Kondisi Pers
Indonesia Sejak Reformasi Hingga Sekarang
1.
Apakah Kondisi politik mempengaruhi pers ?
Kondisi politik di suatu negara akan sangat
mempengaruhi keadaan pers di negara tersebut. Pengaruh politik akan sangat
besar terutama mengenai sistem pers yang dianut dan seberapa besar kadar kebebasan pers yang ada.
a.
Pengaruh terhadap Sistem politik yang di anut.
Klasisikasi
sistem pers dunia yang disajikan dalam buku Four Theories of the Press
(Siebert, Perterson, & Schramm, 1956). Para pengarang membagi pers dunia ke
dalam empat kategori: otoritarian, libertarian, tanggung jawab sosial dan
totalitarian Soviet. (Heru Puji winarso, 122: 2005). Pembagian itu berdasarkan
pengamatan mereka dengan menggunakan metode-metode ilmu sosial. Tesis buku ini,
pers selalu mengambil bentuk dan warna struktur-struktur sosial politik di mana
pers itu beroperasi. Untuk melihat perbedaan dan perspektif di mana pers
berfungsi, harus dilihat asumsi-asumsi dasar yang dimiliki masyarakat itu
mengenai: hakikat manusia, hakikat masyarakat dan negara, hubungan antara
manusia dan negara, hakikat pengetahuan dan kebenaran. Pada akhirnya, perbedaan
antara system pers merupakan perbedaan filsafat yang mendasarinya.
Menurut
Dominick, sistim media disuatu negara berkaitan dengan sistim politik dinegara
tersebut. Sistim politik menentukan kepastian hubungan yang nyata antara media
dan pemerintah (dalam Elvinaro Ardianto,2004:154). Pembagian pers dalam dunia
ini juga didasari pada keadaan politik di suatu negara. Ini dapat dilihat dalam
perjalan pers di dunia. Sistem otoritarian berdasarkan sistem keadaan negara
yang mempunyai kekuatan mutlak, pengawasan yang ketat, dan ancaman pembredelan
bagi media yang melanggar. Liberatarian yang mengusung nilai-nilai kebebasan,
tetapi ternyata akhirnya juga ditinggalkan karena dinilai hanya mengusung
kepentingan kapitalisme dibanding dengan nilai-nilai edukasi. Berkembang teori
tanggung jawab sosial, merupakan jawaban bagi suatu pers yang bertanggung jawab
tetapi juga mempunyai kepedulian dengan terhadap masyarakat sebagai nilai
tanggung jawab sosial. Totalitarian soviet merupakan wujud dari kekuasan yang
absolud kepada media dan tujuan media adalah memberikan sumbangan terhadap
suksesnya dan berlangsungnya sistem negara soviet. Melihat perjalanan pers di
dunia tampak jelas bahwa sistem politik, akan sangat berpengaruh dalam sistem
pers yang dianut.
b.
Keadaan politik juga akan mempengaruhi kadar.
Keadaan politik juga akan sangat mempengaruhi kadar
dalam kebebasan pers yang ada. Konsep kebebasan pers sangat tergantung pada
sistim politik di mana pers itu berada. Dalam negara komunis atau otoriter,
kebebasan pers dikembangkan untuk membentuk opini pers yang mendukung penguasa.
Sedangkan dalam negara liberal atau demokrasi, kebebasan pers pada prinsipnya
diarahkan untuk menuju masyarakat yang sehat, bebas berpendapat dan
berdemokrasi.
Pendekatan filosofis barangkali bisa dipergunakan
untuk melihat hubungan antara kebebasan dan manusia sebagai individu. John
Stuart Mill ( dalam Jakob Oetama : 1985 ) berpendapat, biarlah orang seorang
mengembangkan kebebasannya yang absolut. Dengan menggunakan proses kebebasan
itu pikirannya yang rasional akhirnya akan menemukan kebenaran. Singkat kata,
apabila dipersoalkan kebebasan pers, maka inti masalahnya adalah hubungan pers
dan pemerintah. Kekuasaan dan relasi-relasinya menentukan ada tidaknya kadar
kebebasan tersebut. Pengertian klasik ini tetap berlaku. Menurut Prof. Oemar
Seno Adji SH, persoalan kebebasan pers terlalu disoroti dari segi hukum saja.
Sedangkan dalam prakteknya, terutama di negara-negara sedang berkembang seperti
Indonesia, persoalan kebebasan pers lebih merupakan masalah politik. Artinya
masalah hukum yang diterapkan dan didalam penerapan itu politik ikut berperan
dan berpengaruh terhadap hubungan kekuasaan dan kepentingan ( dalam Jakob
Oetama, 1989;73 )
2.
Apakah ada Objektivitas Media?
Menurut Westerstahl (1983),
mengukur objektivitas media harus memiliki dua kriteria. Yaitu factuality dan
Impartiality. Faktualitas berarti berita ditulis berdasarkan fakta. Jadi
berita bukanlah sebuah show atau rekayasa. Terdiri dari tiga hal,
truth, informatif dan relevan. Truth disini maknanya bahwa nilai kebenaran
komunikasi bergantung kepada nara sumber yang terpercaya dan dapat diandalkan.
Harus sesuai dengan peristiwa nyata dan berguna di berbagai aplikasi atau
lapisan. Tentu tidak kalah penting juga prinsip-prinsip kebebasan, kesetaraan,
atau keragaman insane media sendiri.
Kalau
informatif bagaimana suatu informasi yang disampaikan media tujuannya adalah
untuk mengurangi “ketidakpastian” dalam masyarakat, sehingga sedikit banyak
masyarakat bisa paham tentang apa yang disampaikan media, apa yang terjadi di
sekitar, dan justru dengan adanya informasi tersebut tidak menambah bingung
masyarakat. Sementara relevan adalah bagaimana sebuah informasi itu
bermanfaat untuk masyarakat. Relevan tidak untuk disajikan ke publik. Apa
dampak sosial serta manfaatnya.
Kedua, aspek impartiality.
Yaitu sebuah informasi atau berita yang tidak mengandung “keberpihakan”
pada satu pihak. Ia nya terbagi dua, balance dan netrality.
Balance dipahami sebuah berita yang disajikan harus berimbang. Dalam satu topik
atau peristiwa tidak boleh dilihat dari satu sudut pandang saja. Ada beberapa
narasumber baik yang pro maupun kontra yang diwawancarai. Kalau netralitas
maksudnya sebuah media itu harus netral, tidak boleh menjadi sumpalan kelompok
tertentu.
Dua aspek itu
menjadi ukuran media tersebut diketegorikan objektif atau sebaliknya. Selain
itu, objektivitas berita juga membutuhkan prinsip kesamaan perlakuan antara
‘ekualitas’, yaitu sikap adil dan non diskriminatif terhadap narasumber dan
objek berita. Dalam hubungan dengan komunikasi dan kekuasaan politik, kesamaan
perlakuan menuntut tidak boleh adanya perlakuan khusus kepada pemegang
kekuasaan (Morissan: 2009). http://nurudin.multiply.com/journal/item/32/Media_Massa_dan_Tantangan_Obyektivita
Melihat dua
kriteria yang ada di atas, tentunya kita dapat melihat bagaimana objektivitas
media saat ini. Saat ini banyak pelanggaran yang dilakukan oleh media. Mungkin
ini terjadi karena media mempunyai agenda yang tersendiri. Media mempunyai
ideologi yang berbeda antara satu media dengan media yang lain. Tetapi
seyogyanya setiap media harus tetap menjunjung nilai-nilai obyektivitas yang
ada.
Hal ini
mungkin terjadi karena saat ini tidak ada regulasi yang tegas tentang ini,
dewan pers yang bertugas mengawasai jalannya pers seolah hanya diam dan tidak
bertindak dengan tegas mengenai pelanggaran yang terjadi.
Tidak ada
Regulasi yang jelas mengenai kepemilikan media pun menyebakna adanya patologi/penyakit sosial seperti yang
diungkapkan Vincent Moscow dalam buku “The Political
Economy of Communication” (1998). Lagi-lagi kapitalis bertanggung jawab
dalam atas homogenisasi dan politisasi media.
Masing-masing
media mempunyai idelologi yang berbeda. Ideologi ini akan dijunjung tinggi oleh
semua orang yang bekerja dalam media tersebut. padahal idelogi yang dianut ini
sangat tergantung pada ideologi yang dianut oleh pemilik modal tersebut. Pada
akhirnya apa yang diberitakan oleh media merupakan refleksi dari ideologi yang
di anut oleh pemilik modal. Apakah pemilik modal hanya menginginkan keuntungan
yang besar? Atau keterpihakan kepada suatu politik tertentu ? tentu saja akan
sangat mempengaruhi apa yang tertuang dalam media tersebut.
Nilai
objektifivitas media saat ini mungkin masih ada dalam media, tetapi kadarnya
berbeda dalam setiap media. Ada yang masih memegang teguh nilai objektivitas,
misal majalah tempo. Tetapi juga banyak media yang telah mengabaikan nilai
nilai objektivitas dan hanya mengejar rating dan penjualan yang beroriantasi
keuntungan atau masih banyak juga media yang menguntungkan satu kekuatan
politik saja.
3.
Bagaimana dengan posisi pemerintah? masih diperlukan atau tidak?
Dalam tonggak perjalanan sejarah pers nasional (di
Indonesia) tercatat, sejak Era Reformasi (1998), media massa memiliki kebebasan
yang luas, terutama dalam melakukan kontrol dan koreksi terhadap jalannya
pemerintahan (eksekutif). Sejalan dengan itu, penerbitan pers tidak perlu lagi
memiliki izin (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers-SIUPP), dan tidak lagi dikenal
adanya sensor dan pembredelan .Hal ini sesuai dengan ketentuan dan jiwa dari
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Pers nasional memiliki
kebebasan meskipun seringkali terasa bahwa suratkabar, tabloid dan majalah yang
menyalahgunakan kebebasan itu (Anwar Arifin,2003:22).
Kebebasan pers di Indonesia saat ini memang patut kita
banggakan, tetapi kebanggan itu juga jangan membawa kita ke kebasan yang
terlalu bebas.
Bebas tanpa batas adalah anarki, anarki berlawanan
dengan tata tertib, padahal masyarakat yang paling sederhanapun punya tata
tertib. Menurut tokoh pers Wonohito, kemerdekaan pers (baca: kebebasan pers)
bukanlah pengertian obsolut, melainkan bersifat relatif. Wajah pers senantiasa
dipengaruhi oleh ruang dan waktu.
Sementara itu, Andi Muis menilai masalah pokok system
pers Indonesia adalah
masalah keseimbangan antara kebebasan dan pembatasannya atau tanggungjawabnya (1999:75). Bagaimana keseimbangan itu dapat terjadi? Daniel Dhakidae menilai, tanggungjawab adalah garis batas kebebasan. Dan yang sebaliknya tidak kurang benarnya yakni kebebasan adalah garis batas tanggungjawab. Tanpa kebebasan tidak mungkin menuntut tanggungjawab, dan tanpa tanggungjawab tidak mungkin menuntut kebebasan. Keduanya tidak bisa dipisahkan (dalam Akhmadi,1997:29).
masalah keseimbangan antara kebebasan dan pembatasannya atau tanggungjawabnya (1999:75). Bagaimana keseimbangan itu dapat terjadi? Daniel Dhakidae menilai, tanggungjawab adalah garis batas kebebasan. Dan yang sebaliknya tidak kurang benarnya yakni kebebasan adalah garis batas tanggungjawab. Tanpa kebebasan tidak mungkin menuntut tanggungjawab, dan tanpa tanggungjawab tidak mungkin menuntut kebebasan. Keduanya tidak bisa dipisahkan (dalam Akhmadi,1997:29).
Peran pemerintah dalam dunia pers saat ini diwaliki
oleh dewan pers. Dewan pers mempunyai fungsi mengawasi jika ada pers yang
melanggar ketentuan perundang undang dan melakukan pembinaan bagi para insan
pers di indonesia.
Menurut penulis peran pemerintah saat ini harus
membuat regulasi terhadap kepemilikan media di indonesia. Kebebasan yang
terlalu mudah dalam kepemilikan media telah membuat adanya penyakit sosial
yaitu homogenisasi berita dan politisasi media.
Kepemilikan media pada satu orang telah membuat opini
yang berkembang dalam masyarakat mudah sekali di mainkan oleh media yang
dimiliki oleh satu orang pemilik modal.
Pemerintah lewat komisi menyiaran masih sangat
diperlukan perannya. Kekuarang tegasan KPI membuat tayangan ditelevisi banyak
berisi nilai-nilai yang tidak pantas disiarkan. Pornografi, pornoaksi, mistik,
dan tidak kekerasan masih kerap ditemuakan dalam berbagai tayangan. Menurut
penulis peran pemerintah masih sangat penting, tetapi sesuai porsinya
masing-masing.
4.
Menurut
Anda sistem pers macam apa yg paling cocok?
masihkah relevan dengan
adanya sistem pers “Pancasila”?
a. Sistem
pers yang paling cocok
Klasisikasi sistem pers dunia yang disajikan dalam
buku Four Theories of the Press (Siebert, Perterson, & Schramm, 1956). Para
pengarang membagi pers dunia ke dalam empat kategori: otoritarian, libertarian,
tanggung jawab sosial dan totalitarian Soviet. (Heru Puji winarso, 122: 2005).
Seperti dibahas di awal, bahwa sistem pers yang dianut
dalam negara akan berbeda di setiap negara tergantung dengan keadaan politik di
negara tersebut. menurut penulis sitem pers yang paling cocok di gunakan di
indonesia saat ini adalah sitem tanggung jawab sosial, di mana media mempunyai
kebebasan pers tetapi masih menjunjung tinggi nilai tanggung jawab sosial.
b. Sistem
pers Pancasila
Pada masa Orde Baru, pers Indonesia dibingkai sebagai
pers pembangunan atau pers Pancasila dengan mengembangkan mekanisme interaksi
positif antara pers, pemerintah dan masyarakat dan konsep pers pembangunan yang
dikembangkan berdasarkan model komunikasi pendukung Model ini mulai
diperkenalkan sejak sidang ke 25 Dewan Pers, 7-8 Desember 1984 dan disahkan dengan
sebutan Pers Pancasila. Pers Pancasila
adalah pers yang orientasi, sikap dan perilakunya didasari oleh nilai-nilai
ideology Pancasila dan bertanggungjawab untuk menerapkan Pancasila dan UUD 1945
dalam melakukan peliputan terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat
(Atmadi,1982:12). Menurut Selo Soemardjan (1987), dalam melaksanakan fungsinya
Pers Pancasila harus memilih dan memilah sumber-sumber berita dan melaporkan
berita berdasarkan ideology Pancasila dan menyajikan berita sedemikian rupa
sehingga efeknya pada masyarakat tetap harmonis, seimbang dan sesuai dengan
ideology tersebut. Namun dalam praktiknya, konsep pers pembangunan atau pers
Pancasila telah menjadi sistem pers otoritarian yang digunakan sebagai sarana
propaganda bagi pembangunan ekonomi nasional.Dan kebebasan pers yang inheren
dalam suatu sistem pers, terbukti tidak berjalan. Proses kebebasan pers yang
ada hanya tunduk pada penguasa. Dengan demikian sistem pers di Indonesia sejak
zaman penjajahan sampai Indonesia merdeka hingga penguasa Soeharto, menganut
system otoritarian. Selama pemerintahan Orde Baru label system pers bernama
system pers Pancasila atau pers Pembangunan. Praktiknya adalah pers bebas dan
bertanggungjawab, t etapi bertanggungjawab kepada penguasa. Manakala perilaku
pers tidak berkenan di mata penguasa, maka ancamannya pembredelan atau
pembatalan SIUPP. Ini merupakan salah satu ciri pers otoritarian. Setelah
merdeka, pada tahun 1950-an, pihak militer mengharuskan pers mempunyai surat
izin terbit (SIT). Dan ini berarti suatu kemunduran, dalam arti pers tunduk
pada kemauan penguasa. Pers pada masa Orde Baru banyak menerima tekanan dari
rezim yang berkuasa. Dan bagaimana praktik kebebasan pers pada era Reformasi
dewasa ini, setelah pada awal Reformasi, gerbang kebebasan pers telah terkuak
lebar, dan kini telah dinikmati praktik kebebasan pers tersebut.
Awalnya pers pancasila seakan sebagai cerminan sebagai
kehidupan pers yang berpegang kepada tatanan yang terkandung dalam pancasila.
Tetapi pada prakteknya pers pancasila hanya sebagai topeng dari pengekangan
kekebabasa pers. Pers penacasila hanya sebagai kekuatan penguasan saat itu orde
baru untuk mengendalikan pers. Upaya itu dilakukan karena dinilai pers
mempunyai peranan yang penting dan berbahaya karena dapat mempengaruhi jalannya
pemerintahan saat itu. Pers pancasila bertanggung jawab kepada penguasa tidak
kepada rakyat. http://ugilands.blogspot.com/2011/01/praktik-kebebasan-pers-pada-era.html
Penulis menilai pers semacam ini tampaknya tidak
relevan dengan semangat kebebasan pers yang terkandung dalam Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Sekarang ini yang kita butuhkan adalah
kebebasan pers yang bertanggung jawab tidak lagi kebebasan pers yang semu.
Daftar
Pustaka
Heru, Puji Winarso, 2005. Sosilogi Komunikasi. Jakarta : Prestasi Pustaka
0 comments:
Post a Comment