Konglomerasi Media
Jurnalisme adalah Taruhannya
Rencana bisnis masing-masing perusahaan media di Indonesia,
menurut Tapsell, adalah sebangun: merebut audiens Indonesia lewat sebanyak
mungkin platform. Mereka juga membangun “ekosistem” media, dari konten hingga
infrastruktur komunikasi.
Dengan demikian, menurut Tapsell, akan sulit bagi media
baru—terutama yang berbasis online—untuk bertahan dan punya bisnis yang
berkelanjutan, jika tidak bergabung dengan konglomerasi tersebut.
Penelitian Merlyna Lim dan Ignatius Haryanto menunjukkan
betapa para pemimpin perusahaan ini bukan cuma punya pengaruh pada lanskap
media, tapi juga keterlibatannya pada panggung politik dan ekonomi Indonesia.
Membuat kualitas jurnalisme memang jadi taruhannya.
Tempo—majalah mingguan milik PT Tempo Inti Media Tbk— yang
tadinya diletakkan Tapsell di luar garis konglomerat media ini, sahamnya sudah
diserap konglomerat Edwin Soeryadjaya dan grup SCTV—yang terafiliasi dengan
EMTEK—lewat right issue.
Menurut Y. Tomi Aryanto, wakil direktur bisnis digital Tempo
Group, jumlah itu tak lebih dari 1 persen dan tak berpengaruh pada kualitas
jurnalisme Tempo.
“Kami tidak akan mudah menerima hal-hal yang tidak bisa kami
kompromikan,” kata Tomi kepada saya. Menurutnya, Tempo punya basis jurnalisme
yang kuat, karena bahkan orang-orang manajemennya adalah bekas wartawan yang
paham batas api antara produk jurnalistik dan iklan.
“Apakah dengan right issue segitu bisa memengaruhi (dapur
redaksi)? Kecil sekali, kok. Apa yang bisa kamu lakukan dengan satu persen?”
ujar Tomi.
“Investor itu kalau mau intervensi, kan, mesti hitung berapa
punya shares. Kalau cuma kecil, kami cuekin aja, dia enggak bisa apa-apa,
istilahnya gitu. Tentu hari-harinya tidak begitu. Mereka juga tahu, mereka
bukan orang bodoh, yang hanya punya 2-3 persen terus mau intervensi. Ya
enggaklah, kami yakin mereka tidak seperti itu. Maka, kami juga mau terima,”
tambahnya mengenai right issue Tempo.
Sumber
tirto.id
0 comments:
Post a Comment