Search This Blog

Monday, March 18, 2019

Televisi, Media dan Politik


Televisi, Media dan Politik


Media massa khusunya TV saat ini menjadi primadona di kalangan masyarakat dibandingakn dengan media lain seperti koran dan radio. Hampir setiap hari masyarakat selalu menonton TV, baik daerah perkotaan maupun yang tinggal di perdesaan. TV menjadi sarana informasi yang selalu terdepan dalam memberitakan berbagai hal yang terjadi di masyarakat.  Hal ini sangat disadari oleh pemilik media yang juga ketua partai politik. Dalam konteks media dan politik, ada premis yang berbunyi “siapa yang memiliki media massa, ia akan menguasai politik.” Hal ini terbukti terjadi di Italia. Mantan Perdana MenteriItalia,Silvio Berlusconi merupakan pemiliksebuah perusahaanmedia, dan dia dapat menguasai politik.
Kekhawatiran banyak kalangan terkait potensi tidak proporsionalnya berita politik dalam media penyiaran, tampaknya benar-benar terjadi. Hari ini secara kuantitas, potensi dukungan media televisi kepada capres Jokowi-Ma’ruf lebih besar dibandingkan dengan capres Prabowo-Uno. TV ONE,  dan ANTV, dekat ke Prabowo-Uno, sementara MNC TV, Global TV,  RCTI, Metro TV ke Jokowi-Ma’ruf. Yang menarik, ruang-ruang diskursif politik tidak sebatas bermodal dana kampanye yang menggunung, tetapi sekaligus oleh modal stabilitas media dalam menopang citra personal calon. Arus deras dukungan media televisi, menjadi satu magnet tersendiri, sebab siapa yang menguasai media, maka ia berpotensi menguasi suara. Politik media adalah gerakan strategis untuk mendapatkan kemenangan yang telah digaris.
Keberpihakan media dalam skala politik tentu bukan sesuatu yang instan dan tanpa sebab. Para pemangku kebijakan dalam industri media--dalam hal ini pemilik media--telah sejak awal menisbatkan kiprahnya dalam pusaran politik praktis. Sehingga, keberpihakan media terhadap salah satu calon, tidak ditentukan oleh nalar dan kadar profesionalitas jurnalisme, tetapi oleh kepentingan partikular pemilik media. Di sini, media televisi terancam menjadi mobilitas politik yang mengabaikan netralitas media sebagai penghubung kepentingan publik.
Kita analisa secara sederhana,
Kedekatan Chaerul Tanjung dengan megawati mengindikasikan gerbong yang dibekangnya  Trans7, Trans TV dan detik.com berada pada payung bisnis yang sama yakni Trans Corp Mendukung PDIP artinya Jokowi, tetapi walau masih abu-abu
Pernyataan Hary Tanoesoedibyo yang dukung Jokowi, memastikan Global TV, RCTI, TPI bergabung dalam Group MNC, Sindo TV, MNC TV, Koran Sindo, Trust, MNC Radio pasti dukung Perindo, perindo Pro Jokowi
Abu Rizal bakrie juga dukung prabowo, TV One dan ANTV bernaung di bawah bendera Bakrie Group pasti dukung Golongan Karya, tetapi menurut Tirto.id masih setia mendukung Prabowo
SCTV dan Indosiar  yang sebahagian besar sahamnya dimiliki oleh Eddy Sariatmadja ini dukung siapa ya ? abu-abu
Metro TV dan media Indonesia dengan bergabungnya  Surya Paloh (nasdem ke PDIP) Jelas akan dukung jelas NAsdem dan PDIP, dipastikan mendukung Jokowi
Namun hal ini tidak berlaku bagi wartawan. Seorang wartawan memang menyuarakan berbagai fenomena di masyarakat dan tetap bersikap netral tidak menjadi media corong dari petinggi parpol. Anggapan menyamakan wartawan corong dari partai tentu merendahkan derajat seorang wartawan yang bekerja pada instusi media. Wartawan yang profesional memegang kode etik jurnalisme dalam mencari betrita. Wartawan sebagai kuli tinta setiap hari mencari berita untuk masyarakat, bukan robot yang dapat disetir dan dikendalikan para pemilik kepentingan.
Kedua kekuatan media yaitu TVOne dan MetroTV, apabila tidak disadari oleh media lain, tentu akan menjadi saingan politik yang tidak seimbang. Para penguasa partai politik seharusnya dapat memanfaatkan media dalam bentuk pemberitaan yang berimbang, namum dalam prakteknya hal itu sulit terlaksana. Terlihat adanya perbedaan yang menonjol dalam kampanye iklan antara parpol yang kaya dan parpol yang miskin. Namun sepertinya dewan pers maupun Komisi Penyiaran Indonesia belum bertidak secara serius menangani hal ini.
Secara teorits, pers sebaiknya tidak memihak, harus independent dan kredibel dalam memberitakan informasi kepada masyarakat. Namun prakteknya, pers sering mempunyai kepentingan apalagi jika menyangkut petinggi partai yang menyokong dana media cetak atau media penyiaran seperti TV atau radio.
Dalam pemberitaannya, media harus mengedepankan prinsip obyektif, independen dan berimbang. Namun seperti yang pernah disampaikan Jakob Oetama dalam pidato pengukuhan gelar doktor honoris causa dari Universitas Gajah Mada, “obyektivitas media massa merupakan obyektivitas yang subyektif.” Bisnis industri televisi memang menggiurkan dan sarat akan nilai kapitalisme. Pengusaha yang mempunyai modal besar dapat menggelontorkan uangnya untuk membangun sebuah media penyiaran yang nantinya dapat mendukung kegiatan dan sarana kampanye parpol.
Konglomerasi Media adalah penggabungan perusahaan media menjadi perusahaan yang lebih besar yang membawahi banyak media. Konglomerasi ini dilakukan dengan melakukan korporasi dengan perusahaan media lain yang dianggap mempunyai visi yang  sama. Pembentukan konglomerasi ini dengan cara kepemilikan saham, joint venture / merger, atau pendirian kartel komunikasi dalam skala besar baik intergrasi vertikal, intergasi horisontal maupun kepemilikan silang.
Intinya adalah kepemilikan media pada hanya segelintir orang saja, membentuk sebuah gurita media karena satu orang menguasai berbagai media. Mungkin bagi kebanyakan  orang nampaknya hal ini sah-sah saja, karena setiap orang pasti akan selalu berusaha untuk mengembangkan usahanya. Tetapi ternyata konglomerasi mempunyai dampak yang luar biasa berbahaya bagi masyarakat, karena dapat membentuk opini tertentu yang tidak sehat, sterotipe pada suatu hal tertentu dan lain-lain.
Konglomerasi Media di Indonesia menyebabkan satu orang dapat menguasai banyak media, sehingga orang tersebut dapat mengendalikan berbagai media dalam satu waktu, dari kebijakan yang harus dianut, berita mana yang layak di publikasikan, nilai-nilai yang dianut dan sebagainya. Akibatnya jika media yang tergabung dalam satu group tertentu maka berita dan informasi yang disampaikan akan homogen. Selain itu berita yang disampaikan hanya berita yang dianggap menguntungan secara ekonomi bagi media atau pemilik media tersebut. Akhirnya berita tidak lagi dinilai dari seberapa besar nilai beritanya, tetapi berapa banyak keuntungan yang akan didapatkan dari pemuatan berita tersebut. Sebetulnya ini merupakan tanda-tanda bahwa  regulasi atau peraturan yang mengatur tentang kepemilikan media tidak berjalan dengan baik. Padahal konglomerasi media berbahaya dan mengancam kebebasan pers.
Dalam tulisannya, Waren Breed (1955) Social control in The Newsroom , menegaskan bahwa gelombang media penyiaran pada akhirnya akan surut ketika politik telah masuk menjadi kanker kehidupan media massa, terutama televisi. Televisi menjadi sebuah black box karena sarat kepentingan politik yang turut menentukan arah  pemberitaan. Kerja televisi tidak sebatas berkutat pada proses linear, sekadar langkah-langkah kegiatan memproduksi berita. Tetapi, oleh ambisi politik salah satu kandidat yang dipaksakan.
Televisi telah menjelma menjadi dua arus besar. Pertama, televisi memainkan peran sebagai alat politik (political tool) terhadap kandidat, kemudian pada saat yang sama pendukung kritis (critical supporter) bahkan pembengkang (spoiler)terhadap  kandidat lain yang dianggap sebagai lawan. Ekspektasi ini akan mencederai gugus politik yang berkembang. Setidaknya bagi mereka yang tidak memiliki banyak dukungan dari media televisi akan berpotensi menjadi sasaran empuk instabilitas sebuah citra. Jika pada rezim Orde Baru televisi seperti RCTI, SCTV, dan Indosiar, harus mendukung penuh program pemerintah dan partai politik tertentu karena terancam oleh gerakan Represif State Aparatus, tetapi justru kini setelah semuanya bebas dan aman media menjelma menjadi penopang strategis gerakan politik.


Referensi

Rohim, Syaiful. 2009. Teori Komunikasi. Rineka Cipta, Jakarta
Littlejhon, Stepen W, Foss, Karen A. 2009. Teori Komunikasi, Salemba Humanika, Jakarta
Yasir. 2009. Pengantar Ilmu Komunikasi, Wita Irzani, Pekanbaru






0 comments:

Post a Comment