Politik Televisi Pilpres 2019
Konglomerat Media Di Indonesia |
Kekhawatiran
banyak kalangan terkait potensi tidak proporsionalnya berita politik dalam
media penyiaran, tampaknya benar-benar terjadi. Hari ini secara kuantitas,
potensi dukungan media televisi kepada capres Jokowi-Ma’ruf lebih besar
dibandingkan dengan capres Prabowo-Uno. TV ONE,
dan ANTV, dekat ke Prabowo-Uno, sementara MNC TV, Global TV, RCTI, Metro TV ke Jokowi-Ma’ruf. Yang
menarik, ruang-ruang diskursif politik tidak sebatas bermodal dana kampanye
yang menggunung, tetapi sekaligus oleh modal stabilitas media dalam menopang
citra personal calon. Arus deras dukungan media televisi, menjadi satu magnet
tersendiri, sebab siapa yang menguasai media, maka ia berpotensi menguasi
suara. Politik media adalah gerakan strategis untuk mendapatkan kemenangan yang
telah digaris.
Keberpihakan
media dalam skala politik tentu bukan sesuatu yang instan dan tanpa sebab. Para
pemangku kebijakan dalam industri media--dalam hal ini pemilik media--telah
sejak awal menisbatkan kiprahnya dalam pusaran politik praktis. Sehingga,
keberpihakan media terhadap salah satu calon, tidak ditentukan oleh nalar dan
kadar profesionalitas jurnalisme, tetapi oleh kepentingan partikular pemilik
media. Di sini, media televisi terancam menjadi mobilitas politik yang
mengabaikan netralitas media sebagai penghubung kepentingan publik.
Kita analisa
secara sederhana:
- Kedekatan Chaerul Tanjung dengan megawati mengindikasikan gerbong yang dibekangnya Trans7, Trans TV dan detik.com berada pada payung bisnis yang sama yakni Trans Corp Mendukung PDIP artinya Jokowi, tetapi walau masih abu-abu
- Pernyataan Hary Tanoesoedibyo yang dukung Jokowi, memastikan Global TV, RCTI, TPI bergabung dalam Group MNC, Sindo TV, MNC TV, Koran Sindo, Trust, MNC Radio pasti dukung Perindo, perindo Pro Jokowi
- Abu Rizal bakrie juga dukung prabowo, TV One dan ANTV bernaung di bawah bendera Bakrie Group pasti dukung Golongan Karya, tetapi menurut Tirto.id masih setia mendukung Prabowo
- SCTV dan Indosiar yang sebahagian besar sahamnya dimiliki oleh Eddy Sariatmadja ini dukung siapa ya ? abu-abu
- Metro TV dan media Indonesia dengan bergabungnya Surya Paloh (nasdem ke PDIP) Jelas akan dukung jelas NAsdem dan PDIP, dipastikan mendukung Jokowi
Memang,
secara formalitas tidak ada satu pun televisi yang secara struktur
mendeklarasikan dukungan kepada pihak manapun. Tetapi, porsi pemberitaan yang
berlebihan adalah kunci untuk melihat bagaimana sesungguhnya dinamika televisi
hari ini. Agensi (pelaku dalam industri) akan me-realy berita-berita yang
sesuai dengan pilihan politik para pemilik media. Potret semacam ini tidak saja
bermasalah karena terkait netralitas, tetapi oleh pemfungsian pada 'jalan lain'
frekuensi publik yang menjadi hak publik. Berupa berita perporsional sebagai
mandat konstitusional.
Realitas
semacam ini telah menimbulkan kontradiksi, pertama, kontradiksi yang bersumber
dari media sebagai instrumen hegemoni isu dan semangat netralitas. Kedua,
benturan kontradiksi berkaitan dengan aturan kepentingan publik dengan napas
media yang menjadi perpanjangan tangan dari kepentingan pemilik. Kedua benturan
tersebut sesungguhnya merupakan problem pelik demokratisasi media. Ketika
demokrasi diberikan seluas-luasnya, justru potensi keberpihakan pada politik
menjadi sangat sulit ditepis. Isu-isu politik akan digiring pada kamuflase
tentang sepak terjang calon tertentu secara terus-menerus dan pada saat yang bersamaan sangat minimalis
pada kandidat yang lain.
Konglomerasi Media
Konglomerasi
Media adalah penggabungan perusahaan media menjadi perusahaan yang lebih besar
yang membawahi banyak media. Konglomerasi ini dilakukan dengan melakukan
korporasi dengan perusahaan media lain yang dianggap mempunyai visi yang sama. Pembentukan konglomerasi ini dengan
cara kepemilikan saham, joint venture / merger, atau pendirian kartel
komunikasi dalam skala besar baik intergrasi vertikal, intergasi horisontal
maupun kepemilikan silang.
Intinya
adalah kepemilikan media pada hanya segelintir orang saja, membentuk sebuah
gurita media karena satu orang menguasai berbagai media. Mungkin bagi
kebanyakan orang nampaknya hal ini
sah-sah saja, karena setiap orang pasti akan selalu berusaha untuk
mengembangkan usahanya. Tetapi ternyata konglomerasi mempunyai dampak yang luar
biasa berbahaya bagi masyarakat, karena dapat membentuk opini tertentu yang
tidak sehat, sterotipe pada suatu hal tertentu dan lain-lain.
Konglomerasi
Media di Indonesia menyebabkan satu orang dapat menguasai banyak media,
sehingga orang tersebut dapat mengendalikan berbagai media dalam satu waktu,
dari kebijakan yang harus dianut, berita mana yang layak di publikasikan,
nilai-nilai yang dianut dan sebagainya. Akibatnya jika media yang tergabung
dalam satu group tertentu maka berita dan informasi yang disampaikan akan homogen.
Selain itu berita yang disampaikan hanya berita yang dianggap menguntungan
secara ekonomi bagi media atau pemilik media tersebut. Akhirnya berita tidak
lagi dinilai dari seberapa besar nilai beritanya, tetapi berapa banyak
keuntungan yang akan didapatkan dari pemuatan berita tersebut. Sebetulnya ini
merupakan tanda-tanda bahwa regulasi
atau peraturan yang mengatur tentang kepemilikan media tidak berjalan dengan
baik. Padahal konglomerasi media berbahaya dan mengancam kebebasan pers.
Dalam
tulisannya, Waren Breed (1955) Social control in The Newsroom , menegaskan
bahwa gelombang media penyiaran pada akhirnya akan surut ketika politik telah
masuk menjadi kanker kehidupan media massa, terutama televisi. Televisi menjadi
sebuah black box karena sarat kepentingan politik yang turut menentukan
arah pemberitaan. Kerja televisi tidak
sebatas berkutat pada proses linear, sekadar langkah-langkah kegiatan
memproduksi berita. Tetapi, oleh ambisi politik salah satu kandidat yang
dipaksakan.
Televisi
telah menjelma menjadi dua arus besar. Pertama, televisi memainkan peran
sebagai alat politik (political tool) terhadap kandidat, kemudian pada saat
yang sama pendukung kritis (critical supporter) bahkan pembengkang
(spoiler)terhadap kandidat lain yang
dianggap sebagai lawan. Ekspektasi ini akan mencederai gugus politik yang
berkembang. Setidaknya bagi mereka yang tidak memiliki banyak dukungan dari
media televisi akan berpotensi menjadi sasaran empuk instabilitas sebuah citra.
Jika pada rezim Orde Baru televisi seperti RCTI, SCTV, dan Indosiar, harus
mendukung penuh program pemerintah dan partai politik tertentu karena terancam
oleh gerakan Represif State Aparatus, tetapi justru kini setelah semuanya bebas
dan aman media menjelma menjadi penopang strategis gerakan politik.
Elihu Katz
(1991) dalam penelitiannya mengenai sistem televisi di 120 negara berkembang
menemukan bahwa 95 kepemilikan stasiun televisi di negara berkembang selalu
memiliki afiliasi dengan politik tertentu. Ini terjadi karena beberapa hal.
Pertama, berpotensi menjadi suplai tambah dalam menopang pembangunan
infrastruktur media. Kedua, televisi berpengaruh dalam membangun citra positif,
khususnya citra kelompok dan figur yang didukung. Ketiga, jaringan televisi
sangat cepat dan efektif bagi penyabaran informasi dan inovasi pemerintah untuk
program pembangunan para kandidat. Untuk kategori yang kedua dan terakhir,
sangat relevan untuk menujukkan proses politik yang terjadi hari ini.
Keterlibatan para pemilik media dalam pusaran politik telah menciptakan irasionalitas
substantif yang dapat memengaruhi diaspora berita televisi.
Pertarungan
capres pada titik klimaksnya melahirkan pertarungan citra melalui televisi yang
sangat ketat. Sehingga, format berita yang ditampilkan menjadi kabur. Sukar
untuk membedakan di mana berita yang benar-benar mencerminkan realitas yang
netral dan realitas yang penuh keberpihakan. Televisi di satu sisi menjadi
instrumen demokrasi, pada sisi yang lain ia menjadi instrumen politik
pragmatis. Tidak lagi berpihak pada masyarakat sebagai mandat, tetapi berpihak
pada salah satu kandidat. Demokrasi politik pada akhirnya riuh oleh sentimen
politik dan kebencian yang dilahirkan oleh media penyiaran.
Hal ini
sekaligus menunjukkan televisi yang memiliki keberpihakan pada proses politik
kandidat capres telah menjelma menjadi ruang yang berpotensi melahirkan
propaganda bukan informasi yang mencerahkan. Semangat untuk menayangkan berita
yang penuh dengan nilai-nilai pendidikan dan high culture berorientasi pada kepentingan, manfaat, idealisme berwawasan publik, pada akhirnya
jauh panggang dari api. Dinamika televisi yang berada di bawah bayang-bayang
kepentingan politik telah melahirkan
berbagai kontradiksi yang membentur struktur dan idealisme televisi itu sendiri
sebagai instrumen demokrasi yang paling
populis.
Referensi
Rohim, Syaiful. 2009. Teori Komunikasi. Rineka Cipta,
Jakarta
Littlejhon, Stepen W, Foss, Karen A. 2009. Teori Komunikasi,
Salemba Humanika, Jakarta
Yasir. 2009. Pengantar Ilmu Komunikasi, Wita Irzani,
Pekanbaru
Baca Juga Link Terkait Konglomerasi Di Bawah Ini :
Aturan Konglomerasi Media Di Indonesia
Intervensi Pemilik Media "Konglomerasi Media"
Bahaya Konglomerasi Media
Dampak Konglomerasi Media
Regulasi atau Aturan Konglomerasi Media Di Indonesia
Degradasi Moral dan Televisi
Bahaya Televisi
Pengusaha yang mempunyai banyak media
Aturan Konglomerasi Media Di Indonesia
Intervensi Pemilik Media "Konglomerasi Media"
Bahaya Konglomerasi Media
Dampak Konglomerasi Media
Regulasi atau Aturan Konglomerasi Media Di Indonesia
Degradasi Moral dan Televisi
Bahaya Televisi
Pengusaha yang mempunyai banyak media
0 comments:
Post a Comment