Search This Blog

This is default featured post 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Wednesday, November 21, 2018

Konglomerasi Media Jurnalisme adalah Taruhannya



Konglomerasi Media 
Jurnalisme adalah Taruhannya

Rencana bisnis masing-masing perusahaan media di Indonesia, menurut Tapsell, adalah sebangun: merebut audiens Indonesia lewat sebanyak mungkin platform. Mereka juga membangun “ekosistem” media, dari konten hingga infrastruktur komunikasi.

Dengan demikian, menurut Tapsell, akan sulit bagi media baru—terutama yang berbasis online—untuk bertahan dan punya bisnis yang berkelanjutan, jika tidak bergabung dengan konglomerasi tersebut.

Penelitian Merlyna Lim dan Ignatius Haryanto menunjukkan betapa para pemimpin perusahaan ini bukan cuma punya pengaruh pada lanskap media, tapi juga keterlibatannya pada panggung politik dan ekonomi Indonesia. Membuat kualitas jurnalisme memang jadi taruhannya.

Tempo—majalah mingguan milik PT Tempo Inti Media Tbk— yang tadinya diletakkan Tapsell di luar garis konglomerat media ini, sahamnya sudah diserap konglomerat Edwin Soeryadjaya dan grup SCTV—yang terafiliasi dengan EMTEK—lewat right issue.

Menurut Y. Tomi Aryanto, wakil direktur bisnis digital Tempo Group, jumlah itu tak lebih dari 1 persen dan tak berpengaruh pada kualitas jurnalisme Tempo.

“Kami tidak akan mudah menerima hal-hal yang tidak bisa kami kompromikan,” kata Tomi kepada saya. Menurutnya, Tempo punya basis jurnalisme yang kuat, karena bahkan orang-orang manajemennya adalah bekas wartawan yang paham batas api antara produk jurnalistik dan iklan.

“Apakah dengan right issue segitu bisa memengaruhi (dapur redaksi)? Kecil sekali, kok. Apa yang bisa kamu lakukan dengan satu persen?” ujar Tomi.

“Investor itu kalau mau intervensi, kan, mesti hitung berapa punya shares. Kalau cuma kecil, kami cuekin aja, dia enggak bisa apa-apa, istilahnya gitu. Tentu hari-harinya tidak begitu. Mereka juga tahu, mereka bukan orang bodoh, yang hanya punya 2-3 persen terus mau intervensi. Ya enggaklah, kami yakin mereka tidak seperti itu. Maka, kami juga mau terima,” tambahnya mengenai right issue Tempo.
Sumber 
tirto.id

Konglomerasi Media Bisnis yang Makin Terkonvergensi ke Digital


Konglomerasi Media 
Bisnis yang Makin Terkonvergensi ke Digital


Lippo Group, perusahaan bisnis Keluarga Riady, tak tinggal diam ketika bisnis media mulai goyang. “Tak ada uang yang dihasilkan media,” kata John Riady, anak James pada awal 2015, ketika Lippo Group berinvestasi 500 juta dolar AS untuk e-commerce MatahariMall.

“Berita Satu yang sebelumnya dipegang John kini di bawah kontrol adiknya, Henry,” tulis Tapsell.

Selain toko daring, pada Juli 2016, Lippo Group semakin melebarkan sayap di bisnis digital lewat kerja sama dengan Grab, perusahan rintisan transportasi berbasis aplikasi asal Malaysia.

Beberapa dari konglomerat lain tertarik pada sektor yang sama, yakni bisnis digital yang memang tengah naik daun. Pada 2011, MNC menjadi rekanan WeChat—aplikasi layanan pesan asal Tiongkok. Pada 2013, Bakrie Group berinvestasi di Path senilai 25 juta dolar AS. (Belakangan, Path dijual ke KakaoTalk pada 2015, dan Bakrie sudah tak punya saham di sana.)

Selain media-media tersebut, EMTEK ditemukan berinvestasi pada bobobobo.com, Property Guru Pte, Kudo, Hijup.com, Bridestory Pte, Bukalapak.com, Home Tester Club, BBM Indonesia, Oshop, Rumah.com, dan belakangan terafiliasi dengan Go-Jek dan Google. Bila ditarik lebih luas, jaringan bisnis ini juga bisa meluas sampai Tencent dan Alibaba, dua perusahaan raksasa dari Cina.
Menurut Tapsell, para konglomerat media cenderung mengembangkan model bisnis konglomerasi digital yang hampir sama: berusaha menjadi perusahaan media multiplatform, dan untuk mencapai hal itu, mereka memusatkan produksi berita mereka.

Hal ini sudah ditunjukkan CT Corp. Mengutip Tapsell, Ishadi SK, saat itu komisaris CT Corp, berkata bahwa detik.com bukan cuma dijadikan pusat berita Trans Media, tapi jadi pusat bisnis.

"Untuk mendukung itu," kata Ishadi, "Trans Corp bakal membangun fasilitasnya di Jakarta, termasuk 50 studio TV yang bakal jadi pusat newsroom semua perusahaan media Trans. Termasuk akan dibangun hotel, theme park, ocean park, sampai teater hiburan yang akan jadi pusat bisnis."

Meski tidak spesifik di Jakarta, pembangunan itu akan segera dilakukan di Serpong dan Tangerang Selatan.

Sumber :
tirto.id

Konglomerasi media Konglomerat lewat Jalur Media Cetak



Konglomerasi media
Konglomerat lewat Jalur Media Cetak


Sedangkan kelompok konglomerasi media kedua, yang tetap bertahan di era internet, adalah mereka yang telah punya media cetak stabil terlebih dulu—dan biasanya punya bisnis non-cetak yang kuat. Mereka adalah Berita Satu Media Holding milik James Riady, Jawa Pos milik Dahlan Iskan, dan Kompas Gramedia milik Jakoeb Oetama.

Misalnya Jawa Pos yang membentuk konglomerat Jawa Pos News Network (JPPN). Di tangan Dahlan Iskan yang dijuluki "Raja Media," Jawa Pos fokus membangun jaringannya lewat media lokal. Menurut Tapsell, satu-satunya kegagalan koran milik Jawa Pos adalah tutupnya Indo Pos, yang berbasis di Jakarta, karena tak mampu bersaing dengan Kompas. Iskan juga mengekspansi bisnis televisi dan radio lokal pada 2002, yang sudah berjumlah 22 pada 2004.

Jawa Pos adalah contoh bisnis media yang bergantung pada pemasukan iklan dari pemerintah daerah. Ini berbeda dari Kompas, misalnya, koran paling panjang umur di Indonesia. Kompas bukan cuma untung via iklan dari pemerintah, tapi punya bentuk bisnis lain seperti Gramedia, toko buku yang mendominasi pasar penerbitan Indonesia. Dalam persaingan bisnis media online, kompas.com dan Tribunnews.com adalah anak usaha Kompas Gramedia yang jadi saingan ketat detik.com.

Pada 2008, Kompas Group meluncurkan Kompas TV, yang dapur redaksinya digabung dengan kompas.com pada 2016.

Perusahaan Media Berita Satu Holding punya Riady dimulai dari produk cetak. Berawal dari majalah Globe Asia, dan Suara Pembaruan yang dibeli pada 2006, kini mereka punya stasiun televisi dan portal berita online. Mereka juga punya televisi berbayar Big TV yang terkonvergensi dengan perusahaan LinkNet dan perusahaan internet First Media.



Sumber :
tirto.id

Konglomerasi Media di Indonesia lewat Stasiun Televisi



Konglomerasi Media di Indonesia 
lewat Stasiun Televisi 

Kata Tapsell, stasiun televisi membuat kelompok pertama mampu lebih cepat berinvestasi di platform-platform media yang sebelumnya tak mereka miliki.

CT Corp, misalnya. Perusahaan milik konglomerat yang sempat jadi Menko Perekonomian selama lima bulan di era Susilo Bambang Yudhoyono ini membeli 55 persen saham TV 7 dari Kompas pada 2006. Mengganti namanya menjadi Trans7, yang sebentar saja pada pertengahan 2007, sudah menghasilkan keuntungan. Punya dua televisi membuat Tanjung menerapkan konvergensi dapur redaksi, yang kelak diikuti perusahaan media lain. Pusat berita Trans TV dan Trans7 akhirnya disatukan pada 2018, seperti dikutip dari buku Chairul Tanjung Si Anak Singkong (2012).

Pada 2011, Tanjung membeli detik.com. Disusul Telkomvision, cable network, yang dinamai ulang jadi Transvision pada 2012. Ia terus mengembangkan pola ini dengan gerak cepat. Bekerja sama dengan CNN, pada 2013 ia membentuk CNN Indonesia yang kemudian hadir tak cuma sebagai portal berita online tapi juga stasiun televisi.

Kemarin, 8 Februari, Tanjung hadir dalam peresmian CNBC yang juga bekerja sama jadi bagian dari konglomerasi media CT Corp. Dalam wawancara spontan sesudah acara, Tanjung berkata kepada reporter Tirto bahwa semua medianya bakal berpusat di Tendean, Jakarta Selatan, yakni di Gedung Trans, termasuk CNBC.

“Pasti akan bergabung, tidak physically. Media zaman sekarang berbeda konvergensinya dari yang dulu. Semua nanti (lebih) virtual,” ia bilang.

Saat ditanya apakah ia akan membeli PT Asuransi Jiwa Bumiputera, yang bisnisnya sakit parah dan jadi pemberitaan mencolok pada akhir tahun 2016, Tanjung menjawab bahwa "ada pembicaraan" perusahaan asuransi tertua itu menawarkan, "tapi pembicaraan belum sampai ke saya." Ia juga berkata "selalu terbuka" bila ada perusahaan-perusahaan dari luar negeri menanam investasi ke CT Corp.

Konglomerat lain, Hary Tanoesoedibjo, memulai proses memantapkan sekaligus meluaskan bisnis media pada awal 2000-an. Selain punya tiga televisi (MNCTV, RCTI, dan GlobalTV), Global Mediacom memiliki 34 radio lokal yang mulai diakuisisi sejak 2005. Koran Sindo News (kini tinggal situs beritanya) dan portal berita Okezone juga masuk kelompok ini.

Dalam buku Tapsell, MNC dicatat punya satu satelit sendiri yang dibeli pada 2010, dan punya kapasitas 160 kanal. MNC Group punya 19 kanal TV berbayar, 46 stasiun TV lokal, dan 2,6 juta pelanggan lewat IndoVision, TopTV, dan OKVision. Pada 2015, ekspansi itu makin besar ketika I-News, stasiun berita 24 jam, diluncurkan pasca-MNC Group menghabiskan 250 juta dolar AS untuk membeli 40 fasilitas studio di Jakarta Pusat.

Emtek Group milik Eddy Sariaatmadja, yang didirikan pada 1983 sebagai perusahaan jasa layanan komputer, berkembang jadi konglomerat digital sejak membeli SCTV pada 2004. Ketika Global Mediacom dan CT Corp sudah punya lebih dari satu stasiun teve, Sariaatmadja membeli Indosiar dengan kesepakatan Rp1,6 triliun pada 2011. Alasannya, seperti dikutip Tapsell dari Forbes: “Kalau kami tidak melakukannya, mungkin kami akan tamat."

Selain ketiga konglomerat digital ini, ada Visi Media Asia milik Keluarga Bakrie dan Media Group milik Surya Paloh yang digolongkan Tapsell dalam kelompok pertama.

Visi Media Asia, lewat akuisisinya atas Lativi (kini bernama TVOne) pada 2007 membentuk konglomerasi dengan ANTV. Pada 2008, Bakrie Group membeli ArekTV di Surabaya dan koran Surabaya Post. Kemudian, bersama pengusaha Erick Thohir, keluarga Bakrie mengonvergensi TVOne, ANTV, dan portal berita online baru Viva.co.id.

Sementara Media Group milik Surya Paloh, meski sudah dibangun dari investasinya di sejumlah koran sejak 1988 hingga 1990, baru disebut sebagai kerajaan media setelah mendirikan Metro TV pada 2001. Pada 2014, untungnya mencapai Rp920 miliar, meski hitungannya masih sedikit bila dibandingkan TV milik Tanoesoedibjo dan Chairul Tanjung. Paloh juga masih punya koran nasional Media Indonesia, yang portal onlinenya kini terkonvergensi dengan metrotvnews.com.

Televisi, faktanya, membantu kelompok pertama bertahan karena kue iklan yang besar. Menurut riset Nielsen Indonesia tahun 2017, 80 persen dari Rp145 triliun total belanja iklan habis digunakan di televisi. TV unggul dibandingkan kanal media lain seperti cetak maupun online. Selama beberapa tahun belakangan, belanja iklan di TV memang stabil menguasai pasar, bukan cuma tahun lalu saja.

Tidak seperti yang terjadi pada belanja iklan di media cetak, menurut Tapsell, koran-koran lokal bertahan dengan mengandalkan dana dari pemerintah daerah.

“Pada beberapa media, ketergantungan akan iklan dari pemerintah hingga 75 persen. Jadi, kalau pemerintah menghentikan iklan itu, mereka kemungkinan besar akan kolaps,” ungkapnya.


Sumber :
tirto.id

Konglomerat Media Di Indonesia



8 Konglomerat Media di Indonesia via Jalur Media TV & Cetak


tirto.id - Secara spesifik saya mengutip kalimat Ross Tapsell dari buku terbarunya: “Perusahaan-perusahaan media global belum mendominasi pasar Indonesia dan bukan pendorong utama industri di Indonesia. Sebaliknya, konglomerat media nasional yang punya kuasa dan pengaruh.”

Kalimat itu tertuang pada kesimpulan Bab II dalam Media Power in Indonesia: Oligarchs, Citizens, and the Digital Revolution, yang terbit Juli tahun lalu. Buku Tapsell adalah riset doktoralnya sekaligus jadi penelitian paling komprehensif terbaru tentang media di Indonesia.

Sebetulnya, kesimpulan itu bukanlah hal baru.

Merlyna Lim lewat "Mapping Media Concentration in Indonesia" (2011) telah lebih dulu berkesimpulan: ada 13 kelompok media yang mengontrol semua saham televisi komersial nasional di Indonesia.

Profesor kelahiran Bandung yang kini tinggal di Ottawa ini menyatakan kelompok tersebut memiliki lima dari enam koran dengan sirkulasi tertinggi, empat portal berita online paling populer, mayoritas jaringan radio utama, dan sebagian "porsi signifikan" jaringan televisi lokal. Kesimpulannya: “Kepentingan korporat mengambil alih dan terus mendominasi arus lanskap media di Indonesia.”

Pada 2012, Ignatius Hariyanto dalam “Media Ownership and Its Implications for Journalists and Journalism in Indonesia” mengobservasi soal meningkatnya kepemilikan media cetak yang berputar di tangan segelintir orang. Peneliti senior di Lembaga Studi Pers dan Pembangunan ini menyebut ada sembilan kelompok yang mengontrol separuh media cetak di Indonesia. Ia juga menyebut para bos media ini memandang media sebagai pasar belaka.

Dalam rentang itu, ada banyak hal terjadi, yang akhirnya memengaruhi industri media di Indonesia: pengaruh internet lewat perkembangan media sosial makin besar, tabiat masyarakat berubah lebih digital.

Akhirnya, banyak media cetak yang tutup, media online tumbuh, akuisisi media terjadi di sana-sini, yang membuat Tapsell merangkum delapan konglomerasi media yang disebutnya "konglomerat digital".

“Perusahaan-perusahaan nasional yang portfolio bisnisnya mencakup investasi di infrastuktur komunikasi, sebagaimana investasi mereka pada televisi, radio, media cetak dan online,” tulis Tapsell menjabarkan istilah itu. Mereka inilah yang menurut Tapsell mendominasi lanskap media Indonesia mutakhir, yang semakin menjadi “alam oligopoli."

Sumber  : 

Tuesday, March 13, 2018

Dukungan Media Kepada Partai Politik

 
Dukungan Media Kepada Partai Politik Pada Tahun Politik
 
Konglomerasi media akan sangat berbahaya, jika telah berbaur dengan dunia politik. Di indonesia saat ini bahaya itu sedang mengancam, dengan saling dukung dan saling pukul antara pemilik media, karena menjadi aktor di belakang layar tahun politik 2018-2019. Masyarakat harus tahu bagaimana media tidak selalu menginformasikan berita yang berimbang. Aneka kepentingan di dalamnya kadang membuat berita yang seharusnya berisi fakta menjadi berita yang hanya opini belaka. Masyarakat harus jeli dan jangan sampai tertipu. Masih adanya proses agenda setting dan framing yang dilakukan oleh media yang disesuaikan dengan kepentingan pemilknya. Kebenaran yang tidak didapatkan masyarakat tersebut dapat menyebabkan masyarakat terhegemoni dengan menerima kebenaran versi media massa.
Kita analisa secara sederhana,
  1. Kedekatan Chaerul Tanjung dengan megawati mengindikasikan gerbong yang dibekangnya  Trans7, Trans TV dan detik.com berada pada payung bisnis yang sama yakni Trans Corp Mendukung PDIP
  2. Pernyataan Hary Tanoesoedibyo yang dukung Prabowo, memastikan Global TV, RCTI, TPI bergabung dalam Group MNC, Sindo TV, MNC TV, Koran Sindo, Trust, MNC Radio pasti dukung Perindo
  3. Abu Rizal bakrie juga dukung prabowo, TV One dan ANTV bernaung di bawah bendera Bakrie Group pasti dukung Golongan Karya
  4. SCTV dan Indosiar  yang sebahagian besar sahamnya dimiliki oleh Eddy Sariatmadja ini dukung siapa ya ? abu-abu
  5. Metro TV dan media Indonesia dengan bergabungnya  Surya Paloh (nasdem ke PDIP) Jelas akan dukung jelas NAsdem dan PDIP
  6. Kemudian ada Kelompok Jawa Pos, pemiliki koran Jawa Pos dan Rakyat Merdeka. Jaringannya di daerah-daerah juga cukup kuat, dengan merek Radar. Kelompok media ini didirikan dan dimiliki oleh PT Grafiti Pers, yang juga pendiri Tempo, setelah diambil-alih dari pemilik sebelumnya.Kelompok Jawa Pos yang dikelola dan dibesarkan oleh Dahlan Iskan, kini belum tahu menentukan ke pada siapa
Tentu saja kita harus selalu berhati-hati, karena media juga punya kepentingan, tidak selalu netral seperti yang kita bayangkan.  Pesannya selalu gunakan logika dan hati nurani, jangan tergesa-gesa menyimpulkan pemberitaan suatu media, tenang dan cari referensi lain. Bisa saja benar atau malah menyesatkan. 
 

Konglomerasi Media Rupert Murdoch


Konglomerasi Media Rupert Murdoch


Konglomerasi Media adalah penggabungan perusahaan media menjadi perusahaan yang lebih besar yang membawahi banyak media. Konglomerasi ini dilakukan dengan melakukan korporasi dengan perusahaan media lain yang dianggap mempunyai visi yang  sama. Pembentukan konglomerasi ini dengan cara kepemilikan saham, joint venture / merger, atau pendirian kartel komunikasi dalam skala besar baik intergrasi vertikal, intergasi horisontal maupun kepemilikan silang. Akibatnya kepemilikan media yang berpusat pada segelintir orang.

Bicaramengenai konglomerasi media, di era gobalisasi sekarang,kurang pas kalo kita belum kenal Rupert Murdoch salah satu penguasa media terbesar dan memiliki andil yang kuat untuk dunia terutama pada medi televisi,dia merupakan,pemilik media yang paling berpengaruh saat ini yaitu;news corporation
Murdoch merupakan pribadi yang optimis dan ambisius dalam menjalakan tujuanya,dia tidak pernah mau kalah berasaing dalam menjalankan bisnisnya.itu patut kita contoh untuk mengaplikasikanya dalam mencapai suatu tujuan yang di inginkan.Rupert Murdoch lahir di Melbourne, 11 Maret 1931 australia,dengan nama lengkap Keith Rupert Murdoch. Ia merupakan anak dari pasangan Sir Keith Murdoch dan Elisabeth Greene, kedua orangtuanya juga dilahirkan di Melbourne. Mereka menikah pada tahun 1928, Pasangan ini memiliki 4 orang anak,3 orang putri an 1 orang putra. Rupert Murdoch merupakan anak lelaki satu-satunya dari pasangan tersebut. Rupert Murdoch telah menikah sebanyak 3 kali, namun semua pernikahan itu telah berujung pada perceraian. Istrinya yang terakhir adalah adalah Wendi Deng yang berasal dari China. Mereka bercerai setelah hidup dalam perkawinan selama 14 tahun. Murdoch menikahi Wendi yang 38 tahun lebih muda pada tahun 1999 setelah menceraikan istri keduanya, Anna, yang dinikahinya selama 32 tahun.
 Walaupun Terkenal dan sangat berpengaruh bagi dunia,banyak yang membenci Rupert murdoch Dikarenakan,Ada banyak bukti bahwa ideologi Rupert Murdoch adalah profit dan pertumbuhan finansial saja,Banyak cerita tentang bagaimana Murdoch menolak suatu isi berita atau mendukung isi berita demi keuntungannya sendiri. Ini terbukti dalam sebuah pidato ia mengatakan ;teknologi komunikasi yang maju akan mengancam rezim totalitarian (pernyataan ini kurang lebih terbukti dengan revolusi mesir 2011 yang dimulai di facebook), dia kaget ketika pernyataannya tersebut membuat pemerintah Cina berang, padahal dia tidak bermaksud menyinggung Cina. Cina lalu mengancam akan memutuskan transmisi StarTV ke Cina. Agar profit StarTV tak anjlok, Murdoch segera memerintahkan perusahaan penerbitnya untuk menerbitkan buku karangan  putri Deng Xiaoping. Dia juga membatalkan penerbitan buku yang dianggap akan menyinggung pemerintah Cina. Setelah mengetahui bahwa pemerintah Cina tidak senang dengan berita independen yang dilaporkan melalui BBC World Service,Murdoch segera menghilangkan BBC dari acara StarTV untuk Cina. Hasilnya? Beberapa franchise media Murdoch di Cina berhasil diselamatkan.
Dan di tahun 2005,Murdoch memasuki bisnis online dengan mengakusisi My-Space.com- sebuah situs jaringan dengan harga 587 juta dolar.Pada saat yang sama ia juga mengakusisi situs internet lokal maupun internasional. Lewat tangan dinginnya, setahun setelah, My-Space di akuisisi asetnya meningkat lima kali lipat menjadi tiga miliar dolar (Ishadi, 2005, Tempo, 25 September 2005). Saat ini My-Space merupakan salah sate situs paling populer di Amerika Serikat, selain Yahoo!, Google, MSN dan Ebay. Langkah Murdoch tidak salah karena My-Space yang didirikan oleh dua anak muda Tom Andersen dan Christ De Wolfe tiga tahun lalu merupakan situs yang sedang melejit,di karenakan banyak musisi muda yang mengekspresikan dan mempromosikan musiknya pada situs myspace ini,dengan pengaplikasian yang mudah dan murah.
Keluarga Murdoch menguasai 30 persen saham News Corp senilai $12 miliar pada 2003. Dinasti Murdoch dimulai dengan koran Australia yang didirikan oleh ayah Murdoch yang mewariskan bisnisnya kepada putranya pada tahun 1925. Murdoch mulai mengakuisisi beberapa koran Inggris dan kemudian beberapa koran Amerika. Dia membeli perusahaan penerbit Harper & Row, yang kemudian disesuaikan dengan kepentingan penerbitannya di Inggris. Agar bisa memiliki stasiun TV di AS, dia menjadi warganegara AS. Pada tahun 1980-an, Murdoch mendirikan Fox sebagai jaringan televisi AS yang keempat. Dia lalu menguasai studio film dan televisi 20th Century Fox. Dia membeli perusahaan induk TV Guide. Dia juga mendirikan televisi satelit Sky dan StarTV di Inggris dan Asia. Saat ini lebih dari 3 miliar orang menonton siaran StarTV yang menampilkan program acara yang dibuat atau dibeli oleh perusahaan Murdoch. Pada 2003 dia menguasai DirectTV, televisi satelit utama di AS.
Konglomerat media Rupert Murdoch telah menutup salah satu koran miliknya, News of the World pasca skandal penyadapan telepon selebritis, keluarga kerajaan Inggris, keluarga korban perang dan ponsel milik korban pembunuhan.
Penyelidikan masih berlangsung, selain juga penyelidikan atas dugaan bahwa tabloid itu menyuap polisi untuk mendapat informasi.
Tetapi kerajaan media News Corporation milik Rupert Murdoch masih memiliki jaringan global, dengan pendapatan lebih dari US$31 miliar (Rp264,9 triliun) per tahun.
Kenyataan ini dan skandal penyadapan telepon membuat banyak pihak di Inggris khawatir akan pengaruh Rupert Murdoch dalam politik negeri itu lewat media miliknya.
Partai-partai utama Inggris yang berseberangan bersatu untuk mengeluarkan mosi yang mendesak Rupert Murdoch dan News Corporation untuk menghentikan upayanya mengakuisisi penuh perusahaan televisi satelit InggrisBSkyB, sampai penyelidikan atas skandal penyadapan telepon media milik Murdoch selesai.
Berikut sebagian media milik Rupert Murdoch di seluruh dunia.
Australia dan Selandia Baru
News Corp memiliki 44% saham Sky Network di Australia - negara kelahiran Murdoch - Selandia Baru, dan sedang dalam proses penawaran untuk membeli televisi internasional milik pemerintah Australia yang sekarang dioperasikan oleh ABC.
News Corp juga pemilik 150 surat kabar lokal dan nasional di Australia, termasuk the Australian, the Telegraph dan the Herald Sun. Selain itu, News Corp memiliki 50% saham Premier Media Group, yang mengoerasikan sembilan stasiun televisi Fox TV di Australia.
Asia
Di bawah nama Star, News Corp memiliki sembilan stasiun televisi kabel di seluruh Asia dan memegang saham besar di delapan stasiun televisi lainnya.
Star juga memiliki 20% saham saluran televisi Tata Sky di India.
News Corp adalah pemilik saham mayoritas surat kabar Post Courier di Papua Nugini dan surat kabar Wall Street Journal Asia.
Eropa
Hak atas foto AFP Image caption Demonstran bertopeng Murdoch di London menggambarkan PM Cameron sebagai bonekanya
News Corp memiliki 39% saham perusahaan televisi satelit BSkyB tetapi Murdoch sedang berupaya membeli seluruh saham perusahaan itu.
Tabloid News of the World merupakan surat kabar mingguan terbsar di Inggris dengan sirkulasi tiga juta eksemplar per minggu. Setelah ditutup, Murdoch masih memiliki tiga surat kabar nasional Inggris, the Times, Sunday Times dan the Sun.
Di Italia, News Corp memiliki televisi Sky Italia dan di Jerman perusahaan itu memiliki 45% saham Sky Deutschland.
Afrika dan Timur Tengah
News Corp memegang 9% saham di jaringan Rotana, yang mencakup berbagai stasiun televisi di Timur Tengah dan Afrika Utara.
Amerika Latin
News Corp memiliki saham besar di tiga televisi di kawasan Amerika Latin - LAPTV, Telecine dan Fox Telecolombia.
Amerika Serikat dan Kanada
News Corp memiliki sejumlah surat kabar besar Amerika, termasuk Wall Street Journal, the New York Post dan Community Newspaper Group dan sejumlah koran bisnis termasuk Barons dan MarketWatch.
Perusahaan itu juga memiliki tujuh perusahaan informasi berita.
Hak atas foto Getty Image caption News Corp menguasai beragam media di seluruh dunia
News Corp memiliki saham besar dalam industri televisi Amerika lewat jaringan televisi Fox dan National Geographic.
Perusahaan itu memiliki 27 stasiun lokal televisi Fox dan Murdoch pernah menyebut langkah televisi Fox News miliknya "tidak bisa dihentikan".
Sepuluh perusahaan film milik News Corp - termasuk 20th Century Fox dan Fox Searchlight Pictures - juga bermarkas di Amerika.
News Corp juga memiliki sepertiga saham layanan sewa film online Hulu.
Internasional
News Corp adalah pemilik perusahaan penerbitan HarperCollins di Amerika, Kanada, Eropa, Selandia Baru dan Australia, dan pemilik sebagian saham HarperCollins Asia.
Selain itu, News Corp juga pemilik penuh atau pemilik sebagian saham beragam perusahaan pemasaran dan media digital. Murdoch baru-baru ini menjual sebagian besar sahamnya di jejaring sosial MySpace.
Jaringan televisi Fox dan National Geographic juga memiliki jangkauan global lewat beragam saluran televisi berita dan hiburan.



  Inilah beberapa Media Massa yang dikuasai oleh Si Raja Media Ruppert Murdoch.
  1. News Limited (Australia)
  2. The Sun (inggris)
  3. The News World (Inggris)
  4. Sky Television (Inggris)
  5. San Antonio Express News (Amerika)
  6. Supermarket Star (Amerika)
  7. New York Post (Amerika)
  8. 20th Century Fox (Amerika)
  9. Metro Media (Amerika)
  10. Star TV (Asia)
  11. My Space (Amerika)



Tuesday, February 6, 2018

Hiperrealita Media


Hiperrealitas Media

Jean Baudrilland, seorang peneliti asal Prancis menyakini bahwa tanda-tanda memang terpisah dari objek yang mereka tandai dan bahwa media telah menggerakkan proses ini sehingga titik di mana tidak ada yang nyata. (littlejohn, 408:2009).

Menurut baudrilland media telah mengaburkan batas-batas antara sesuatu yang nyata dengan sesuatu yang maya. Melalui tanda-tanda yang di ciptakan manusia sendiri ternyata manusia pada akhirnya merasa bahwa tanda-tanda yang mereka ciptakan itu sesuatu yang benar dan nyata.
Baudrillard memperkenalkan teori simulasi. Di mana peristiwa yang tampil tidak mempunyai asal-usul yang jelas, tidak merujuk pada realitas yang sudah ada, tidak mempunyai sumber otoritas yang diketahui. Konsekuensinya, kata Baudrillard, kita hidup dalam apa yang disebutnya hiperrealitas (hyper-reality). Segala sesuatu merupakan tiruan, tepatnya tiruan dari tiruan, dan yang palsu tampaknya lebih nyata dari kenyataannya (Sobur, 2006).

Sebuah iklan menampilkan seorang pria lemah yang kemudian menenggak sebutir pil multivitamin, seketika pria tersebut memiliki energi yang luar biasa, mampu mengerek sebuah truk, tentu hanya ‘mengada-ada’. Karena, mana mungkin hanya karena sebutir pil seseorang dapat berubah kuat luar biasa. Padahal iklan tersebut hanya ingin menyampaikan pesan produk sebagai multivitamin yang memberi asupan energi tambahan untuk beraktiv

Media Sosial
Keberadaan media-media sosial, ternyata menciptakan fenomena baru yang menarik untuk dikaji lebih dalam. Fenomena yang paling jelas adalah hiperrealitas. Jean Baudrillard, seorang sosiologis ternama dari Perancis, dalam bukunya Simulacra and Simulation”, menyebutkan bahwa hiperralitas adalah sebuah konsep dimana realitas yang dalam konstruksinya tidak bisa dilepaskan dari produksi dan permainan tanda-tanda yang melampaui realitas aslinya (hyper-sign)Hiperrealitas adalah suatu keadaan di mana kepalsuan bersatu dengan keaslian, tercampur-baur. Masa lalu berbaur dengan masa kini, fakta bersimpang siur dengan rekayasa, tanda melebur dengan realitas, dusta bersenyawa dengan kebenaran. Hiperrealitas menghadirkan model-model kenyataan sebagai sebuah simulasi (tiruan yang mirip dengan aslinya). Simulasi itu menciptakan simulacrum (jamak: simulacra), didefinisikan sebagai image atau representation. Hiperrealitas membuat orang akhirnya terjebak pada simulacra, dan bukan pada sesuatu yang nyata.

Nicolas Carr menyebut hal ini sebagai citra kamuflase. Dalam buku The Shallows: What the Internet Is Doing to Our Brains, Carr mengejutkan publik, karena mengeluarkan teori bahwa kehidupan digital (baca internet) telah mendangkalkan cara berfikir manusia. Salah satu mengapa pikiran menjadi dangkal, adalah karena citra-citra kamuflase tersebut. Orang terbiasa hidup dalam alam yang bukan realitas, tetapi hiperrealitas. Terlebih di media sosial. Orang bisa mencitrakan dirinya sesuka hati, sehingga citra yang muncul benar-benar positif. Sebagai contoh, saya pernah “tertipu” dengan seorang pemilik akun sosial media yang terlihat begitu imut dan cantik, tetapi setelah bertemu, ternyata (maaf) penampilannya biasa-biasa saja.


Media Massa
Cara kita melihat dunia saat ini, diperngaruhi oleh media (televisi, Internet, Koran, Majalah, Radio dll). Kita mempercayai semua yang ditayangkan dalam berita di televisi, Berita di koran, Berita online di media online sebagai kenyataan dan realita yang terjadi sebenarnya.

 Kita tahu ada ISIS di timur tengah, ada perang di Israel, kelaparan di Asmat Papua, kasus pembegalan di mana-mana, Guru menganiaya muridnya, Murid membunuh gurunya, Mudid menantang kepala sekolahnya. Sebenarnya secara tidak langsung itu kita belajar cara bagaimana memandang dunia. 

Apakah semua berita yang di suguhkan oleh media tersebut adalah realita dan fakta ? ya itu fakta tapi bukan realita sebenarnya itu adalah realita media, Fakta yang telah dipilah, dipilih, di sunting dan setelah benar2 dibumbui baru siarkan kepada khalayak. Apakah itu benar ? ya kebenaran yang menguntungkan mereka  (media tersebut lebih Khusus pemilik media yang bersangkutan) 
Kenyataan
Jika Anda saat ini menjadi sangat takut untuk keluar rumah pada malam hari, takut di begal jika sendirian dia jalan raya, takut anak anda akan di pukuli, berarti media telah sukses untuk mengubah arah berfikir anda. Dan menganggap realita media adalah realita yang benar.
Jika anak Anda melakukan, bersikap dan bertingkah lalu sesuai dengan  tayangan sinetron atau film anak yang anak Anda tonton setiap hari, berarti anak Anda telah terjebak dalam realita media.
Jika Anda merasa menjadi penjelajah dan menjadi  orang yang bebas dengan merokok Djarum Super, berarti Anda sudah terjebak dalam hiperrealitas.
 
Jika Anda merasa menjadi sekuat Macan setelah makan Biskuat Berarti Anda telah terjebak pula dalam hiperrealita
Jika Anda tertipu dengan wajah cantik yang ada pada profile Facebook kenalan anda, berarti Anda juga terjebak

Kita seringkali masih berfikir bahwa yang ditayangkan media itu benar dan nyata, terutama berita. Tetapi walaupun kita tahu bahwa iklan sering kali melebih lebihkan sesuatu, Film menayangkan sebuat sesuatu yang tidak nyata, bahkan kita tahu bahwa film kartun itu sesuatu benar-benar tidak nyata, tetapi anehnya seringkali kita percaya dan terjebak dalam realita palsu tersebut. 

Terjebak
Tenyata tanpa kita sadari kita terjebak dalam realita-realita palsu yang sengaja diciptakan untuk mengurung kita dalam dunia yang semu. Padahal manusia sendiri yang menciptakan kepalsuan itu. Tetapi justru kita akan terjebak dalam jebakan kita dalam dunia yang disebut hiperrealitas. Berfikir dan jangan mudah percaya dengan media yang kita baca, Jangan terjebak dalam media dalam satu konglomerasi