Search This Blog

This is default featured post 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Sunday, September 11, 2011

kebebasan pers setelah reformasi

Kondisi Pers Indonesia Sejak Reformasi Hingga Sekarang

1. Apakah Kondisi politik mempengaruhi pers ?
Kondisi politik di suatu negara akan sangat mempengaruhi keadaan pers di negara tersebut. Pengaruh politik akan sangat besar terutama mengenai sistem pers yang dianut dan seberapa besar kadar kebebasan pers yang ada.
a. Pengaruh terhadap Sistem politik yang di anut.
Klasisikasi sistem pers dunia yang disajikan dalam buku Four Theories of the Press (Siebert, Perterson, & Schramm, 1956). Para pengarang membagi pers dunia ke dalam empat kategori: otoritarian, libertarian, tanggung jawab sosial dan totalitarian Soviet. (Heru Puji winarso, 122: 2005). Pembagian itu berdasarkan pengamatan mereka dengan menggunakan metode-metode ilmu sosial. Tesis buku ini, pers selalu mengambil bentuk dan warna struktur-struktur sosial politik di mana pers itu beroperasi. Untuk melihat perbedaan dan perspektif di mana pers berfungsi, harus dilihat asumsi-asumsi dasar yang dimiliki masyarakat itu mengenai: hakikat manusia, hakikat masyarakat dan negara, hubungan antara manusia dan negara, hakikat pengetahuan dan kebenaran. Pada akhirnya, perbedaan antara system pers merupakan perbedaan filsafat yang mendasarinya.
Menurut Dominick, sistim media disuatu negara berkaitan dengan sistim politik dinegara tersebut. Sistim politik menentukan kepastian hubungan yang nyata antara media dan pemerintah (dalam Elvinaro Ardianto,2004:154). Pembagian pers dalam dunia ini juga didasari pada keadaan politik di suatu negara. Ini dapat dilihat dalam perjalan pers di dunia. Sistem otoritarian berdasarkan sistem keadaan negara yang mempunyai kekuatan mutlak, pengawasan yang ketat, dan ancaman pembredelan bagi media yang melanggar. Liberatarian yang mengusung nilai-nilai kebebasan, tetapi ternyata akhirnya juga ditinggalkan karena dinilai hanya mengusung kepentingan kapitalisme dibanding dengan nilai-nilai edukasi. Berkembang teori tanggung jawab sosial, merupakan jawaban bagi suatu pers yang bertanggung jawab tetapi juga mempunyai kepedulian dengan terhadap masyarakat sebagai nilai tanggung jawab sosial. Totalitarian soviet merupakan wujud dari kekuasan yang absolud kepada media dan tujuan media adalah memberikan sumbangan terhadap suksesnya dan berlangsungnya sistem negara soviet. Melihat perjalanan pers di dunia tampak jelas bahwa sistem politik, akan sangat berpengaruh dalam sistem pers yang dianut.
b. Keadaan politik juga akan mempengaruhi kadar.
Keadaan politik juga akan sangat mempengaruhi kadar dalam kebebasan pers yang ada. Konsep kebebasan pers sangat tergantung pada sistim politik di mana pers itu berada. Dalam negara komunis atau otoriter, kebebasan pers dikembangkan untuk membentuk opini pers yang mendukung penguasa. Sedangkan dalam negara liberal atau demokrasi, kebebasan pers pada prinsipnya diarahkan untuk menuju masyarakat yang sehat, bebas berpendapat dan berdemokrasi.
Pendekatan filosofis barangkali bisa dipergunakan untuk melihat hubungan antara kebebasan dan manusia sebagai individu. John Stuart Mill ( dalam Jakob Oetama : 1985 ) berpendapat, biarlah orang seorang mengembangkan kebebasannya yang absolut. Dengan menggunakan proses kebebasan itu pikirannya yang rasional akhirnya akan menemukan kebenaran. Singkat kata, apabila dipersoalkan kebebasan pers, maka inti masalahnya adalah hubungan pers dan pemerintah. Kekuasaan dan relasi-relasinya menentukan ada tidaknya kadar kebebasan tersebut. Pengertian klasik ini tetap berlaku. Menurut Prof. Oemar Seno Adji SH, persoalan kebebasan pers terlalu disoroti dari segi hukum saja. Sedangkan dalam prakteknya, terutama di negara-negara sedang berkembang seperti Indonesia, persoalan kebebasan pers lebih merupakan masalah politik. Artinya masalah hukum yang diterapkan dan didalam penerapan itu politik ikut berperan dan berpengaruh terhadap hubungan kekuasaan dan kepentingan ( dalam Jakob Oetama, 1989;73 )

2. Apakah ada Objektivitas Media?
Menurut Westerstahl (1983), mengukur objektivitas media harus memiliki dua kriteria. Yaitu factuality dan Impartiality. Faktualitas berarti berita ditulis berdasarkan fakta. Jadi berita bukanlah sebuah show atau rekayasa. Terdiri dari tiga hal, truth, informatif dan relevan. Truth disini maknanya bahwa nilai kebenaran komunikasi bergantung kepada nara sumber yang terpercaya dan dapat diandalkan. Harus sesuai dengan peristiwa nyata dan berguna di berbagai aplikasi atau lapisan. Tentu tidak kalah penting juga prinsip-prinsip kebebasan, kesetaraan, atau keragaman insane media sendiri.
Kalau informatif bagaimana suatu informasi yang disampaikan media tujuannya adalah untuk mengurangi “ketidakpastian” dalam masyarakat, sehingga sedikit banyak masyarakat bisa paham tentang apa yang disampaikan media, apa yang terjadi di sekitar, dan justru dengan adanya informasi tersebut tidak menambah bingung masyarakat. Sementara relevan adalah bagaimana sebuah informasi itu bermanfaat untuk masyarakat. Relevan tidak untuk disajikan ke publik. Apa dampak sosial serta manfaatnya.
Kedua, aspek impartiality. Yaitu sebuah informasi atau berita yang tidak mengandung “keberpihakan” pada satu pihak. Ia nya terbagi dua, balance dan netrality. Balance dipahami sebuah berita yang disajikan harus berimbang. Dalam satu topik atau peristiwa tidak boleh dilihat dari satu sudut pandang saja. Ada beberapa narasumber baik yang pro maupun kontra yang diwawancarai. Kalau netralitas maksudnya sebuah media itu harus netral, tidak boleh menjadi sumpalan kelompok tertentu.
Dua aspek itu menjadi ukuran media tersebut diketegorikan objektif atau sebaliknya. Selain itu, objektivitas berita juga membutuhkan prinsip kesamaan perlakuan antara ‘ekualitas’, yaitu sikap adil dan non diskriminatif terhadap narasumber dan objek berita. Dalam hubungan dengan komunikasi dan kekuasaan politik, kesamaan perlakuan menuntut tidak boleh adanya perlakuan khusus kepada pemegang kekuasaan (Morissan: 2009). http://nurudin.multiply.com/journal/item/32/Media_Massa_dan_Tantangan_Obyektivita
Melihat dua kriteria yang ada di atas, tentunya kita dapat melihat bagaimana objektivitas media saat ini. Saat ini banyak pelanggaran yang dilakukan oleh media. Mungkin ini terjadi karena media mempunyai agenda yang tersendiri. Media mempunyai ideologi yang berbeda antara satu media dengan media yang lain. Tetapi seyogyanya setiap media harus tetap menjunjung nilai-nilai obyektivitas yang ada.
Hal ini mungkin terjadi karena saat ini tidak ada regulasi yang tegas tentang ini, dewan pers yang bertugas mengawasai jalannya pers seolah hanya diam dan tidak bertindak dengan tegas mengenai pelanggaran yang terjadi.
Tidak ada Regulasi yang jelas mengenai kepemilikan media pun menyebakna adanya patologi/penyakit sosial seperti yang diungkapkan Vincent Moscow dalam buku “The Political Economy of Communication” (1998). Lagi-lagi kapitalis bertanggung jawab dalam atas homogenisasi dan politisasi media.
Masing-masing media mempunyai idelologi yang berbeda. Ideologi ini akan dijunjung tinggi oleh semua orang yang bekerja dalam media tersebut. padahal idelogi yang dianut ini sangat tergantung pada ideologi yang dianut oleh pemilik modal tersebut. Pada akhirnya apa yang diberitakan oleh media merupakan refleksi dari ideologi yang di anut oleh pemilik modal. Apakah pemilik modal hanya menginginkan keuntungan yang besar? Atau keterpihakan kepada suatu politik tertentu ? tentu saja akan sangat mempengaruhi apa yang tertuang dalam media tersebut.
Nilai objektifivitas media saat ini mungkin masih ada dalam media, tetapi kadarnya berbeda dalam setiap media. Ada yang masih memegang teguh nilai objektivitas, misal majalah tempo. Tetapi juga banyak media yang telah mengabaikan nilai nilai objektivitas dan hanya mengejar rating dan penjualan yang beroriantasi keuntungan atau masih banyak juga media yang menguntungkan satu kekuatan politik saja.

3. Bagaimana dengan posisi pemerintah? masih diperlukan atau tidak?
Dalam tonggak perjalanan sejarah pers nasional (di Indonesia) tercatat, sejak Era Reformasi (1998), media massa memiliki kebebasan yang luas, terutama dalam melakukan kontrol dan koreksi terhadap jalannya pemerintahan (eksekutif). Sejalan dengan itu, penerbitan pers tidak perlu lagi memiliki izin (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers-SIUPP), dan tidak lagi dikenal adanya sensor dan pembredelan .Hal ini sesuai dengan ketentuan dan jiwa dari Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Pers nasional memiliki kebebasan meskipun seringkali terasa bahwa suratkabar, tabloid dan majalah yang menyalahgunakan kebebasan itu (Anwar Arifin,2003:22).
Kebebasan pers di Indonesia saat ini memang patut kita banggakan, tetapi kebanggan itu juga jangan membawa kita ke kebasan yang terlalu bebas.
Bebas tanpa batas adalah anarki, anarki berlawanan dengan tata tertib, padahal masyarakat yang paling sederhanapun punya tata tertib. Menurut tokoh pers Wonohito, kemerdekaan pers (baca: kebebasan pers) bukanlah pengertian obsolut, melainkan bersifat relatif. Wajah pers senantiasa dipengaruhi oleh ruang dan waktu.
Sementara itu, Andi Muis menilai masalah pokok system pers Indonesia adalah
masalah keseimbangan antara kebebasan dan pembatasannya atau tanggungjawabnya (1999:75). Bagaimana keseimbangan itu dapat terjadi? Daniel Dhakidae menilai, tanggungjawab adalah garis batas kebebasan. Dan yang sebaliknya tidak kurang benarnya yakni kebebasan adalah garis batas tanggungjawab. Tanpa kebebasan tidak mungkin menuntut tanggungjawab, dan tanpa tanggungjawab tidak mungkin menuntut kebebasan. Keduanya tidak bisa dipisahkan (dalam Akhmadi,1997:29).
Peran pemerintah dalam dunia pers saat ini diwaliki oleh dewan pers. Dewan pers mempunyai fungsi mengawasi jika ada pers yang melanggar ketentuan perundang undang dan melakukan pembinaan bagi para insan pers di indonesia.
Menurut penulis peran pemerintah saat ini harus membuat regulasi terhadap kepemilikan media di indonesia. Kebebasan yang terlalu mudah dalam kepemilikan media telah membuat adanya penyakit sosial yaitu homogenisasi berita dan politisasi media.
Kepemilikan media pada satu orang telah membuat opini yang berkembang dalam masyarakat mudah sekali di mainkan oleh media yang dimiliki oleh satu orang pemilik modal.
Pemerintah lewat komisi menyiaran masih sangat diperlukan perannya. Kekuarang tegasan KPI membuat tayangan ditelevisi banyak berisi nilai-nilai yang tidak pantas disiarkan. Pornografi, pornoaksi, mistik, dan tidak kekerasan masih kerap ditemuakan dalam berbagai tayangan. Menurut penulis peran pemerintah masih sangat penting, tetapi sesuai porsinya masing-masing.
4. Menurut Anda sistem pers macam apa yg paling cocok? masihkah relevan dengan adanya sistem pers “Pancasila”?
a. Sistem pers yang paling cocok
Klasisikasi sistem pers dunia yang disajikan dalam buku Four Theories of the Press (Siebert, Perterson, & Schramm, 1956). Para pengarang membagi pers dunia ke dalam empat kategori: otoritarian, libertarian, tanggung jawab sosial dan totalitarian Soviet. (Heru Puji winarso, 122: 2005).
Seperti dibahas di awal, bahwa sistem pers yang dianut dalam negara akan berbeda di setiap negara tergantung dengan keadaan politik di negara tersebut. menurut penulis sitem pers yang paling cocok di gunakan di indonesia saat ini adalah sitem tanggung jawab sosial, di mana media mempunyai kebebasan pers tetapi masih menjunjung tinggi nilai tanggung jawab sosial.
b. Sistem pers Pancasila
Pada masa Orde Baru, pers Indonesia dibingkai sebagai pers pembangunan atau pers Pancasila dengan mengembangkan mekanisme interaksi positif antara pers, pemerintah dan masyarakat dan konsep pers pembangunan yang dikembangkan berdasarkan model komunikasi pendukung Model ini mulai diperkenalkan sejak sidang ke 25 Dewan Pers, 7-8 Desember 1984 dan disahkan dengan sebutan Pers Pancasila. Pers Pancasila adalah pers yang orientasi, sikap dan perilakunya didasari oleh nilai-nilai ideology Pancasila dan bertanggungjawab untuk menerapkan Pancasila dan UUD 1945 dalam melakukan peliputan terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat (Atmadi,1982:12). Menurut Selo Soemardjan (1987), dalam melaksanakan fungsinya Pers Pancasila harus memilih dan memilah sumber-sumber berita dan melaporkan berita berdasarkan ideology Pancasila dan menyajikan berita sedemikian rupa sehingga efeknya pada masyarakat tetap harmonis, seimbang dan sesuai dengan ideology tersebut. Namun dalam praktiknya, konsep pers pembangunan atau pers Pancasila telah menjadi sistem pers otoritarian yang digunakan sebagai sarana propaganda bagi pembangunan ekonomi nasional.Dan kebebasan pers yang inheren dalam suatu sistem pers, terbukti tidak berjalan. Proses kebebasan pers yang ada hanya tunduk pada penguasa. Dengan demikian sistem pers di Indonesia sejak zaman penjajahan sampai Indonesia merdeka hingga penguasa Soeharto, menganut system otoritarian. Selama pemerintahan Orde Baru label system pers bernama system pers Pancasila atau pers Pembangunan. Praktiknya adalah pers bebas dan bertanggungjawab, t etapi bertanggungjawab kepada penguasa. Manakala perilaku pers tidak berkenan di mata penguasa, maka ancamannya pembredelan atau pembatalan SIUPP. Ini merupakan salah satu ciri pers otoritarian. Setelah merdeka, pada tahun 1950-an, pihak militer mengharuskan pers mempunyai surat izin terbit (SIT). Dan ini berarti suatu kemunduran, dalam arti pers tunduk pada kemauan penguasa. Pers pada masa Orde Baru banyak menerima tekanan dari rezim yang berkuasa. Dan bagaimana praktik kebebasan pers pada era Reformasi dewasa ini, setelah pada awal Reformasi, gerbang kebebasan pers telah terkuak lebar, dan kini telah dinikmati praktik kebebasan pers tersebut.
Awalnya pers pancasila seakan sebagai cerminan sebagai kehidupan pers yang berpegang kepada tatanan yang terkandung dalam pancasila. Tetapi pada prakteknya pers pancasila hanya sebagai topeng dari pengekangan kekebabasa pers. Pers penacasila hanya sebagai kekuatan penguasan saat itu orde baru untuk mengendalikan pers. Upaya itu dilakukan karena dinilai pers mempunyai peranan yang penting dan berbahaya karena dapat mempengaruhi jalannya pemerintahan saat itu. Pers pancasila bertanggung jawab kepada penguasa tidak kepada rakyat. http://ugilands.blogspot.com/2011/01/praktik-kebebasan-pers-pada-era.html

Penulis menilai pers semacam ini tampaknya tidak relevan dengan semangat kebebasan pers yang terkandung dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Sekarang ini yang kita butuhkan adalah kebebasan pers yang bertanggung jawab tidak lagi kebebasan pers yang semu.

Daftar Pustaka


Heru, Puji Winarso, 2005. Sosilogi Komunikasi. Jakarta : Prestasi Pustaka


http://ugilands.blogspot.com/2011/01/praktik-kebebasan-pers-pada-era.html

http://nurudin.multiply.com/journal/item/32/Media_Massa_dan_Tantangan_Obyektivitas

http://akusaeni.blogspot.com/2007/12/objektivitas-pemberitaan.html

http://nurudin.staff.umm.ac.id/2010/02/16/media-massa-dan-tantangan-objektivitas/

http://acehinstitute.org/index.php?option=com_content&view=article&id=529:menyoal-objektivitas-media&catid=77:humaniora&Itemid=127

Monday, June 20, 2011

SMS Gelap Nazarudin



Salah satu kasus yang paling santer diberitakan media di Indonesia saat ini adalah Kasus yang melibatkan mantan bendahara partai Demokrat M Nazarudin. Nazarudin langsung menjadi news maker setelah disebut sebut tersangkut pada banyak kasus. Proyek wisma atlet dan penyuapan terhadap sekjen MA telah membuat karier Nazarudin suram, karena dia kemudian dicopot dari pengurus partai demokrat sebagai bendahara partai. Sekarang ini ia malah menjadi salah satu orang yang dicari oleh KPK karena tidak memenuhi panggilan sebagai saksi dan telah dicekal. Tetapi pencekalan itu tidak berhasil, karena dia telah pergi ke Singapura dengan alasan berobat sehari sebelumnya.
Berita tentang Kepergian nazarudin ke Singapura sangat gencar diberiakan oleh berbagai media, bahkan SMS yang mengatas namakan nya dan berisi banyak kasus yang konon katanya akan dia bongkar pun menjadi bahan pemberitaan yang penting. Isi SMS tesebut sebagai berikut :
“Demi Alloh, Saya M Nazaruddin telah dijebak, dikorbankan dan difitnah. Karakter, karier, masa depan saya dihancurkan. Dari Singapore saya akan membalas. Saya akan bongkar skandal sex sesama jenis SBY dengan Daniel Sparingga dan Mega korupsi Bank Century, korupsi Andi Malarangeng dalam Wisma Atlit, Manipulasi data IT 18 juta suara dlm Pemilu oleh Anas Urbaningrum dan Andi Nurpati. Mohon doa dan dukungan. Wassalam.” (http://aladiw.us/sms-fitnah-terhadap-presiden-sby/)
Isi dari sms itu berisi isu skandal seks, menyinggung mengenai mega korupsi bank Century, keterlibatan Andi Malaranggeng dalam kasus wisma atlit, manipulasi information IT 18 juta suara dalam pemilihan presiden 2004 lalu yang dilakukan oleh bekas anggota Komisi Pemilihan Umum 2004 Anas Urbaningrum dan andi Nurpati.
Terkait dengan beredarnya SMS tersebut juru bicara Presiden daniel Sparingga yang namanya disebutkan dalam SMS tersebut langsung membantah dan dengan enteng mengatakan hal tersebut sebagai bentuk pengalaman baru baginya, dan juga sebagai bentuk persiapan dalam menghadapi isu-isu berikutnya
Sedangkan beberapa nama yang disebutkan dalam SMS, ditemui ditempat terpisah masing-masing Anas Urbaningrum, Andi Nurpati dan Andi Malaranggeng, sama-sama menepis SMS yang menurut mereka hanya sekedar isu untuk membunuh karakter mereka.
Presiden Susilo Bambang langsung menggelar jumpa pers di Istana Negara, Senin, 30 Meni 2011 terkait dengan isu SMS itu, mengutuk dengan keras pelaku penyebar SMS yang menurutnya telah menyebar fitnah yang sangat menyesatkan.
“ Janganlah terus menerus menyebarkan racun fitnah. Muncullah secara ksatria, mari kita berhadapan demi hukum dan keadilan. Itu 1000 persen tidak mengandung kebenaran. Katanya ada mega skandal Bank Century, itu-itu lagi. Disebutkan tindakan saya yang tidak terpuji. Ada lagi dikatakan PD punya tabungan Rp 47 triliun dan demokrat harus menjelaskan. Terbalik logikanya. Dia yang menuduh dia yang membuktikan,” tantang SBY
Lanjut SBY, Kalau bicara fitnah, banyak orang negeri ini yang menjadi korban, dirinya salah satunya. Selama mengemban amanah melalui pemilu yang sah dan demokratis, dirinya mengakui ada ratusan fitnah datang kepadanya. Selama ini dirinya  memilih diam. Satu kali dua kali manakala fitnah itu keterlaluan, maka demi nama baik dan merupakan haknya,dirinya perlu memberi penjelasan kepada publik.
Sebenarnya masalah SMS tersebut bukan masalah besar. Masalah SMS itu benar atau tidak perlu dilakukan oleh polissi dan penyidik lebih dalam. Tetapi SMS itu telah melahirkan berbagai opini di masyarakat. Ada yang berpedapat SMS itu benar, SMS itu rekaya untuk menjatuhkan partai demokrat, ada SMS itu bohong, pengalihan isu dan lain-lain.
Terlepas dari berbagai opini yang muncu tentang SMS gelap tersebut, SMS itu telah menjadi menyedot perhatian publik, diberitakan besar-besaran oleh media dan tentunya menghasilkan keuntungan bagi para pemilik media.
Landasan Teori
Para peneliti telah lama mengetahi bahwa media memiliki kemampuan untuk menyusun isu-isu bagi masyarakat. Salah satu penulis awal yang merumuskan gagasan ini adalah Walter Lippmann, seorang jurnalis Amerika terkemuka. Lippman mengambil pandangan bahwa masyarakat tidak merepon pada kejadian sebenarnya dalam lingkungan, tetapi pada “gambaran dalam kepala kita. “ yang disebut denga lingkungan palsu (Pseudoevironment): “Karena lingkungan yang sebenarnya terlalu besar, terlalu kompleks, dan terlalu menuntut adanya kontak langsung, dan tidak dilengkapi untuk berhadapan dengan begitu banyak permutasi dan kombinasi. Bersama-sama  kita harus bertindak dalam lingkungan, kita harus menyusun kembali dalam sebuah model yang lebih sederhana sebelum kita berhadapan dengan hal tersebut. Media memberikan kita model yang lebih sederhana dengan menyusun ageda bagi kita.
Fungsi Penyusunan agenda oleh Donal Shaw, Maxwell McCombs, dan rekan-rekan
“Ada bukti besar yang telah dikumpulkan bahwa penyunting dan penyiar memainkan bagian yang penting dalam membentuk realitas sosial ketikka mereka menjalankan tugas keseharian mereka dalam memilih dan menampilkan berita.... Pengaruh media masa ini –kemampuan untuk mempengaruhi perubahan kognitif antaraindividu untuk menyusun pemikiran mereka-Telah diberi nama fungsi penyusunan agenda dari komunikasi massa. Di siniterletak pengaruh sangat penting dari komunikasi massa. Dan mengatur dunia kita sendiri. Singkatnya, media massa mungkin tidak berhasil dalam memberitahu kita apa yang harus dipikirkan, tetapi mereka secara mengejutkan berhasil dalam memberitahu kita tentang apa yang harus kita pikirkan.”
Dengan kata lain, penyususnan agenda membentuk gambaran atau isu yang penting dalam pikiran masyarakat.
Penyusunan agenda terjadi karena media harus selektif dalam melaporkan berita. Saluran berita sebagai penjaga gerbang informasi membuat pilihan tentang apa yang harus dilaporkan dan bagaimana melaporkannya. Apa yang masyarakat ketahui tentang situasi pada waktu tertentu merupakan hasil dari penjagaan gerbang oleh media. (Littlejohn, 415-416 :2010)
Asumsi dasar teori yang dicetuskan oleh Cohen (1963) ini menyatakan bahwa media membentuk persepsi atau pengetahuan tentang apa yang dianggap penting. Dengan ungkapan lain, apa yang dianggap penting oleh media, maka dianggap penting juga oleh publik. (Hamidi, 81:2007)
Analisa
SMS gelap yang konon dari M Nazarudin itu sebetulnya bukan masalah yang besar. SMS itu pertama kali di dapatkan Indra pada tangal 28 Mei idari  +6584393907 dan di sebarkan lewat twetter. Semula hanya dianggap sebagai SMS gurauan dan lelucon biasa. Tetapi karena saat itu nama Nazarudin sedang panas di media, isi dari SMS tersebut yang menyebutkan nama-nama orang penting dan skandal besar yang akan diungkap membuat media memberitakan hal tersebut.
Dalam sekejap berbagai media memberitakan SMS gelap, dari siapa pengirimnya, kebenaran dari isi SMS, tanggap orang-orang disebut, dampak terhadap partai Demokrrat, pendapat dari berbagai macam tokoh dan wawancara ekslusif dalam berbagai tayangan pun ada.
siapa yang paling diuntungkan oleh munculnya SMS gelap tersebut ? Ternyata yang paling diuntungkan adalah media tersebut. SMS tersebut pemberitaan tentang Nazarudin semakin gencar, semakin banyak masyarakat yang ingin mengetahui berita tersebut, semakin banyak orang yang memperbincangkan apalagi setelah SBY melakukan jumpa pers untuk menjelaskan SMS gelap.
Media telah berhasil menciptakan suatu gambaran mana yang kita pikirkan. Kita dibuat penasaran atas apa yang tertulis dalam SMS terbebut. Kita semakin berusaha mencari kebendaran SMS tersbut, Apakah SMS itu benar atau hanya sekedar Hoax. Akan tetapi terlepas berita itu benar atau salah, pada kenyataannya isi dari SMS tersebut tidak bergitu penting, dan tidak akan mempengaruhi kehidupan kita.
Media telah berhasil menuntun kita tentang apa yang harus kita pikirkan. SMS tersebut tidak akan berdapak signifikan terhadap kehidupan audien. Opini media yang kita dapatkan mungkin akan mengubah opini kita. Mungkin setelah kita mengikuti kasus Nazarudin telah mengubah persepsi kita tentang partai Demokrat, pandangan kita terhadap pemerintahan SBY, sistem hukun di Indonesia saat ini, dan mungkin akan menjadi referensi kita dalam pemilu tahun 2014.
Pemilihan agenda ini suatu bentuk kecerdikan media untuk mengambi peluang agar medianya mendapatkan rating dan tentunya memperoleh keuntungan yang besar. Secara substansi nilai SMS ini kecil bagi masyarakat tetapi dari nilai berita menjadi sangat besar. Momentum ini tidak akan disia-siakan oleh media. Penentuan
Efek pemberitaan ini mungkin menjadi sangat besar, Secara politik pemberitaan ini disebut telah menyudutkan partai Demokrat, Citra SBY menurun dan menurunkan jumlah simpatisan partai demokrat. Mungkin ini kerugian bagi partai Demokrat.
Kesimpulan
Media telah berhasil berhasil dalam memberitahu kita tentang apa yang harus kita pikirkan terhadap pemberitaan SMS gelap yang diduga oleh Nazarudin. Padahal secara Substansial Isi SMS tersubut tidak penting bagi kehidupan audien, tetapi pemberitaan media telah mempengaruhi tentang beberapa hal, berita apa yang akan kita baca, tayangan berita apa yang harus kita lihat dan mungkin sampai partai apa yang akan kita pilih dalam pemilu tahun 2014. Terlepas isi berita itu fakta atau hoax, media telah menjadikannya komoditi yang menguntungkan.

Daftar pustaka
Hamidi,. 2007. Metode Penelitian dan Teori Komunikasi. Malang : UMM Press
Littlejohn, Stephen. 2009. Teori KOmunikasi. Jakarta : Salemba Humanika

Wednesday, June 15, 2011

Masa Depan Partai Islam Di Indonesia

Bagaimana masa depan partai Islam di Indonesia? Apakah semakin cerah atau malah meredup ? keduanya merupakan pertanyaan yang menggelitik. Jawabannya mungkin dapat kita temukan dengan melihat sejarah, karena apa yang terjadi di masa depan mungkin akan dapat diramalkan dengan melihat masa lalu.
***
Sejarah politik di Indonesia memang sangat menarik, karena mempunyai kekhasan dalam setiap era. Terbagai dalam bebrapa era yaitu :  sebelum kemerdekaan, kemerdekaan, orde lama, orde baru dan orde revormasi. Pada setiap era partai Islam  tumbuh, berkembang dan tumbang silih berganti. Hal tersebut terjadi karena kondisi politik di Indonesia di warnai kepemimpinan yang melahirkan berbagai aturan tentang jalannya partai politik di Indonesia.
Sebelum kemerdekaan
organisasi massa Islam muncul pertama kali lahir di Solo pada tahun 1911 dengan nama Organisasi Syarekat Dagang Islam oleh H. Samahudi. Tujuannya untuk menghimpun para pedagang pribumi, kemudian meningkat menjafi partai politik dengan nama Partai Syarikat Islam Indonesia, tetapi kemudian dibubarkan pada masa penjajahan Jepang semua partai dibubarkan dan tidak berkenan mengadakan kegiatan, kecuali Masyumi yang bergerak dalam kegiatan sosial. (Hafied Cangara, 233:2009)
Awal Kemerdekaan dan Orde lama
Perjalanan partai politik dimulai lagi di awal kemerdekaan ditandai dengan keluarnya Maklumat Wakil Presiden RI No. X atas usul Badan Pekerja KNIP 3 November 1945 yang isinya mengukuhkan kedudukan KNIP dan memberi kesempatan seluas-luasnya kepada rakyat Indonesia untuk membentuk Parai Politik. (Hafied Cangara, 234:2009)
Maklumat ini penting karena sebuah wujud penolakan Sutan Syahrir terhadap gagasan partai tunggal Partai Indonesia pusat yang diusulkan Soekarno.  Menurut Sutan Syahir pembentukan partai tunggal akan membawa Indonesia terperangkap menuju otoritarisme atau fasisme.
Awalnya partai terbelah menjadi dua kubu yang berbeda antara partai yang berlandaskan nasionalis dan partai islam, perbedaan partai Islam dan partai nasionalis sangat tegas. Yang satu memperjuangkan negara berdasar Islam dan yang lain berjuang untuk negara berdasar Pancasila.
Nasionalisme merupakan dasar bagi sistem negara-bangsa (nation-state) dan Islamisme adalah dasar bagi negara Islam. Sampai beberapa puluh tahun setelah itu, Pancasila bagi partai Islam merupakan sesuatu yang bersifat sekuler, dalam pengertian antiagama.
Perjuangan parpol-parpol Islam (Masyumi, NU, PSII, dan Perti) untuk mendirikan negara Islam gagal dan lalu diteruskan pada Majelis Konstituante (1956-1959) yang juga gagal. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menjadikan Piagam Jakarta sebagai dasar pertimbangannya sedikit meredakan keinginan partai-partai Islam untuk memperjuangkan negara Islam.   
Orde baru dan Penyederhanaan Partai
Salah satu program utama yang dilaksanakan pada awal pemerintahan Orde baru adalah melaksanakan pemilu pada tahun 1971. Berdasarkan Undang-Undang No. 15 tahun 1969 tentang partai politik dan pemilihan umum, jumlah kursi yang diperebutkan ada 360 dari 460 kursi. Sisanya 100 kursi di bagi masing-masing 75 % untuk ABRI dan 25 % untuk golongan karya non ABRI. Pemilu dilaksanakan pada 3 Juli 1971 yang diikuti 10 partai politik dengan hasil perolehan sebagai berikut :
No
Partai
Jumlah Kursi
%
1
Partai katolik
3
1,11
2
Partasi Serikat Islam Indonesia (PSII)
10
2,39
3
Nahdatul Ulama (NU)
58
18,67
4
Partai Muslimin Indonesia (Parmusi)
24
7,36
5
Golongan Karya (Golkar)
227
62,8
6
Partai Kristen Indonesia (Parkindo)
7
1,34
7
Partai Murba
-
-
8
Partai Nasional Indonesia (PNI)
10
2,39
9
Partai Islam (Perti)
2
0,7
10
Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI)
-


Setelah pemilu dilaksankan pada tahun 1971, pemerintah melakukan evaluasi dan menyederhanakan partai-partai politik dengan mengeluarkan UU No. 4 tahun 1975. Hasil fusi dari 10 partai politik akhirnya menjadi 2 parpol dan 1 golongan karya. Ketiga kekuatan tersebut sebagai berikut :
             1.                   Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
Sebagai hasil fusi dari partai-partai yang beraliranislam yakni, partai serikat islam Indonesia (PSII), partai Nadatul Ulama (NU), Partai Muslin Indonesia (Permusi) dan Partai Islam (Perti)
             2.                   Partai Demokrasi Indonesia
Sebagai hasil fusi partai-partai  yang berhaluan Nasiona, yakni partai katolik, partai Kristen Indonesia (Parkindo), Partai Murba, Partai Nasional (PNI), dan artai Ikatan mendukung kemerdekaan Indonesia (IPKI).
             3.                   Golongan Karya
Sebagai hasil fusi dari berbagai kekuatan organisasi masyarakat sebelumnya, seperti SOKSI, kosgoro, Korpri (Korps Pegawai Negeri), Kekaryaan ABRI, Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Organisasi Pemuda Panca Marga, Veteran dan Semacamnya.
(Hafied Cangara, 234:2009)
Penyerderhanaan partai politik membuat pemerintah kala itu dapat menyetir jalannya politik dengan mudah. Partai politik tunduk pada seluruh kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Masa Orde baru partai tak ubahnya hanya sebagai boneka kekuasaan, karena pemerintah memiliki peluang untuk mengintervensi kepartaian. Lebih-lebih pemerintah tidak mengijinkan partai politik untuk bersikap oposisi terhadap kebijakan-kebijakan yang diambilnya.
Tahun Pemilu
PPP
GOLKAR
PDI
1977
99 (29,90)
232 (62,11)
29 (8,6)
1982
94 (26,11)
242 (67,22)
24 (6,67)
1987
61 (15,90)
299 (73,20)
40 (10,70)
1992
62 (17,00)
282 (68,00)
56 (15)
1997
89 (25,34)
325 (84,19)
11 (2,47)
Pembagian kursi dan persentase menurut perolehan suara partai politik dalam pemilu.
Masa Reformasi
Ketika soeharto jatuh pada tahun 1998 dan digantikan oleh B.J. Habiebie, gerakan reformasi menggulir terutama di bidang politik dan pemerintahan. Habiebie berusaha untuk menegakkan demokrasi dan meminta pemilihan umum dipercepat dengan mengeluarkan Undang-undang No. 3 tahun 1999 tentang Partai Politik dan Pemilu. (Hafied Cangara, 234:2009). Presiden Habibie memberikan kesempatan kepada semua pihak untuk mendirikan partai politik. Wajar kalau para politikus mendirikan parpol berdasar paradigma dan kekuatan yang dihasilkan Pemilu 1955. Sebab, hanya pemilu tersebut yang betul-betul bersih
Di antara 48 parpol peserta Pemilu 1999, terdapat 17 partai politik berbasis massa Islam yaitu :
1
Partai Kebangkitan Muslim Indonesia
10
Partai Politik Islam Indonesia Masyumi
2
Partai Ummat Islam (PUI)
11
Partai Bulan Bintang (PBB)
3
Partai Kebangkitan Ummat (PKU)
12
Partai Keadilan (PK)
4
Partai Masyumi Baru
13
Partai Nahdatul Ummat
5
Partai Persatuan Pembangunan
14
Partai Islam Demokrasi
6
Partai Syarikat Islam Indonesia
15
Partai Persatuan
7
Partai Abul Yatama
16
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)
8
Partai Amanat Nasional (PAN)
17
Partai Ummat Muslimin Indonesia
9
Partai Syarikat Islam Indonesia-1905


Sumber: (Hafied Cangara, 237:2009)

Mungkin saat itu politisi yang berasal dari parpol dan ormas Islam menganggap bahwa masa depan partai Islam serta partai berbasis massa Islam tetap cerah. Ternyata hasil dari pemilu tersebut tidak demikian. Perolehan suara Partai politik Islam lebih kecil persentasenya dibandinkan jumlah suara Masyumi, NU, PSII, dan Perti pada tahun 1955.
Atas pertimbangan besarnya jumlah partai politik yang ada, serta banyaknya partai kecil yang tidak memenuhi syarat perolehan suara dalam dalam pemilu 1999, maka melalui Undang-Undang No. 12 tahun 2002, partai politik yang bisa diperkenankan ikut pemilu 5 April 2004 harus memenuhi ketentuan Pasal 9 yang menyatakan :
Untuk dapat mengikuti pemilu berikutnya, partai politik peserta pemilu harus;
1.             Memperoleh sekurang-kurangnya 3% (tiga persen) jumlah kursi DPR.
2.             Memperoleh sekurang-kurangnya 4% (empat persen) jumlah kursi DPRD Provinsi yang tersebar sekurang-kurangnya di ½ (setengah) jumlah provinsi seluruh Indonesia, atau
3.             Memperoleh sekurag-kurangnya 4% (empat persen) jumlah kursi DPRD kabupaten/kota yang tersebar di ½ (setengah) jumlah kabupaten/kota seluruh Indonesia.

Berdasarkan Pasal 9 UU No 12 tahun 2002, jumlah partai pokitik yang memenuhi syarat untuk ikut pemilu 2004 menyusut menjadi 50 % dari 48 menjadi hanya 24 partai. Hasilnya dari 17 partai islam hanya 7 partai Islam yang lolos dalam pemilu 5 April 2004. Hasil perolehan suara di pemilu legislatif tahun 2004 sebagai berikut :
No
Partai
Perolehan Suara
%
Jumlah Kursi
1
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)
11.989.564
10,57
52
2
Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
9.248.764
8,15
58*
3
Partai Keadilan Sejahtera (PKS)
8.325.020
7,34
45
4
Partai Amanat Nasionak (PAN)
7.303.325
6,44
52
5
Partai Bulan Bintang (PBB)
2.970.487
2,62
11
6
Partai Bintang Reformasi (PBR)
2.764.998
2,44
13
7
Partai Persatuan Nahdatul Ummah (PPNU)
895.610
0,79
0
Catatan : *Memperoleh tambahan suara karena proporsi didasarkan daerah yang mencalonkan
Sumber: (Hafied Cangara, 237:2009)
Namun, Pemilu 2009 telah menyadarkan para tokoh partai Islam dan parpol berbasis massa Islam bahwa ternyata masa depan mereka tidak menentu. Hasil pemilu tahun 2009 dari 38 partai politik yang ikut hanya 9 partai yang memenuhi persyaratan, dan memenangkan partai demokrat, hasil keseluruhan sebagai berikut :
No
Partai
Jumlah Suara
%
1
Partai Demokrat
21.703.137
20,85
2
Partai Golkar
15.037.757
14,45
3
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
14.600.091
14,03
4
Partai Keadilan Sejahtera
8.206.955
7,88
5
Partai Amanat Nasional
6.254.580
6,01
6
Partai Persatuan Pembangunan
5.533.214
5,32
7
Partai Kebangkitan Bangsa
5.146.122
4,94
8
Partai Gerindra
4.646.406
4,46
9
Partai Hanura
3.922.870
3,77
Sumber : http://www.pemiluindonesia.com/pemilu-2009/kpu-tetapkan-hasil-pemilu-legislatif-2009.html

 ***
Melihat sejarah partai politik di indonesia penulis dapat menyimpulkan bahwa dari masa ke masa, perolehan suara partai dengan berbasis Islam mengalami penurunan. Hanya 4 partai berbasiskan Islam yang lolos pada Pemilu 2009 lalu, yaitu PKS, PKB, PAN, dan PPP.
Partai berbasisikan Islam lainnya tumbang. Sebaliknya, partai yg selalu berjaya adalah partai-partai yang berasaskan nasionalis dan kebangsaannya alias yang tidak menggunakan embel-embel agama.
Jika di banding dengan perolehan saat awal kemerdekaan (pemilu tahun 1955) yang waktu itu di wakili Masyumi 20,9 %, NU 18,4%, PSII 2,9% dan Perti 1,3% pelolehan suara mencapai 43,5%. (Hafied Cangara, 237:2009)
Pada Pemilu 2009 lalu hasil suara PKS, PAN, PKB, dan PPP jika digabungkan hanya 25 juta lebih atau 24,15% dari suara sah. Sedangkan partai-partai nasionalis (PD, PDIP, PG, Gerindra, Hanura) memperoleh sekitar 60 juta, atau 57% lebih. Bandingkan PKS yg sudah mengikuti pemilu 3 kali, dan Demokrat yang baru 2 kali. PKS sejak Pemilu 1999 baru mampu menghasilkan suara terbanyak pada Pemilu 2004 yaitu 8,3 juta (7,3%). Pemilu 2009 sebenarnya jumlah pemilih menurun yaitu menjadi 8 juta, walau persentasenya naik menjadi 7,8% gara-gara diberlakukan Parliement Treshold. Sementara Partai Demokrat terjadi kenaikan yang luar biasa dari 8,4 juta (7,5%) saat Pemilu 2004 menjadi 21,8% dengan jumlah suara 21, juta lebih.
Masa depan partai berbasis Islam di Indonesia akan sangat rentan jika tidak segera melakukan perubahan. Penulis mendukung hipotesa yang dinyatakan oleh kang Jaja “Hipotesa saya sementara ini, bahwa partai-partai Islam tidak akan bisa menjadi besar.” (http://www.wikimu.com/News/DisplayNews.aspx?id=14444)
Menurut kang Jaja penyebab utamanya, bahwa karakter rakyat Indonesia yang mayoritas muslim itu adalah cenderung menyukai keberagaman. Islam sendiri masuk ke Indonesia setelah sebelumnya masuk animisme, Hindu, Budha. Bahkan Islam sendiri di Indonesia ini sangat beragam dan lengkap, semua majhab ada, bahkan berbagai aliranpun muncul dan banyak pengikutnya.
Menurut saya, kunci utamanya (sementara ini) adalah rakyat Indonesia dengan latar belakang sosial, agama apapun lebih menyukai wadah yang menerima keberagaman.
Partai Islam ataupun partai yang berbasiskan Kristen adalah wadah politik yang homogen yaitu berdasarkan agama tertentu, yang menunjukkan ketidakberagaman. Sebaliknya partai-partai lainnya yang berlandaskan Pancasila alias menganut faham nasionalis atau kebangsaan lebih disukai karena dapat mewadahkan dari kalangan manapun, atau wadahnya sesuai dengan karakter dan sejarah rakyat Indonesia yang menyukai keberagaman.
Bukti lemahnya partai Islam adalah belum mampunya mengangkat dan menjadikan calon pemimpin nasional dari kalangan umat Islam. Indikasi lainnya, bahwa partai Islam masih sangat lemah adalah masih rendahnya kemampuan bernegosiasi.

Jika partai Islam masih ingin bertarung padapemilu tahun 2014 nanti, partai islam harus segera berbenah, dengan menyiapkan kader yang kapabel dan cakap. Memenuhi janji kampanye yang lalu sehingga dapat memperlihatkan etikat baik sebagai pemenuhan janji kampenye mendatang sehingga partai islam tersebut layak untuk dipilih kembali dalam pemilu kedepan.
Daftar Pustaka

Hafied, Cangara. 2009. Komunikasi Politik.Jakarta : Rajawali Pers

http://www.pemiluindonesia.com/pemilu-2009/kpu-tetapkan-hasil-pemilu-legislatif-2009.html