Search This Blog

Monday, March 18, 2019

Politik Televisi Pilpres 2019


Politik Televisi Pilpres 2019 

Konglomerat Media Di Indonesia

Kekhawatiran banyak kalangan terkait potensi tidak proporsionalnya berita politik dalam media penyiaran, tampaknya benar-benar terjadi. Hari ini secara kuantitas, potensi dukungan media televisi kepada capres Jokowi-Ma’ruf lebih besar dibandingkan dengan capres Prabowo-Uno. TV ONE,  dan ANTV, dekat ke Prabowo-Uno, sementara MNC TV, Global TV,  RCTI, Metro TV ke Jokowi-Ma’ruf. Yang menarik, ruang-ruang diskursif politik tidak sebatas bermodal dana kampanye yang menggunung, tetapi sekaligus oleh modal stabilitas media dalam menopang citra personal calon. Arus deras dukungan media televisi, menjadi satu magnet tersendiri, sebab siapa yang menguasai media, maka ia berpotensi menguasi suara. Politik media adalah gerakan strategis untuk mendapatkan kemenangan yang telah digaris.
Keberpihakan media dalam skala politik tentu bukan sesuatu yang instan dan tanpa sebab. Para pemangku kebijakan dalam industri media--dalam hal ini pemilik media--telah sejak awal menisbatkan kiprahnya dalam pusaran politik praktis. Sehingga, keberpihakan media terhadap salah satu calon, tidak ditentukan oleh nalar dan kadar profesionalitas jurnalisme, tetapi oleh kepentingan partikular pemilik media. Di sini, media televisi terancam menjadi mobilitas politik yang mengabaikan netralitas media sebagai penghubung kepentingan publik.

Kita analisa secara sederhana:

  • Kedekatan Chaerul Tanjung dengan megawati mengindikasikan gerbong yang dibekangnya  Trans7, Trans TV dan detik.com berada pada payung bisnis yang sama yakni Trans Corp Mendukung PDIP artinya Jokowi, tetapi walau masih abu-abu
  • Pernyataan Hary Tanoesoedibyo yang dukung Jokowi, memastikan Global TV, RCTI, TPI bergabung dalam Group MNC, Sindo TV, MNC TV, Koran Sindo, Trust, MNC Radio pasti dukung Perindo, perindo Pro Jokowi
  • Abu Rizal bakrie juga dukung prabowo, TV One dan ANTV bernaung di bawah bendera Bakrie Group pasti dukung Golongan Karya, tetapi menurut Tirto.id masih setia mendukung Prabowo
  • SCTV dan Indosiar  yang sebahagian besar sahamnya dimiliki oleh Eddy Sariatmadja ini dukung siapa ya ? abu-abu
  • Metro TV dan media Indonesia dengan bergabungnya  Surya Paloh (nasdem ke PDIP) Jelas akan dukung jelas NAsdem dan PDIP, dipastikan mendukung Jokowi

Memang, secara formalitas tidak ada satu pun televisi yang secara struktur mendeklarasikan dukungan kepada pihak manapun. Tetapi, porsi pemberitaan yang berlebihan adalah kunci untuk melihat bagaimana sesungguhnya dinamika televisi hari ini. Agensi (pelaku dalam industri) akan me-realy berita-berita yang sesuai dengan pilihan politik para pemilik media. Potret semacam ini tidak saja bermasalah karena terkait netralitas, tetapi oleh pemfungsian pada 'jalan lain' frekuensi publik yang menjadi hak publik. Berupa berita perporsional sebagai mandat konstitusional.
Realitas semacam ini telah menimbulkan kontradiksi, pertama, kontradiksi yang bersumber dari media sebagai instrumen hegemoni isu dan semangat netralitas. Kedua, benturan kontradiksi berkaitan dengan aturan kepentingan publik dengan napas media yang menjadi perpanjangan tangan dari kepentingan pemilik. Kedua benturan tersebut sesungguhnya merupakan problem pelik demokratisasi media. Ketika demokrasi diberikan seluas-luasnya, justru potensi keberpihakan pada politik menjadi sangat sulit ditepis. Isu-isu politik akan digiring pada kamuflase tentang sepak terjang calon tertentu secara terus-menerus  dan pada saat yang bersamaan sangat minimalis pada kandidat yang lain.

 Konglomerasi Media 
Konglomerasi Media adalah penggabungan perusahaan media menjadi perusahaan yang lebih besar yang membawahi banyak media. Konglomerasi ini dilakukan dengan melakukan korporasi dengan perusahaan media lain yang dianggap mempunyai visi yang  sama. Pembentukan konglomerasi ini dengan cara kepemilikan saham, joint venture / merger, atau pendirian kartel komunikasi dalam skala besar baik intergrasi vertikal, intergasi horisontal maupun kepemilikan silang.
Intinya adalah kepemilikan media pada hanya segelintir orang saja, membentuk sebuah gurita media karena satu orang menguasai berbagai media. Mungkin bagi kebanyakan  orang nampaknya hal ini sah-sah saja, karena setiap orang pasti akan selalu berusaha untuk mengembangkan usahanya. Tetapi ternyata konglomerasi mempunyai dampak yang luar biasa berbahaya bagi masyarakat, karena dapat membentuk opini tertentu yang tidak sehat, sterotipe pada suatu hal tertentu dan lain-lain.
Konglomerasi Media di Indonesia menyebabkan satu orang dapat menguasai banyak media, sehingga orang tersebut dapat mengendalikan berbagai media dalam satu waktu, dari kebijakan yang harus dianut, berita mana yang layak di publikasikan, nilai-nilai yang dianut dan sebagainya. Akibatnya jika media yang tergabung dalam satu group tertentu maka berita dan informasi yang disampaikan akan homogen. Selain itu berita yang disampaikan hanya berita yang dianggap menguntungan secara ekonomi bagi media atau pemilik media tersebut. Akhirnya berita tidak lagi dinilai dari seberapa besar nilai beritanya, tetapi berapa banyak keuntungan yang akan didapatkan dari pemuatan berita tersebut. Sebetulnya ini merupakan tanda-tanda bahwa  regulasi atau peraturan yang mengatur tentang kepemilikan media tidak berjalan dengan baik. Padahal konglomerasi media berbahaya dan mengancam kebebasan pers.
Dalam tulisannya, Waren Breed (1955) Social control in The Newsroom , menegaskan bahwa gelombang media penyiaran pada akhirnya akan surut ketika politik telah masuk menjadi kanker kehidupan media massa, terutama televisi. Televisi menjadi sebuah black box karena sarat kepentingan politik yang turut menentukan arah  pemberitaan. Kerja televisi tidak sebatas berkutat pada proses linear, sekadar langkah-langkah kegiatan memproduksi berita. Tetapi, oleh ambisi politik salah satu kandidat yang dipaksakan.
Televisi telah menjelma menjadi dua arus besar. Pertama, televisi memainkan peran sebagai alat politik (political tool) terhadap kandidat, kemudian pada saat yang sama pendukung kritis (critical supporter) bahkan pembengkang (spoiler)terhadap  kandidat lain yang dianggap sebagai lawan. Ekspektasi ini akan mencederai gugus politik yang berkembang. Setidaknya bagi mereka yang tidak memiliki banyak dukungan dari media televisi akan berpotensi menjadi sasaran empuk instabilitas sebuah citra. Jika pada rezim Orde Baru televisi seperti RCTI, SCTV, dan Indosiar, harus mendukung penuh program pemerintah dan partai politik tertentu karena terancam oleh gerakan Represif State Aparatus, tetapi justru kini setelah semuanya bebas dan aman media menjelma menjadi penopang strategis gerakan politik.
Elihu Katz (1991) dalam penelitiannya mengenai sistem televisi di 120 negara berkembang menemukan bahwa 95 kepemilikan stasiun televisi di negara berkembang selalu memiliki afiliasi dengan politik tertentu. Ini terjadi karena beberapa hal. Pertama, berpotensi menjadi suplai tambah dalam menopang pembangunan infrastruktur media. Kedua, televisi berpengaruh dalam membangun citra positif, khususnya citra kelompok dan figur yang didukung. Ketiga, jaringan televisi sangat cepat dan efektif bagi penyabaran informasi dan inovasi pemerintah untuk program pembangunan para kandidat. Untuk kategori yang kedua dan terakhir, sangat relevan untuk menujukkan proses politik yang terjadi hari ini. Keterlibatan para pemilik media dalam pusaran politik telah menciptakan irasionalitas substantif yang dapat memengaruhi diaspora berita televisi.
Pertarungan capres pada titik klimaksnya melahirkan pertarungan citra melalui televisi yang sangat ketat. Sehingga, format berita yang ditampilkan menjadi kabur. Sukar untuk membedakan di mana berita yang benar-benar mencerminkan realitas yang netral dan realitas yang penuh keberpihakan. Televisi di satu sisi menjadi instrumen demokrasi, pada sisi yang lain ia menjadi instrumen politik pragmatis. Tidak lagi berpihak pada masyarakat sebagai mandat, tetapi berpihak pada salah satu kandidat. Demokrasi politik pada akhirnya riuh oleh sentimen politik dan kebencian yang dilahirkan oleh media penyiaran.
Hal ini sekaligus menunjukkan televisi yang memiliki keberpihakan pada proses politik kandidat capres telah menjelma menjadi ruang yang berpotensi melahirkan propaganda bukan informasi yang mencerahkan. Semangat untuk menayangkan berita yang penuh dengan nilai-nilai pendidikan dan high culture berorientasi  pada kepentingan, manfaat,  idealisme berwawasan publik, pada akhirnya jauh panggang dari api. Dinamika televisi yang berada di bawah bayang-bayang kepentingan politik  telah melahirkan berbagai kontradiksi yang membentur struktur dan idealisme televisi itu sendiri sebagai  instrumen demokrasi yang paling populis.   




Referensi
Rohim, Syaiful. 2009. Teori Komunikasi. Rineka Cipta, Jakarta
Littlejhon, Stepen W, Foss, Karen A. 2009. Teori Komunikasi, Salemba Humanika, Jakarta
Yasir. 2009. Pengantar Ilmu Komunikasi, Wita Irzani, Pekanbaru




0 comments:

Post a Comment