sebagai
“the mean and world syndrome” (sindrom dunia kejam) yang merupakan sebentuk
keyakinan bahwa dunia sebuah tempat yang berbahaya, sebuah tempat di mana sulit
ditemukan orang yang dapat dipercaya, sebuah tempat di mana banyak orang di
sekeliling kita yang dapat membahayakan diri kita sendiri. Untuk itu harus
berhati-hati menjaga diri. Pembedaan dan pembandingan antara heavy dan light
viewer di sini dipengaruhi pula oleh latar belakang demografis di antara
mereka.
e.
Penonton ringan (light viewers)
cenderung menggunakan jenis media dan sumber informasi yang lebih bervariasi
(baik komunikasi bermedia maupun sumber personal), sementara penonton berat
(heavy viewers) cenderung mengandalkan televisi sebagai sumber informasi
mereka.
f.
Perkembangan teknologi baru
memrpekuat pengaruh televisi.
Asumsi terakhir
menyatakan bahwa pembangunan teknologi baru memperkuat pengaruh televisi.
Asumsi ini diajukan Gerbner pada tahun 1990 setelah menyaksikan perkembangan
teknologi komunikasi yang luar biasa. Asumsi ini mengandung keyakinan bahwa
teknologi pendukung tidak akan mengurangi dampak televisi sebagai sebuah media,
malahan pada kenyataannya akan meneguhkan dan memperkuat.
Gerbner menandaskan, media massa khususnya televisi diyakini
memiliki pengaruh yang besar atas sikap dan perilaku penontonnya (behavior
effect). Pengaruh tersebut tidak muncul seketika melainkan bersifat kumulatif
dan tidak langsung. Inilah yang membedakan teori ini dengan The Hypodermic
Needle Theory, atau sering juga disebut The Magic Bullet Theory, Agenda Setting
Theory, Spiral Of Silence Theory. Lebih lanjut dapat dikemukakan bahwa pengaruh
yang muncul pada diri penonton merupalan tahap lanjut setelah media itu terebih
dahulu mengubah dan membentuk keyakinan-keyakinan terrentu pada diri mereka
melalui berbagai acara yang ditayangkan. Satu hal yang perlu dicermati adalah
bahwa teori ini lebih cenderung berbicara pengaruh televisi pada tingkat
komunitas atau masyarakat secara keseluruhan dan bukan pada tingkat individual.
Secara implisit teori ini juga berpendapat bahwa pemirsa
televisi bersifat heterogen dan terdiri
dari individu-individu yang pasif yang tidak berinteraksi satu sama lain. Namun
mereka memiliki pandangan yang sama terhadap realitas yang diciptakan media
tersebut.
Di antara berbagai teori dampak media, cultivation analysis
merupakan teori yang menonjol. Gerbner menyatakan bahwa televisi sebagai salah
satu media modern, telah memperoleh tempat sedemikian rupa dan sedemikian
penting dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, sehingga mendominasi
“lingkungan simbolik” kita dengan cara menggantikan pesannya tentang realitas
bagi pengalaman pribadi dan sarana dunia lainnya.
Teori kultivasi melihat media massa sebagai agenda sosialisasi, dan
menemukan bahwa penonton televisi dapat mempercayai apa yang ditampilkan oleh
televisi berdasarkan seberapa banyak mereka menontonnya.
Untuk menunjukan bahwa televisi sebagai media yang mempengaruhi
pandangan kita terhadap realitas sosial, para peneliti cultivation analysis
bergantung kepada empat tahap proses :
1. Message system analysis yang menganalisis isi program televisi.
2. Formulation of question about viewers’ sosial realities yaitu
pertanyaan yang berkaitan dengan seputar realitas sosial penonton televisi.
3. Survey the audience yaitu menanyakan kepada mereka seputar apa yang
mereka konsumsi dari media, dan
4. Membandingkan realitas sosial antara penonton berat dan orang yang
jarang menonton televisi.
Keempat tahap ini dapat disederhanakan menjadi dua jenis analisis :
1. Analisis isi (content analysis), yang, mengidentifikasi dan menentukan
tema-tema utama yang disajikan oleh televisi.
2. Analisis khalayak (audience research), yang mencoba melihat pengaruh
tema-tema tersebut pada penonton.
Bukti utama
asumsi cultivation analysis diperkuat oleh studi analisis isi pesan televisi di
Amerika. Analisis itu dilakukan selama beberapa tahun dan menunjukan distorsi
realitas yang konsisten dalam hubungannya dengan keluarga, pekerjaan dan peran,
usia lanjut, mati dan kematian, pendidikan, kekerasan dan kejahatan. Isu ini
memberikan pelajaran tentang hal-hal yang diharapkan dari kehidupan bukanlah
pesan yang membesarkan hati, khususnya bagi si miskin, kaum wanita dan
minoritas rasial, (Mc Quail, 1987:254).
E. Asumsi Analisis Kultivasi
Dalam
mengemukakan posisi bahwa realitas yang dimediasi menyebabkan konsumen
memperkuat realitas sosial mereka, Analisis kultivasi membuat beberapa asumsi.
Karena teori ini dari dulu hingga kini merupakan teori yang didasarkan pada
televisi, ketiga asumsi ini menyatakan hubungan antara media dan budaya :
1.
Televisi, secara esensi dan
fundamental, berbeda dengan bentuk-bentuk media massa lainnya.
2.
Televisi membentuk cara
berpikir dan membuat kaitan dari masyarakat kita.
3.
Pengaruh dari televisi
terbatas.
Asumsi yang pertama dari
analisis kultivasi menggarisbawahi keunikan
dari televisi. Televisi berada di dalam lebih dari 98 persen rumah di
Amerika Serikat. Televisi tidak membutuhkan kemampuan membaca, sebagaimana
dengan media cetak. Tidak seperti film, televisi pada dasarnya gratis (selain
biaya yang dikeluarkan pertama kali untuk pesawat televisi dan biaya iklan yang
ditambahkan para produk-produk yang kita beli). Tidak seperti radio, televisi
mengkombinasikan gambar dan suara. Televisi tidak membutuhkan mobilitas, sebagaimana
pergi ke tempat ibadah misalnya, atau pergi ke bioskop atau teater. Televisi
adalah satu-satunya medium yang pernah diciptakan yang tidak memiliki batasan
usia, maksudnya, orang sapat menggunakannya pada tahun-tahun awal dan akhir
dari kehidupan mereka, dan juga tahun-tahun di antaranya.
Oleh karena televisi mudah diakses
dan tersedia bagi siapa saja, televisi merupakan “senjata budaya utama” dari
budaya kita (Gerbner, Gross, Jackson-Beeck,Jeffries-Fox, dan Signorielli, 1978).
Televisi dapat menampilkan bersama dua kelompok yang berbeda yang menunjukkan
persamaan mereka. Misalnya, pada masa serangan awal di Irak, televisi
mentransmisikan siaran langsung dari Baghdad. Mereka yang mendukung pengeboman
menyatakan pentingnya menyerang target-target militer kunci, sementara mereka
yang menentang perang ini menunjuk banyaknya perang sipil. Televisilan yang
memungkinkan kedua kubu ini untuk menunjukkan kedua sisi gambaran perang yang
berbeda. Dengan kata lain, televisi merupakan pencerita dari yang utama dan memliki kemampuan untuk mengumpulkan
kelompok-kelompok yang berbeda. Selain itu, siapa yang dapat meragukan mengenai
peranan yang telah dimainkan oleh televisi dalam menceritakan kisah negara ini
mengenai tragedi 11 September 2001?
Asumsi yang kedua berkaitan
dengan dampak dari televisi. Gerbner dan Gross (1972) menyatakan bahwa “
substansi dari kesadaran yang dikultivasi oleh TV tidak merupakan sikap dan
opini yang lebih spesifik dibandingkan asumsi-asumsi yang lebih mendasar
mengenai fakta-fakta kehidupan dan standar-standar penilaian yang mendasari penarikan
kesimpulan” (hal 175). Maksudnya, televisi tidak lebih berusaha untuk
memengaruhi kita (televisi tidak berusaha untuk meyakinkan Joyce Jensen bahwa jalan merupakan tempat
yang tidak aman) melainkan melukiskan gambar yang lebih kurang meyakinkan
mengenai seperti apa dunia sebenarnya. Gerbner (1998) mengamati bahwa televisimencapai orang, rata-rata, lebih dari tujuh jam sehari. Selama kurun waktu ini,
televisi menawarkan “sistem penceritaan kisah yang tterpusat”.
Berdasarkan asumsi ini, analisis
kultivasi memberikan cara pemikiran alternatif mengenai kekerasan dalam
TV. Analisis kultivasi tidak menyatakan
mengenai apa yang akan kita lakukan berdasarkan menonton televisi yang penuh
dengan kekerasan, melainkan teori ini mengasumsikan bahwa menonton televisi
bahwa menonton televisi yang penuh dengan kekerasan akan membuat kita merasa
takut karena televisi menanamkan di dalam diri kita gambaran dunia yang kejam
dan berbahaya.
Asumsi ketiga dari
analisis kultivasi menyatakan bahwa dampak dari televisi terbatas, hal ini
mungkin terdengar aneh, apalagi melihat fakta bahwa televisi tersebar sangat
luas. Tetapi, kontribusi terhadap budaya
yang dapat diamati, dikur, dan independen relatif kecil. Hal ini mungkin tampak
seperti pernyataan ulang dari pemikiran dampak minimal, tetapi, Gerbner
menggunakan analogi zaman es untuk membedakan analisi kultivasi dari pendekatan
dampak terbatas. Analogi zaman es (ice age analogy) menyatakan bahwa
“sebagaimana pergeseran temperatur rata-rata sebanyak beberapa derajat dapat
mengakibatkan zaman es, atau hasil akhir pemilihan umum dapat ditentukan dengan
batas yang tipis, demikian pula dampak yang relatif kecil namun tersebar luas
dapat membuat perbedaan besar. “ukuran” dari “dampak” jauh lebih tidak penting
dibandingkan dari arah kontribusinya yang berkelanjutan” (Gerbner, Gross,
Mirga, dan Signorielli, 1980). Argumen ini tidak menyatakan bahwa dampak dari
televisi tidak memiliki konsekuensi, sebaliknya, walaupun dampak televisi terhadap
budaya yang dapat diukur, diamati, dan independen pada suatu titik waktu
tertentu mungkin terlihat kecil, dampak ini tetap ada dan signifikan. Lebih
jauh lagi, Gerbner dan koleganya menyatakan bahwa ini bukan merupakan kasus di
mana menonton tayangan program televisi tertentu akan mnyebabkan suatu perilaku
tertentu .
F. Proses dan Produk Analisis
Kultivasi
Untuk menunjukkan secara empiris
keyakinan mereka bahwa televisi memiliki dampak kausal terhadap budaya, para
peneliti Kultivasi mengembangkan proses empat tahap yaitu :
1.
Analisis sistem pesan, terdiri
atas analisis isi mendetail dari pemrograman televisi untuk menunjukkan
presentasi gambar, tema, nilai, dan penggambaran yang paling sering berulang
dan konsisten.
2.
Formulasi pertanyaan mengenai
realitas sosial penonton, melibatkan penyusunan pertanyaan mengenai pemahaman
orang akan kehidupan sehari-sehari mereka.
3.
Menyurvey khalayak,
mensyaratkan bahwa pertanyaan-pertanyaan dari tahap kedua diberikan kepada
anggota khalayak dan bahwa para peneliti menanyakan para penonton ini mengenai
level konsumsi televisi mereka.
4.
Membandingkan realitas sosial
dari penonton kelas berat dan kelas ringan. Menurut Gerbner terdapat sebuah
perbedaan antara penonton kelas berat dengan penonton kelas ringan dan persepsi
mereka mengenai kekerasan (diferensial kultivasi). Penonton kelas berat adalah
mereka yang paling sering menonton dari sekelompok sampel orang yang diukur,
sementara penonton kelas ringan adalah mereka yang paling sedikit menonton.
Pengarusutamaan Dan Resonansi
Proses kultivasi
terjadi dalam dua cara. Pertama adalah pengarusutamaan (mainstreaming), yaitu terjadi ketika terutama bagi penonton kelas
berat, simbol-simbol televisi mendominasi sumber informasi lainnya dan ide
mengenai dunia. Karena menonton televisi terlalu banyak, konstruksi realitas
sosial seseorang bergera ke arah mainstream.
Para penonton kelas berat cenderung untuk percaya akan realitas mainstream bahwa dunia lebih berbahaya
dari sebenarnya dan bahwa semua politikus itu korup, dan bahwa kejahatan remaja
sedang berada pada tingkat yang tertinggi.
Cara kedua
kultivasi bekerja adalah melalui resonansi. Resonansi (resonance) terjadi
ketika hal-hal di dalam televisi, dalam kenyataannya, kongruen dengan realitas
keseharian para penonton. Dengan kata lain, realitas eksternal objektif dari
penonton beresonansi dengan realitas televisi. Beberapa orang yang tinggal di
pusat kota, misalnya mungkin melihat dunia yang penuh kekerasan di televisi
beresonansi di lingkungan perumahan mereka yang mulai kacau.
Kultivasi, naik sebagai pengarusutamaan maupun
resonansi, menghasilkan dampak pada dua level yaitu :
Dampak tingkat pertama (first order effect), merujuk pada
pembelajaran mengenai fakta-fakta, misalnya seperti berapa banyak pria bekerja
yang terlibat di dalam proses penegakan hukum atau bagaimana proporsi
pernikahan yang berakhir denga perceraian.
Dampak tingkat dua (second order effect), melibatkan
hipotesis mengenai isu dan asumsi yang lebih umum “ yang dibuat oleh orang
mengenai lingkungan mereka (Gerbner, Gross, Morgan, dan Signorielli, 1986).
Indeks dunia yang
kejam
Hasil dari analisis kultivasi adalah
indeks dunia yang kejam - mean world
index (Gerbner, Gross, Morgan, dan Signorielli, 1980) yang terdiri atas tiga
pernyataan :
1.
Kebanyakan orang berhati-hati
untuk diri mereka sendiri
2.
Anda tidak dapat terlalu
berhati-hati dalam berurusan dengan orang
3.
Kebanyakan orang akan mengambil
keuntungan dari anda jika mereka memiliki kesempatan.
Analisis
kultivasi memprediksi bahwa persetujuan dengan pernyataan-pernytaan ini dari
penonton kelas ringan dan berat akan berbeda, dengan penonton kelas berat
memandang dunia sebagai dunia yang lebih kejam dibandingkan penonton kelas
ringan. Teori ini juga memprediksi bahwa jumlah televisi adalah penduga jawaban
orang yang terbaik, mengalahkan jenis pembedaan di antara orang yang lain.
Misalnya pendapatan danpendidikan.
Gerbner dan
koleganya (1980) menunjukkan efektifitas indeks dunia yang kejam mereka dalam
sebuah kajian yang menunjukkan bahwa penonton kelas berat cenderung untuk
melihat dunia sebagai tempat yang kejam dibandingkan penonton kelas ringan.
Para penonton yang memiliki latar belakang pendidikan lebih tinggi dan lebih
baik dalam hal finansial secara umum memandang dunia tidak lebih kejam
dibandingkan dengan mereka yang tingkat pendidikan dan penghasilannya lebih
rendah. Tetapi dalam menguji kekuatan televisi, para peneliti menunjukkan bahwa
penonton kelas berat dari kelompok dengan tingkat pendidikan tinggi dan keadaan
finansial yang lebih baik melihat dunia sebagai tempat yang berbahaya
sebagaimana halnya dengan orang-orang berpendidikan dan berpenghasilan rendah.
Dengan kata lain, para penonton kelas berat memegang persepsi mainstream mengenai dunia sebagai tempat
yang kejam, tanpa memedulikan fakktor-faktor seperti pendidikan dan
pendapatan.para peneliti kultivasi melihat hal ini sebagai bukti bahwa isi
televisi merupakan faktor penyusun realitas sosial bagi penonton kelas berat,
tanpa memedulikan perbedaan individual atau sosial.
F. Teori Kultivasi oleh George Gerbner
1. Pandangan Analisis Kultivasi
Menurut teori
kultivasi, media, khususnya televisi, merupakan sarana utama proses belajar
anda tentang masyarakat dan kultur anda. Teori kultivasi berpendapat bahwa
pecandu berat televisi membentuk suatu citra realitas yang tidak konsisten
dengan kenyataan. Sebagai contoh, seorang pecandu berat televisi menganggap
bahwa kemungkinan seseorang menjadi korban kejahatan adalah 10 banding 1,
Padahal dalam kenyataannya nilainya tidak setinggi itu. Namun, tidak semua pecandu
berat televisi terkultivasi secara sama.
2. Kultivasi dan Pemirsa Berat Televisi
Rata-rata pemirsa
menonton televisi empat jam sehari, pemirsa “berat” menonton lebih lama lagi.
Gerbner menyatakan, terhadap pemirsa “berat”, televisi memonopoli dan memasukkan
sumber-sumber informasi, gagasan, dan kesadaran lain. Dampak semua keterbukaan
ke pesan-pesan yang sama menghasilkan apa yang oleh para peneliti disebut
kultivasi, atau pengajaran pandangan bersama tentang dunia sekitar, peran-peran
bersama, dan nilai-nilai bersama. Jika teori kultivasi benar, maka televisi
mungkin mempunyai dampak yang penting tetapi tidak tampak di masyarakat.
Misalnya, teori kultivasi menyatakan bahwa karena terlalu sering menonton
membuat orang merasa dunia ini adalah tempat yang tidak aman. Berdasarkan
riset awal yang mendukung teori kultivasi, menanggapi pertanyaan seperti
“dapatkah orang dipercaya?”, pemirsa “berat” televisi mempunyai kemungkinan
lebih besar daripada pemirsa “ringan” untuk memilih jawaban “seharusnya tidak”.
Respons terhadap pertanyaan seperti itu mengisyaratkan pemirsa ”berat” televisi
mendapatkan perasaan risiko dan ketidakamanan yang meningkat dari televisi.
Televisi mungkin menyebabkan pemirsa ”berat” mempunyai persepsi “dunia yang
kejam”.
3. Media (televisi) sebagai Penyebar Kultivasi
Kekejaman di
media sangat sulit untuk didefinisikan dan diukur. George Gerbner yang
mengikuti `violence` atau kekejaman yang disiarkan dalam program
televisi, mendefinisikan tindakan kejam atau `violence act` (atau ancaman) dari
melukai atau membunuh seseorang, tergantung dari metode yang digunakan secara
sendiri-sendiri atau dari konteks keadaan sekitar tayangan tersebut. Bertalian
ragam penyajiannya, media massa khususnya audio visual, ada beberapa hal yang
perlu diperhatikan pengelolanya agar mencapai sasarannya, antara lain dengan
menjawab pertanyaan: Who (siapa); Says what (mengatakan apa); In which channel
(dengan melalui saluran apa); To whom (ditujukan kepada siapa); With what
effect (menimbulkan efek apa). Tetapi kenyataannya tayangan tentang kekerasan
dan kesadisan baik dalam rumah tangga maupun dalam kehidupan masyarakat menjadi
salah satu primadona tayangan yang sering disiarkan di media televisi tanpa
mempertimbangkan kepada siapa ditujukan dan bagaimana efek yang akan
ditimbulkan. Contohnya adalah efek jangka panjang yang ditimbulkan televisi
seperti yang dijelaskan dalam Cultivation Analisist.
4. Analisis terhadap Televisi
Tujuan awal dari
analisis oleh George Gerbner ini adalah menghasilkan suatu indeks tahunan pada
minggu-minggu tertentu pada tayangan televisi yang menampilkan adegan
kekerasan. Kultivasi sendiri adalah hasil dari menonton tv secara umum, hal itu
bukan merupakan gejala yang universal kecuali pengaruh mainstreamingnya.
a.
Hasil penelitian terhadap
proyek indikator kultural menurut Gerbner :
·
Televisi secara mendasar
berbeda dengan media massa yang lain.
·
Medianya adalah ”central
cultural arm” pada masyarakat Amerika.
·
Fungsi kultural televisi adalah
menstabilkan pola-pola sosial, menanamkan perlawanan pada perubahan dan
merupakan media sosialisasi dan enkulturasi
·
Substansi dari penanaman nilai
kesadaran oleh televisi adalah tidak banyak pendapat seperti dasar asumsi
tentang fakta-fakta kehidupan.
·
Penampakan nilai-nilai
kebudayaan seperti kerukunan relatif kecil.
b.
Hasil penelitian Gerbner
tentang televisi:
·
Pengaburan perbedaan
tradisional dari pandangan penonton tentang dunia mereka
·
Pencampuran realita kedalam
aliran kebudayaan televisi.
·
Pembelokan aliran ketertarikan
secara institusional pada televisi
c.
Kelebihan Analisis kultivasi:
·
Mengkombinasikan teori tingkat
makro dan mikro
·
Menyediakan penjelasan lengkap
tentang peran unik televisi
·
Menggunakan studi empiris untuk
mempelajari kemanusiaan
·
Efek penegasan ulang sebagai
sesuatu yang melebihi perubahan tingkah laku yang diamati
·
Menggunakan keragaman efek isu
·
Menyediakan dasar untuk
perubahan social
d.
Kekurangan analisis kultivasi :
·
Sulit diaplikasikan pada media
yang tidak menggunakan televisi
·
Memfokuskan pada penonton berat
televisi
·
Mengasumsikan bahwa televisi
itu sejenis
·
Banyak menimbulkan masalah
e. Empat produk
analisis kultivasi :
·
Meneliti penonton
·
Membandingkan realitas sosial
penonton berat dengan ringan
·
Merumuskan pertanyaan tentang
realitas sosial penonton
·
Menyebut analisis sistem perpesanan
pada televisi
5. Perbedaan Cultivation Analisist dengan Bullet Theory atau
Hypodermic theory
Pada dasarnya
Cultivation Analisist yang dikembangkan Gerbner dikenalkannya pada kelompok
repowerfull media, teori ini ada kemiripan dengan pandangan awal Bullet Theory
atau Hypodermic needle theory ( teori jarum hipodermik) Perbedaan
mendasar antara Cultivation Analisist yang dikembangkan Gerbner dengan Bullet
Theory atau Hypodermic needle theory adalah : Jika Cultivation Analisist mampu
membangun suatu pandangan dan mainstreaming dalam jangka panjang, artinya efek dari penayangan gambaran
realita yang terus dan sering ditayangkan di media televisi dapat menimbulkan
Efek dalam jangka waktu yang relatif lebih panjang. Misalnya saat media sering
menampilkan berita kejahatan seksual di televisi maka dalam jangka waktu yang relatif lama orang
akan berasumsi bahwa dunia sekarang ini tidak aman, padahal kenyataannya tidak
seperti itu. Jika Bullet Theory atau Hypodermic needle theory lebih pada
pengamatan pengaruh media dalam jangka pendek. Berdasarkan pengamatan
spekulatif dan belum berdasarkan penelitian empiris seperti penelitian yang
dilakukan oleh Lazarsfeld dkk, mengenai kecenderungan dalam masyarakat ketika
terjadi propaganda menunjukkan adanya pengaruh yang kuat dari media. Menurut
Lazarsfeld jika khalayak diterpa peluru komunikasi mereka tidak jatuh
terjerembab. Kadang-kadang peluru itu tidak menembus, dan sering juga efek yang
timbul berlainan dengan tujuan si penembak.
6. Paradigma Penelitian yang dilakukakan George Gerbner
Jika dilihat dari
apa dan bagaimana penelitian yang dikembangkan Gerbner maka penelitian yang
dikembangkan Gerbner masuk dalam paradigma postmodernisme. Dalam paradigma ini,
ilmu yang didapat, berasal dari masyarakat yang diteliti dan peneliti tidak
boleh mengubah apapun dari manusia yang diteliti. Hal itu dikarenakan manusia
yang diteliti tidak ditempatkan sebagai obyek penelitian tetapi ditempatkan
sebagai subyek penelitian yang unik. Dan karena manusia tidak ditempatkan
sebagai obyek maka peneliti hanya menggunakan cara berfikir manusia yang
diteliti. Pada paradigma penelitian postmodernisme kebanyakan tidak
memperhatikan teori-teori yang besar yang ada. Salah satu contoh dari paradigma
postmodernisme dapat dilihat dalam kajian cultural studies. Karakteristik
pendekatan postmodernisme :
a.
Menolak semua ideologi dan
sistem kepercayaan yang terorganisir termasuk semua teori social
b.
Sangat mempercayai intuisi,
imajinasi, emosi.
c.
Kepercayaan bahwa hubungan
kausalitas tidak dapat dipelajari karena kehidupan sangat kompleks dan mudah
berubah.
d.
Pernyataan bahwa penelitian
sosial tidak dapat mengungkapkan apa yang terjadi dalam dunia sosial dengan
benar-benar tepat.
e.
Mendukung relativisme dimana
interpretasi tidak terbatas, sehingga tidak satupun menjadi superior dari yang
lain.
f.
Dorongan dari perbedaan, chaos
dan kompleksitas berubah secara tetap.
g.
Penolakan mempelajari masa lalu
dengan tempat lain yang berbeda karena yang relevan hanya sekarang dan di
tempat yang dimahsud.
h.
Perasaan ketiadaan dan pesimisme
percaya bahwa dunia ini tidak pernah berkembang.
Tetapi ada pertanyaan besar yang harus dijawab, yaitu Apakah Cultivation Analisist oleh Gerbner ini masuk dalam paradigma postmodernisne dikarenakan dia mengkaji televisi?.
Memang postmodernisme yang menjelaskan fenomena kontemporer, masyarakat informasi ( yang ditandai dengan masyarakat yang tidak memproduksi barang-barang secara massal seperti pada masyarakat pada era modern, ditandai dengan dominannya budaya Visual yang dalam cultivation analisis ditandai dengan dominannya Televisi. Televisi sendiri dewasa ini dapat membangun budaya konsumtif dan dominannya karakteristik hiburan yang dihasilkan media itu. Kajian dalam postmodernisme lebih banyak menelaah budaya dari masyarakat kapitalis sedangkan Gerbner masih dalam kajian media effect, yang tidak secara khusus mempersoalkan apa yang menjadi tema kajian kalangan postmodernisme.
Tetapi ada pertanyaan besar yang harus dijawab, yaitu Apakah Cultivation Analisist oleh Gerbner ini masuk dalam paradigma postmodernisne dikarenakan dia mengkaji televisi?.
Memang postmodernisme yang menjelaskan fenomena kontemporer, masyarakat informasi ( yang ditandai dengan masyarakat yang tidak memproduksi barang-barang secara massal seperti pada masyarakat pada era modern, ditandai dengan dominannya budaya Visual yang dalam cultivation analisis ditandai dengan dominannya Televisi. Televisi sendiri dewasa ini dapat membangun budaya konsumtif dan dominannya karakteristik hiburan yang dihasilkan media itu. Kajian dalam postmodernisme lebih banyak menelaah budaya dari masyarakat kapitalis sedangkan Gerbner masih dalam kajian media effect, yang tidak secara khusus mempersoalkan apa yang menjadi tema kajian kalangan postmodernisme.
Ringkasnya, Gerbner meringkas teori kultivasi dalam enam proposisi sebagai berikut:
- Televisi merupakan suatu media yang unik yang memerlukan pendekatan khusus untuk diteliti.
- Pesan-pesan televisi membentuk sebuah sistem yang koheren mainstrem dari budaya kita.
- Sistem-sistem isi pesan tersebut memberikan tanda-tanda untuk kultivasi.
- Analisis kultivasi memfokuskan pada sumbangan televisi terhadap waktu untuk berpikir dan bertindak dari golongan golongan sosial yang besar dan heterogen.
- Teknologi baru seperti VCR memperluas daripada mengelakkan jangkauan pesan televisi
- Analisis kultivasi menfoluskan pada penstabilan yang meluas dan penyamaan akibat-akibat (gerbner, dalam Signorielli dan morgan, 1990:253)
DAFTAR PUSTAKA
Santoso, Edi & Setiansah, Mite. 2010.Teori
Komunikasi. Yogyakarta: Graha Ilmu.
West, Richard & Turner H. Lynn.
2008. Pengantar Teori Komunikasi Analisis dan Aplikasi. Jakarta. Salemba
Humanika
http://wsmulyana.wordpress.com/2009/01/09/teori-kultivasi/
http://mydistra.blogspot.com/2009/01/kultivasi-gerbner.htmlKonglomerasi Media
Bahaya Televisi
1 comments:
ini tahun berapa di publish
Post a Comment