Search This Blog

This is default featured post 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Tuesday, February 6, 2018

Hiperrealita Media


Hiperrealitas Media

Jean Baudrilland, seorang peneliti asal Prancis menyakini bahwa tanda-tanda memang terpisah dari objek yang mereka tandai dan bahwa media telah menggerakkan proses ini sehingga titik di mana tidak ada yang nyata. (littlejohn, 408:2009).

Menurut baudrilland media telah mengaburkan batas-batas antara sesuatu yang nyata dengan sesuatu yang maya. Melalui tanda-tanda yang di ciptakan manusia sendiri ternyata manusia pada akhirnya merasa bahwa tanda-tanda yang mereka ciptakan itu sesuatu yang benar dan nyata.
Baudrillard memperkenalkan teori simulasi. Di mana peristiwa yang tampil tidak mempunyai asal-usul yang jelas, tidak merujuk pada realitas yang sudah ada, tidak mempunyai sumber otoritas yang diketahui. Konsekuensinya, kata Baudrillard, kita hidup dalam apa yang disebutnya hiperrealitas (hyper-reality). Segala sesuatu merupakan tiruan, tepatnya tiruan dari tiruan, dan yang palsu tampaknya lebih nyata dari kenyataannya (Sobur, 2006).

Sebuah iklan menampilkan seorang pria lemah yang kemudian menenggak sebutir pil multivitamin, seketika pria tersebut memiliki energi yang luar biasa, mampu mengerek sebuah truk, tentu hanya ‘mengada-ada’. Karena, mana mungkin hanya karena sebutir pil seseorang dapat berubah kuat luar biasa. Padahal iklan tersebut hanya ingin menyampaikan pesan produk sebagai multivitamin yang memberi asupan energi tambahan untuk beraktiv

Media Sosial
Keberadaan media-media sosial, ternyata menciptakan fenomena baru yang menarik untuk dikaji lebih dalam. Fenomena yang paling jelas adalah hiperrealitas. Jean Baudrillard, seorang sosiologis ternama dari Perancis, dalam bukunya Simulacra and Simulation”, menyebutkan bahwa hiperralitas adalah sebuah konsep dimana realitas yang dalam konstruksinya tidak bisa dilepaskan dari produksi dan permainan tanda-tanda yang melampaui realitas aslinya (hyper-sign)Hiperrealitas adalah suatu keadaan di mana kepalsuan bersatu dengan keaslian, tercampur-baur. Masa lalu berbaur dengan masa kini, fakta bersimpang siur dengan rekayasa, tanda melebur dengan realitas, dusta bersenyawa dengan kebenaran. Hiperrealitas menghadirkan model-model kenyataan sebagai sebuah simulasi (tiruan yang mirip dengan aslinya). Simulasi itu menciptakan simulacrum (jamak: simulacra), didefinisikan sebagai image atau representation. Hiperrealitas membuat orang akhirnya terjebak pada simulacra, dan bukan pada sesuatu yang nyata.

Nicolas Carr menyebut hal ini sebagai citra kamuflase. Dalam buku The Shallows: What the Internet Is Doing to Our Brains, Carr mengejutkan publik, karena mengeluarkan teori bahwa kehidupan digital (baca internet) telah mendangkalkan cara berfikir manusia. Salah satu mengapa pikiran menjadi dangkal, adalah karena citra-citra kamuflase tersebut. Orang terbiasa hidup dalam alam yang bukan realitas, tetapi hiperrealitas. Terlebih di media sosial. Orang bisa mencitrakan dirinya sesuka hati, sehingga citra yang muncul benar-benar positif. Sebagai contoh, saya pernah “tertipu” dengan seorang pemilik akun sosial media yang terlihat begitu imut dan cantik, tetapi setelah bertemu, ternyata (maaf) penampilannya biasa-biasa saja.


Media Massa
Cara kita melihat dunia saat ini, diperngaruhi oleh media (televisi, Internet, Koran, Majalah, Radio dll). Kita mempercayai semua yang ditayangkan dalam berita di televisi, Berita di koran, Berita online di media online sebagai kenyataan dan realita yang terjadi sebenarnya.

 Kita tahu ada ISIS di timur tengah, ada perang di Israel, kelaparan di Asmat Papua, kasus pembegalan di mana-mana, Guru menganiaya muridnya, Murid membunuh gurunya, Mudid menantang kepala sekolahnya. Sebenarnya secara tidak langsung itu kita belajar cara bagaimana memandang dunia. 

Apakah semua berita yang di suguhkan oleh media tersebut adalah realita dan fakta ? ya itu fakta tapi bukan realita sebenarnya itu adalah realita media, Fakta yang telah dipilah, dipilih, di sunting dan setelah benar2 dibumbui baru siarkan kepada khalayak. Apakah itu benar ? ya kebenaran yang menguntungkan mereka  (media tersebut lebih Khusus pemilik media yang bersangkutan) 
Kenyataan
Jika Anda saat ini menjadi sangat takut untuk keluar rumah pada malam hari, takut di begal jika sendirian dia jalan raya, takut anak anda akan di pukuli, berarti media telah sukses untuk mengubah arah berfikir anda. Dan menganggap realita media adalah realita yang benar.
Jika anak Anda melakukan, bersikap dan bertingkah lalu sesuai dengan  tayangan sinetron atau film anak yang anak Anda tonton setiap hari, berarti anak Anda telah terjebak dalam realita media.
Jika Anda merasa menjadi penjelajah dan menjadi  orang yang bebas dengan merokok Djarum Super, berarti Anda sudah terjebak dalam hiperrealitas.
 
Jika Anda merasa menjadi sekuat Macan setelah makan Biskuat Berarti Anda telah terjebak pula dalam hiperrealita
Jika Anda tertipu dengan wajah cantik yang ada pada profile Facebook kenalan anda, berarti Anda juga terjebak

Kita seringkali masih berfikir bahwa yang ditayangkan media itu benar dan nyata, terutama berita. Tetapi walaupun kita tahu bahwa iklan sering kali melebih lebihkan sesuatu, Film menayangkan sebuat sesuatu yang tidak nyata, bahkan kita tahu bahwa film kartun itu sesuatu benar-benar tidak nyata, tetapi anehnya seringkali kita percaya dan terjebak dalam realita palsu tersebut. 

Terjebak
Tenyata tanpa kita sadari kita terjebak dalam realita-realita palsu yang sengaja diciptakan untuk mengurung kita dalam dunia yang semu. Padahal manusia sendiri yang menciptakan kepalsuan itu. Tetapi justru kita akan terjebak dalam jebakan kita dalam dunia yang disebut hiperrealitas. Berfikir dan jangan mudah percaya dengan media yang kita baca, Jangan terjebak dalam media dalam satu konglomerasi 



Televisi Merusak Moral

Televisi Merusak Moral

Mungkin banyak yang akan bertanya, apa hubungan antara degradasi moral dan televisi ? mari kita bahas satu persatu.  Degradasi moral adalah penurunan tingkah laku manusia akibat tidak mengikuti hati nurani Karena kurangnya kesadaran diri terhadap kewajiban mutlak. Degradasi artinya menurun sedangkan moral adalah nilai-nilai positif. Memang sengaja tidak saya jabarkan satu persatu. Untuk mudah dalam membayangkan degradasi moral saya contohkan demikian. Seseorang saling memberikan salam dan tegur sapa  itu baik, tapi yang terjadi saat ini orang orang terlalu sibuk dengan gadget nya sampai tidak tahu ada yang datang atau menghampirinya.  Guru itu harus dihargai dan dihormati, dengan bertutur kata yang baik, menjaga sopan santun ketika bertemu dengan beliau, yang banyak terjadi seorang siswa sma sederajat di kota besar  mengangap guru seperti teman sebaya, berperilaku seenaknya, tidak menghargai apa lagi menghormati beliau.
Baru saja terjadi, Seorang murid SMA di Madura membunuh gurunya dan di Banjarnegara seorang murid menantang Kepala sekolahnya. Seorang siswa baiknya berpakaian seragam rapi, baju dimasukkan dan terlihat bersih dan terpelajar, yang terjadi jika tidak ada guru, baju dikeluarkan, ada yang memakai rok pendek, bak model, sengaja dipotong dll. Perilaku-perilaku yang jika dipandang secara nilai kesopanan, etika, nilai ketimuran tidak tepat.
Lalu apa hubungannya dengan televisi? Apakah yang salah hanya televisi ? memang tidak semua salah televisi, karena degradasi moral itu banyak sekali faktor yang mendasari. Misal Faktor keluarga yang tidak mendidik anak secara benar, faktor lingkungan yang tidak mendukung, sekolah yang tidak baik, penggunaan teknologi yang tepat dan yang terakhir televisi. Kenapa televisi ? mari kita bahas.

Teori Komunikasi Dampak Televisi  
TEORI KULTIVASI (GEORGE GERBNER) Teori Kultivasi merupakan bagian dari teori komunikasi yang membahas efek dari komunikasi massa, teori ini dikembangkan oleh George Gerbner. Teori Kultivasi ini muncul untuk meyakinkan orang bahwa efek media massa lebih bersifat kumulatif dan lebih berdampak pada tataran social budaya dari pada individual.  Teori Kultivasi ini juga memberikan gambaran bahwa efek media massa tidak secara langsung menerpa khalayak. definisi: Menurut teori kultivasi ini, televisi menjadi media atau alat utama dimana para penonton televisi belajar tentang masyarakat dan kultur dilingkungannya. Dengan kata lain, persepsi apa yang terbangun di benak pemirsa tentang masyarakat dan budaya sangat ditentukan oleh televisi. Ini artinya, melalui kontak pemirsa dengan televisi, mereka belajar tentang dunia, orang-orangnya, nilai (nilai sosial) serta adat dan tradisi nya. Menurut Miller (2005: 282), teori kultivasi tidak dikembangkan untuk mempelajari "efek yang ditargetkan dan spesifik (misalnya, bahwa menonton Superman akan mengarahkan anak-anak untuk mencoba terbang dengan melompat keluar jendela) melainkan dalam hal akumulasi dan dampak televisi secara menyeluruh, yaitu bagaimana masyarakat melihat dunia dimana mereka hidup ". Oleh karena itu disebut 'Analisis Budaya'. Gerbner, Gross, Morgan, & Signorielli (1986) berpendapat bahwa meskipun agama atau pendidikan sebelumnya telah berpengaruh besar pada tren sosial dan adat istiadat, namun sekarang ini, televisilah yang merupakan sumber gambaran yang paling luas dan paling berpengaruh dalam hidup. sehingga televisi merupakan gambaran dari lingkungan umum kehidupan masyarakat.  Teori Kultivasi dalam bentuk yang paling dasar menunjukkan paparan bahwa sesungguhnya televisi dari waktu ke waktu, secara halus "memupuk" persepsi pemirsa tentang kehidupan realitas. Teori ini dapat memiliki dampak pada pemirsa TV, dan dampak tersebut akan berdampak pula pada seluruh budaya kita. Gerbner dan Gross (1976) mengatakan "televisi adalah media sosialisasi kebanyakan orang menjadi peran standar dan perilaku. Fungsinya adalah satu, enkulturasi".  Televisi memang sudah sangat melekat dikehidupan kita sehari-hari. Dari televisilah kita belajar tentang kehidupan dan budaya. Tontonan seperti acara sinetron maupun reality show yang sering menunjukkan kekerasan, perselingkuhan, kriminal, dan lain sebagainya akan dianggap sebagai gambaran bahwa itulah yang sering terjadi di kehidupan realita. Padahal belum tentu semua yang terdapat pada tayangan itu adalah kejadian-kejadian yang sering terjadi dikehidupan kita. Karena jika ditelaah, semua yang terdapat pada reality show atau sinetron adalah hasil dari skenario belaka. Lebih jauh dalam Teori Kultivasi dijelaskan bahwa pada dasarnya ada 2 (dua) tipe penonton televisi yang mempunyai karakteristik saling bertentangan/bertolak belakang, yaitu (1) para pecandu/penonton fanatik (heavy viewers) adalah mereka yang menonton televisi lebih dari 4(empat) jam setiap harinya. Kelompok penonton ini sering juga disebut sebagai khalayak ‘the television type”, serta 2 (dua) adalah penonton biasa (light viewers), yaitu mereka yang menonton televisi 2 jam atau kurang dalam setiap harinya. Dan teori kultivasi ini berlaku terhadap para pecandu / penonton fanatik, karena mereka semua adalah orang-orang yang lebih cepat percaya dan menganggap bahwa apa yang terjadi di televisi itulah dunia senyatanya.
 Pada dasarnya, Teori Kultivasi pertama kali di kemukakan oleh George Gerbner bersama rekan-rekannya di Amenberg School of Communication di Pennsylvania pada tahun 1969, dalam sebuah artikel yang berjudul “the television of violence” yang berisikan bagaimana media massa khususnya televisi menampilkan adegan-adegan kekerasan di dalamnya. Teori kultivasi ini muncul dalam situasi pada saat terjadi perdebatan antara kelompok ilmuwan komunikasi yang meyakini bahwa efek sangat kuat dari media massa. Teori Kultivasi muncul untuk meyakinkan orang bahwa efek media massa lebih bersifat kumulatif dan lebih berdampak pada tataran social budaya ketimbang individual. 
Signorielli dan Morgan pada tahun 1990 mengemukakan bahwa analisis kultivasi merupakan tahapan lanjutan dari penelitian efek media yang sebelumnya dilakukan Gerbner yaitu “Cultural Indicator” yang menyelidiki Proses institusional dalam produksi isi media, image atau kesan isi media serta hubungan antara terpaan pesan televisi dengan keyakinan dan perilaku khalayak.  Dalam penelitian lanjutan yang dilakukan oleh Gerbner diketahui bahwa penonton Televisi dalam kategori berat mengembangkan keyakinan yang berlebihan mengenai dunia sebagai tempat yang berbahaya dan menakutkan. Sedangkan kekerasan yang mereka saksikan di Televisi menambah ketakutan sosial yang membangkitkan pandangan bahwa lingkungan mereka tidak aman dan tidak ada orang yang dapat dipercaya. KAJIAN TEORI KULTIVASI Teori Kultivasi menganalisis tayangan televisi telah menjadi teman keseharian oleh kebanyakan orang dalam keluarga di amerika serikat, karena Teori ini memprediksikan dan menjelaskan pembentukan persepsi, pemahaman, dan keyakinan jangka panjang tentang dunia ini sebagai hasil dari mengkonsumsi isi media. Gerbner (1999) mengemukakan bahwa “sebagian besar yang kita ketahui, atau yang kita pikir kita ketahui, adalah tidak pernah kita alami sendiri”. Banyak hal yang kita ketahui itu karena yang kita lihat dan kita dengar dari media. Teori Kultivasi terus mengalami evolisi bertahun-tahun lamanya, melalui serangkaian metode dan teori yang dilakukan ole h Gerbner dan rekan-rekannya.
 ASUMSI DASAR TEORI KULTIVASI Terdapat tiga asumsi dasar teori kultivasi yang dikemukakan oleh Gerbner yaitu : 1). Secara Esensial Dan Fundamental Televisi Berbeda Dengan Media Yang Lain. Asumsi ini menunjukkan bahwa spesifikasi keunikan dari Televisi yaitu kelebihan Televisi menjadikannya istimewa seperti televise tidak memerlukan sederetan huruf-huruf seperti halnya media cetak lainnya, televisi bersifat audio dan visual yang dapat dilihat gambar dan suaranya, Televisi tidak memerlukan Mobilitas atau memutar tayangan yang disenangi dan karena aksesibilitas dan avaibilitasnya untuk setiap orang membuat Televisi menjadi pusat kebudayaan masyarakat kita. 2). Televisi Membentuk Cara Kita Berfikir Dan Berhubungan. Asumsi ini masih berkaitan dengan pengaruh tayangan Televisi, pada dasarnya Televisi tidak membujuk kita untuk benar-benar meyakini apa yang kita lihat di Televisi, berdasarkan asumsi ini, Teori Kultivasi mensuplay alternative berfikir tentang tayangan kekerasan di Televisi. 3). Televisi Hanya Memberi Sedikit Dampak. Asumsi yang terakhir ini mungkin agak berbeda dengan asumsi dasar Teori Kultivasi, namun Gerbner memberiikan analogi ice age untuk memberi jarak antara teori kultivasi dan asumsi bahwa Televisi hanya memberikan sedikit efek atau dampak. Dalam analogi ice age menganggap bahwa Televisi tidak harus mempunyai dampak tunggal saja akan tetapi mempengaruhi penontonnya melalui dampak kecil yang tetap konstan. 

Anak-anak
"Kalau saja lihat anak-anak sekarang itu seharian bisa duduk di (depan) televisi, mau acara apapun itu mereka lihat. Kalau saja acaranya mendidik, itu tidak apa-apa. Namun faktanya 60 persen acara tidak mendidik. Mau jadi apa generasi bangsa ini. Dan fakta ini hampir merata dari kota sampai ke kampung,” kata mantan ASOPS TNI ini.
Selama ini dia mengakui bahwa aduan dari masyarakat terus membanjiri KPI terhadap konten-konten yang dianggap tidak pantas.
Televisi sebagai kebutuhan primer.
Tidak dapat dipungkiri, kemajuan jaman yang terjadi sekarang ini memberikan kemudahan serta mampu mendekatkan yang jauh. Di era informasi sekarang, televisi sepertinya telah menjadi kebutuhan hidup. Hampir disetiap rumah memiliki telivisi sebagai akses terhadap informasi utama mereka. Tidak hanya itu saja, televisi juga dijadikan sarana hiburan murah meriah bagi keluarga. Beragam program dan acara disuguhkan untuk memberikan informasi terbaru ataupun sekedar memberikan hiburan di waktu senggang. Walau kini telah ada internet, namun dominasi televisi sebagai sumber informasi dan hiburan yang murah meriah belum dapat tergantikan. Rasa-rasanya, masyarakat tidak mampu untuk hidup sehari saja tanpa televisi.
Komersialisasi yang tidak dibarengi dengan tanggung jawab moral.
Pada awal kemunculan televisi, masyarakat harus membayar untuk dapat menikmati siaran berita atau acara kesenian yang disiarkan oleh TVRI sebagai satu-satunya stasiun televisi kala itu. Pada masa itu, acara televisi pun dapat dihitung dengan jari. Namun walaupun sedikit, acara-acara yang disajikan berisikan nilai moral, sejarah maupun perjuangan yang positif. Saat ini, tidak kurang 15 stasiun televisi lokal dan nasional dapat kita nikmati. Tak kurang ratusan acara televisi dapat kita tonton nonstop 24 jam dan perlu lagi harus membayar iuran apapun. Kita hanya harus merelakan waktu menonton kita disela oleh iklan sebagai gantinya. Tak dapat dipungkiri, televisi kini telah menjadi lahan bisnis yang menguntungkan bagi mereka yang mempunyai modal besar.
Komersialisasi televisi saat ini sesungguhnya memberikan keuntungan yang besar bagi kita selaku penonton. Setiap stasiun televisi berlomba-lomba menyugukan tayangan terbaik mereka mulai dari berita, film hingga acara-acara hiburan. Tayangan-tayangan tersebut sejatinya sangat bagus bila dikemas secara bertanggung jawab dan mendidik. Namun sayangnya, persaingan bisnis yang makin ketat membuat para stasiun televisi berlomba-lomba mengejar target iklan serta mengesampingkan tanggung jawab moral. Banyak sekali tayangan dan tontonan yang kurang mendidik, mempertontonkan akhlak yang buruk serta hanya menampilkan gaya hidup hedonis yang siap meracuni para penontonnya terutama remaja dan pemuda.
Rendahnya standard pengawasan membuat beberapa tayangan televisi berkualitas sangat rendah.
Sebenarnya untuk membendung komersialisasi tayangan yang hanya menguntungkan pengusaha (pemilik stasiun televisi), di Indonesia telah ada lembaga khusus yang bertugas mengawasi tayangan maupun siaran televisi. Setidaknya ada 2 lembaga yang bertanggung jawab akan kualitas tayangan yang kita tonton yaitu Lembaga Sensor Indonesia (LSI) dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Namun sampai saat ini, peran kedua lembaga tersebut kurang maksimal. Masih banyak tayangan-tayangan yang tak layak dan tidak mencerminkan budaya Indonesia sebagai negeri timur yang santun.
Belum adanya regulasi dan standard yang pasti akan mutu tayangan menjadi sebab banyaknya tayangan yang tidak layak justru malah tayang dan bahkan digemari oleh masyarakat. Sebagai contoh dalam hal berpakaian, seorang pelajar yang baik akan memasukkan bajunya kedalam celana atau rok serta bagi siswi mengenakan rok dibawah lutut. Namun kenyataannya, dalam berbagai tayangan dan hampir 100 persen -baik film maupun sinetron- nilai-nilai tersebut seperti diabaikan. Yang ada justru para siswa memakai pakaian tidak rapi, sementara siswinya berpakaian bak model yang mengenangkan rok mini dan pakaian ketat yang sangat tidak mencerminkan nilai-nilai seorang pelajar. Tayangan-tayangan yang tidak bermutu inilah yang secara sadar atau tidak dicontoh dan ditiru generasi muda -terutama pelajar- kita.
Memang tidak dapat dipungkiri, peran KPI dan LSI dalam membendung tayangan yang negatif sangat besar. Telah banyak tayangan yang diberikan teguran bahkan sampai dihentikan penayangannya oleh KPI. Namun yang sangat disayangkan, penghentian penayangan sering kali bukan karena inisiatif dari KPI sendiri namun karena banyaknya komplain dari masyarakat.
 
Peran Televisi dalam degradasi moral Penerus Bangsa.
Kebutuhan masyarakat akan televisi sebagai media hiburan yang murah, tidak didukung oleh regulasi yang jelas untuk menjaga kualitas tayangan televisi tersebut. Akibatnya, sebagian besar acara televisi pada jam utama (prime time) berisikan tanyakan yang tidak mendidik. Disadari atau tidak, tayangan ini telah merasuk dan membekas dalam ingatan para remaja. Dan tidak bisa dipungkiri, degradasi moral remaja yang terjadi saat ini tidak bisa dilepaskan dari peran televisi. Tidak hanya itu, cara berpakaian, tingkah laku dan gaya hidup remaja saat ini telah berkiblat ke televisi sampai mereka tidak lagi memiliki jati diri.
Ketika para remaja mengalami krisis jati diri dan kepribadian, maka sangatlah mudah bagi mereka terombang-ambing mengikuti apapun yang mereka lihat dan denger tanpa adanya filter yang membendungnya. Mudah bagi mereka meniru cara berpakaian, gerakan, tutur kata bahkan tingkah laku idolanya di televisi. Tidak kah kita sedih melihat generasi penerus bangsa ini tidak memiliki kebanggaan sama sekali terhadap diri dan jati diri bangsanya?
Pemerintah dan Keluarga bertanggung jawab dalam memfilter tayangan di televisi.
Sudah saatnya kita semua sadar dan bertanggung jawab terdahap apa yang mereka dengar dan lihat. Pemerintah harus membuat peraturan yang tegas tentang tontonan di televisi. Tidak hanya itu saja, peran serta keluarga sangatlah penting. Jangan biarkan anak-anak kita menonton televisi sendirian tanpa ditemani oleh orang dewasa yang bertanggung jawab. Kesadaran akan pentingnya memfilter tayangan anak harus ditumbuhkan dalam keluarga agar tercipta iklim yang sehat bagi tumbuh kembang anak.
Mereka adalah cerminan masa depan bangsa. Mereka adalah cerminan masa depan bangsa Menjamin kualitas tontonan mereka adalah bukti tanggung jawab kita akan keberlangsungan bangsa ini. Keceriaan mereka adalah cerahnya masa depan, jangan biarkan keceriaan mereka direnggut oleh tontonan yang tidak bermutu dan mendidik. Mereka adalah cerminan masa depan bangsa.

Belajar
Media massa tidak hanya menyuguhkan informasi mengenai peritiwa, tetapi juga pengetahuan. Contoh kita belajar memasak lewat acara memasak, atau belajar bertani lewat acara pertanian. Kita mendapatkan ilmu pengetahuan dari televisi, tetapi anehnya kadang lewat televisi kita belajar sesuatu yang sebenarnya kita tidak berniat untuk belajar.
Bandingkan jumlah pasangan yang bercerai lebih banyak mana, sebelum dan sesudah menjamurnya berita perceraian artis yang di tayangkan pada acara intertaiment.
Bandingkan jumlah kekerasan seks pada anak dan kasus mutilasi, sebelum dan sesudah banyak nya berita mengenai hal tersebut.
Ketika kita mendengar, melihat, membaca  media massa, kita tanpa sadar belajar sesuatu yang bahkan tidak ingin kita pelajari. Siapa yang ingin belajar mengenai kekerasan seks pada anak atau siapa orang yang hendak memutilasi orang beserta cara untuk membuang jasad korbannya agar tidak ketahuan.
Ketika kita melihat acara atau berita negatif di televisi, tanpa sadar kita juga merekam informasi tersebut. Lambat laun informasi tersebut kita terima dan kita belajar dari sana. Perilaku yang di gambarkan dalam setiap adegan yang di suguhkan itu, lambat laun pun kita akan mempercayai bahwa itu sesuatu yang benar, walupun kita tahu adegan yang ada di sana ada lah suatu skenario atau sesuatu yang tidak baik kita tiru. 

Menonton televisi lebih dari 4 jam sehari dan menonton tayangan yang negatif (kekerasan, berita kriminal, pornografi, dll) tanpa sadari berdampak terhadap cara pandang kita terhadap dunia. Kita akan mempercai apa yang ada dalam tayangan tersebut dan kita mempraktekkan hal negatif yang ada di sana. Tanpa sadar sikap dan perilaku yang digambarkan dalam televisi akan kita tiru dan kita anggap sebagai realita. Moral pecandu televisi yang berat, moralnya seperti moral yang dia tonton.

Masih berfikir menonton tayangan negatif  televisi tidak  berbahaya ?

Bahaya Media Massa

BAHAYA MEDIA
Bahaya media massa dan Internet, pada saat saya kuliah dulu mungkin belum banyak kajian mengenai bahaya internet, karena memang waktu itu dunia internet belum berkembang seperti yang saat ini.
Saya tidak tahu apakah teori kultivasi media yang saya pelajari dulu dapat pula digunakan sebagai dasar untuk menelititi dampak internet. Teori kultivasi sesungguhnya adalah teori komunikasi yang digunakan untuk meneliti dampak bagi masnyatakat yang menggunakan media televisi. Teori ini pertama kali di gagas oleh George Gerbner. Beliau bependapat bahwa televisi merupakan agen utama dalam perubahan budaya di masyarakat.
Televisi dianggap sebagai media yang sanggup untuk mempengaruhi pengetahuan, sikap dan perilaku orang sehingga dalam sekala yang besar dapat merubah budaya. Mungkin tampak konyol, dan tidak masuk akal, tetapi itu lah yang terjadi, coba kita perhatikan, cara berkomunikasi, baju yang kita kenakan, apa yang kita pikirkan saat ini sedikit atu banyak adalah dipengaruhi oleh tayangan televisi yang kita lihat.
Bahkan cara kita melihat dunia saat ini, diperngaruhi oleh televisi. Kita mempercayai nya sebagai kenyataan. Kita tahu ada ISIS di timur tengah, ada perang di Israel, kelaparan di Asmat papua dari televisi. Sebenarnya secara tidak langsung cara kita melihat dunia adalah dengan televisi yang kita tonton.
Mungkin ya ah saya tidak menontob TV tetapi mendapatkan informasi lewat HP di chanel youtube, atau berita online di media online. Ehm mungkin kita perlu mengingat ingat lagi masalah konglomerasi media. Ingat bahwa media massa, koran, majalah, televisi, media online di Indonesia sedang sakit oleh konglomerasi media, ternyata kalo kita mau check ternyata berita yang ada di televisi, radio dan media online di konglomerasi media, isinya itu itu saja.
Dan kalo kita ingah bahwa media tidak sepenuhnya netral, tetapi punya agenda masing-masing. Pemilik media punya visi dan menanmkan ide dan pemikirian kepada khalayaknya,
Akhir ini
Akhir-akhir ini kita disuguhkan banyak media yang memberitakan mengenai hal-hal yang membuat kita ngeri, seakan negeri kita tercinta ini benar-benar bobrok, pembunuhan di mana-mana, karakter anak dan pemuda yang bobrok.
Jika Anda saat ini menjadi sangat takut untuk keluar ruamah pada malam hari, takut di begal jika sendirian dia jalan raya, takut anak anda akan di pukuli, berarti media telah sukses untuk mengubah arah berfikir anda.
Bejalar
Media massa tidak hanya menyuguhkan informasi mengenai peritiwa, tetapi juga pengetahuan. Contoh kita belajar memasak lewat acara memasak, atau belajar bertani lewat acara pertanian. Kita mendapatkan ilmu pengetahuan dari televisi, tetapi anehnya kadang lewat televisi kita belajar sesuatu yang sebenarnya kita tidak berniat untuk belajar.
Bandingkan jumlah pasangan yang bercerai lebih banyak mana, sebelum dan sesudah menjamurnya berita perceraian artis yang di tayangkan pada acara intertaiment.
Bandingkan jumlah kekerasan seks pada anak dan kasus mutilasi, sebelum dan sesudah banyak nya berita mengenai hal tersebut.
Ketika kita mendengar, melihat, membaca  media massa, kita tanpa sadar belajar sesuatu yang bahkan tidak ingin kita pelajari. Siapa yang ingin belajar mengenai kekerasan seks pada anak atau siapa orang yang hendak memutilasi orang beserta cara untuk membuang jasad korbannya agar tidak ketahuan.
Percaya tidak percaya
Setiap orang mempunyai idealis, sebuah prinsip atau kepercayaan yang dipegang teguh. Nilai-nilai kepercayaan tersebut mungkin sangat kuat sehinga tidak mudah goyah. Tetapi perhatikan, nilai nilai yang terjadi pada bangsa ini, lambat laun mulai tergerus oleh derasnya era globallisasi, Dunia ini luas, sangat luas tetapi bagi media dunia ini seperti kampung yang kecil.
Pembatas seperti Kota,Provinsi, Negara saat ini bagi media sepertinya sudah tidak ada. Media telah menggerus batas itu. Idelis kita jika kita tidak pertahankan pun akan tergerus dengan idealis media. Ingat media seiap saat senantiasa terus menerus menggerus idealis kita.