TEORI KULTIVASI (GEORGE GERBNER)
TEORI KULTIVASI (GEORGE GERBNER)Teori Kultivasi merupakan bagian dari teori komunikasi yang membahas efek dari
komunikasi massa, teori ini dikembangkan oleh George Gerbner. Teori Kultivasi
ini muncul untuk meyakinkan orang bahwa efek media massa lebih bersifat
kumulatif dan lebih berdampak pada tataran social budaya dari pada individual.
Teori Kultivasi ini juga memberikan gambaran
bahwa efek media massa tidak secara langsung menerpa khalayak. definisi:
Menurut teori kultivasi ini, televisi menjadi media atau alat utama dimana para
penonton televisi belajar tentang masyarakat dan kultur dilingkungannya. Dengan
kata lain, persepsi apa yang terbangun di benak pemirsa tentang masyarakat dan
budaya sangat ditentukan oleh televisi. Ini artinya, melalui kontak pemirsa
dengan televisi, mereka belajar tentang dunia, orang-orangnya, nilai (nilai
sosial) serta adat dan tradisi nya.
Menurut Miller (2005: 282), teorikultivasi tidak dikembangkan untuk mempelajari "efek yang ditargetkan dan
spesifik (misalnya, bahwa menonton Superman akan mengarahkan anak-anak untuk
mencoba terbang dengan melompat keluar jendela) melainkan dalam hal akumulasi
dan dampak televisi secara menyeluruh, yaitu bagaimana masyarakat melihat dunia
dimana mereka hidup ". Oleh karena itu disebut 'Analisis Budaya'. Gerbner,
Gross, Morgan, & Signorielli (1986) berpendapat bahwa meskipun agama atau
pendidikan sebelumnya telah berpengaruh besar pada tren sosial dan adat
istiadat, namun sekarang ini, televisilah yang merupakan sumber gambaran yang
paling luas dan paling berpengaruh dalam hidup. sehingga televisi merupakan
gambaran dari lingkungan umum kehidupan masyarakat.
Teori Kultivasi dalam bentuk yang
paling dasar menunjukkan paparan bahwa sesungguhnya televisi dari waktu ke
waktu, secara halus "memupuk" persepsi pemirsa tentang kehidupan
realitas. Teori ini dapat memiliki dampak pada pemirsa TV, dan dampak tersebut
akan berdampak pula pada seluruh budaya kita. Gerbner dan Gross (1976)
mengatakan "televisi adalah media sosialisasi kebanyakan orang menjadi
peran standar dan perilaku. Fungsinya adalah satu, enkulturasi". Televisi
memang sudah sangat melekat dikehidupan kita sehari-hari. Dari televisilah kita
belajar tentang kehidupan dan budaya.
Tontonan seperti acara sinetron
maupun reality show yang sering menunjukkan kekerasan, perselingkuhan,
kriminal, dan lain sebagainya akan dianggap sebagai gambaran bahwa itulah yang
sering terjadi di kehidupan realita. Padahal belum tentu semua yang terdapat
pada tayangan itu adalah kejadian-kejadian yang sering terjadi dikehidupan
kita. Karena jika ditelaah, semua yang terdapat pada reality show atau sinetron
adalah hasil dari skenario belaka.
Lebih jauh dalam Teori Kultivasi
dijelaskan bahwa pada dasarnya ada 2 (dua) tipe penonton televisi yang
mempunyai karakteristik saling bertentangan/bertolak belakang, yaitu (1) para
pecandu/penonton fanatik (heavy viewers) adalah mereka yang menonton televisi
lebih dari 4 (empat) jam setiap
harinya. Kelompok penonton ini sering juga disebut sebagai khalayak ‘the
television type”, serta 2 (dua) adalah penonton biasa (light viewers), yaitu
mereka yang menonton televisi 2 jam atau kurang dalam setiap harinya. Dan teorikultivasi ini berlaku terhadap para pecandu / penonton fanatik, karena mereka
semua adalah orang-orang yang lebih cepat percaya dan menganggap bahwa apa yang
terjadi di televisi itulah dunia senyatanya.
Pada dasarnya, Teori Kultivasi
pertama kali di kemukakan oleh George Gerbner bersama rekan-rekannya di
Amenberg School of Communication di Pennsylvania pada tahun 1969, dalam sebuah
artikel yang berjudul “the television of violence” yang berisikan bagaimana
media massa khususnya televisi menampilkan adegan-adegan kekerasan di dalamnya.
Teori kultivasi ini muncul dalam situasi pada saat terjadi perdebatan antara
kelompok ilmuwan komunikasi yang meyakini bahwa efek sangat kuat dari media
massa.
Teori Kultivasi muncul untuk
meyakinkan orang bahwa efek media massa lebih bersifat kumulatif dan lebih
berdampak pada tataran social budaya ketimbang individual. Signorielli dan Morgan
pada tahun 1990 mengemukakan bahwa analisis kultivasi merupakan tahapan
lanjutan dari penelitian efek media yang sebelumnya dilakukan Gerbner yaitu
“Cultural Indicator” yang menyelidiki Proses institusional dalam produksi isi
media, image atau kesan isi media serta hubungan antara terpaan pesan televisi
dengan keyakinan dan perilaku khalayak.
Dalam penelitian lanjutan yang
dilakukan oleh Gerbner diketahui bahwa penonton Televisi dalam kategori berat
mengembangkan keyakinan yang berlebihan mengenai dunia sebagai tempat yang
berbahaya dan menakutkan. Sedangkan kekerasan yang mereka saksikan di Televisi
menambah ketakutan sosial yang membangkitkan pandangan bahwa lingkungan mereka
tidak aman dan tidak ada orang yang dapat dipercaya.
KAJIAN TEORI KULTIVASI TeoriKultivasi menganalisis tayangan televisi telah menjadi teman keseharian oleh
kebanyakan orang dalam keluarga di amerika serikat, karena Teori ini
memprediksikan dan menjelaskan pembentukan persepsi, pemahaman, dan keyakinan
jangka panjang tentang dunia ini sebagai hasil dari mengkonsumsi isi media.
Gerbner (1999) mengemukakan bahwa “sebagian besar yang kita ketahui, atau yang
kita pikir kita ketahui, adalah tidak pernah kita alami sendiri”.
Banyak hal yang kita ketahui itu
karena yang kita lihat dan kita dengar dari media. Teori Kultivasi terus
mengalami evolisi bertahun-tahun lamanya, melalui serangkaian metode dan teori
yang dilakukan ole h Gerbner dan rekan-rekannya. ASUMSI DASAR TEORI KULTIVASI
Terdapat tiga asumsi dasar teori kultivasi yang dikemukakan oleh Gerbner yaitu
: 1). Secara Esensial Dan Fundamental Televisi Berbeda Dengan Media Yang Lain.
Asumsi ini menunjukkan bahwa spesifikasi keunikan dari Televisi yaitu kelebihan
Televisi menjadikannya istimewa seperti televise tidak memerlukan sederetan
huruf-huruf seperti halnya media cetak lainnya, televisi bersifat audio dan
visual yang dapat dilihat gambar dan suaranya, Televisi tidak memerlukan
Mobilitas atau memutar tayangan yang disenangi dan karena aksesibilitas dan
avaibilitasnya untuk setiap orang membuat Televisi menjadi pusat kebudayaan
masyarakat kita. 2). Televisi Membentuk Cara Kita Berfikir Dan Berhubungan.
Asumsi ini masih berkaitan dengan
pengaruh tayangan Televisi, pada dasarnya Televisi tidak membujuk kita untuk
benar-benar meyakini apa yang kita lihat di Televisi, berdasarkan asumsi ini,
Teori Kultivasi mensuplay alternative berfikir tentang tayangan kekerasan di
Televisi. 3). Televisi Hanya Memberi Sedikit Dampak. Asumsi yang terakhir ini
mungkin agak berbeda dengan asumsi dasar Teori Kultivasi, namun Gerbner
memberiikan analogi ice age untuk memberi jarak antara teori kultivasi dan
asumsi bahwa Televisi hanya memberikan sedikit efek atau dampak. Dalam analogi
ice age menganggap bahwa Televisi tidak harus mempunyai dampak tunggal saja
akan tetapi mempengaruhi penontonnya melalui dampak kecil yang tetap konstan.
"Kalau saja lihat anak-anak
sekarang itu seharian bisa duduk di (depan) televisi, mau acara apapun itu
mereka lihat. Kalau saja acaranya mendidik, itu tidak apa-apa. Namun faktanya
60 persen acara tidak mendidik. Mau jadi apa generasi bangsa ini. Dan fakta ini
hampir merata dari kota sampai ke kampung,” kata mantan ASOPS TNI ini.
Selama ini dia mengakui bahwa aduan
dari masyarakat terus membanjiri KPI terhadap konten-konten yang dianggap tidak
pantas.
Televisi sebagai kebutuhan primer.
Tidak dapat dipungkiri, kemajuan
jaman yang terjadi sekarang ini memberikan kemudahan serta mampu mendekatkan
yang jauh. Di era informasi sekarang, televisi sepertinya telah menjadi
kebutuhan hidup. Hampir disetiap rumah memiliki telivisi sebagai akses terhadap
informasi utama mereka. Tidak hanya itu saja, televisi juga dijadikan sarana
hiburan murah meriah bagi keluarga. Beragam program dan acara disuguhkan untuk
memberikan informasi terbaru ataupun sekedar memberikan hiburan di waktu
senggang. Walau kini telah ada internet, namun dominasi televisi sebagai sumber
informasi dan hiburan yang murah meriah belum dapat tergantikan. Rasa-rasanya,
masyarakat tidak mampu untuk hidup sehari saja tanpa televisi.
Komersialisasi yang tidak dibarengi dengan tanggung jawab moral.
Pada awal kemunculan televisi,
masyarakat harus membayar untuk dapat menikmati siaran berita atau acara
kesenian yang disiarkan oleh TVRI sebagai satu-satunya stasiun televisi kala
itu. Pada masa itu, acara televisi pun dapat dihitung dengan jari. Namun
walaupun sedikit, acara-acara yang disajikan berisikan nilai moral, sejarah
maupun perjuangan yang positif. Saat ini, tidak kurang 15 stasiun televisi
lokal dan nasional dapat kita nikmati. Tak kurang ratusan acara televisi dapat
kita tonton nonstop 24 jam dan perlu lagi harus membayar iuran apapun. Kita
hanya harus merelakan waktu menonton kita disela oleh iklan sebagai gantinya.
Tak dapat dipungkiri, televisi kini telah menjadi lahan bisnis yang
menguntungkan bagi mereka yang mempunyai modal besar. Komersialisasi televisi
saat ini sesungguhnya memberikan keuntungan yang besar bagi kita selaku
penonton. Setiap stasiun televisi berlomba-lomba menyugukan tayangan terbaik
mereka mulai dari berita, film hingga acara-acara hiburan. Tayangan-tayangan
tersebut sejatinya sangat bagus bila dikemas secara bertanggung jawab dan
mendidik. Namun sayangnya, persaingan bisnis yang makin ketat membuat para
stasiun televisi berlomba-lomba mengejar target iklan serta mengesampingkan
tanggung jawab moral. Banyak sekali tayangan dan tontonan yang kurang mendidik,
mempertontonkan akhlak yang buruk serta hanya menampilkan gaya hidup hedonis
yang siap meracuni para penontonnya terutama remaja dan pemuda.
Rendahnya standard pengawasan membuat beberapa tayangan televisi
berkualitas sangat rendah.
Sebenarnya untuk membendung komersialisasi
tayangan yang hanya menguntungkan pengusaha (pemilik stasiun televisi), di
Indonesia telah ada lembaga khusus yang bertugas mengawasi tayangan maupun
siaran televisi. Setidaknya ada 2 lembaga yang bertanggung jawab akan kualitas
tayangan yang kita tonton yaitu Lembaga Sensor Indonesia (LSI) dan KomisiPenyiaran Indonesia (KPI). Namun sampai saat ini, peran kedua lembaga tersebut
kurang maksimal. Masih banyak tayangan-tayangan yang tak layak dan tidak
mencerminkan budaya Indonesia sebagai negeri timur yang santun.
Belum adanya regulasi dan standard
yang pasti akan mutu tayangan menjadi sebab banyaknya tayangan yang tidak layak
justru malah tayang dan bahkan digemari oleh masyarakat. Sebagai contoh dalam
hal berpakaian, seorang pelajar yang baik akan memasukkan bajunya kedalam
celana atau rok serta bagi siswi mengenakan rok dibawah lutut. Namun
kenyataannya, dalam berbagai tayangan dan hampir 100 persen -baik film maupun
sinetron- nilai-nilai tersebut seperti diabaikan. Yang ada justru para siswa
memakai pakaian tidak rapi, sementara siswinya berpakaian bak model yang
mengenangkan rok mini dan pakaian ketat yang sangat tidak mencerminkan
nilai-nilai seorang pelajar. Tayangan-tayangan yang tidak bermutu inilah yang
secara sadar atau tidak dicontoh dan ditiru generasi muda -terutama pelajar-
kita.
Memang tidak dapat dipungkiri, peran
KPI dan LSI dalam membendung tayangan yang negatif sangat besar. Telah banyak
tayangan yang diberikan teguran bahkan sampai dihentikan penayangannya oleh
KPI. Namun yang sangat disayangkan, penghentian penayangan sering kali bukan
karena inisiatif dari KPI sendiri namun karena banyaknya komplain dari
masyarakat.
Kebutuhan masyarakat akan televisi
sebagai media hiburan yang murah, tidak didukung oleh regulasi yang jelas untuk
menjaga kualitas tayangan televisi tersebut. Akibatnya, sebagian besar acara
televisi pada jam utama (prime time) berisikan tanyakan yang tidak mendidik.
Disadari atau tidak, tayangan ini telah merasuk dan membekas dalam ingatan para
remaja. Dan tidak bisa dipungkiri, degradasi moral remaja yang terjadi saat ini
tidak bisa dilepaskan dari peran televisi. Tidak hanya itu, cara berpakaian,
tingkah laku dan gaya hidup remaja saat ini telah berkiblat ke televisi sampai
mereka tidak lagi memiliki jati diri.
Ketika para remaja mengalami krisis
jati diri dan kepribadian, maka sangatlah mudah bagi mereka terombang-ambing
mengikuti apapun yang mereka lihat dan denger tanpa adanya filter yang
membendungnya. Mudah bagi mereka meniru cara berpakaian, gerakan, tutur kata
bahkan tingkah laku idolanya di televisi. Tidak kah kita sedih melihat generasi
penerus bangsa ini tidak memiliki kebanggaan sama sekali terhadap diri dan jati
diri bangsanya?
Pemerintah dan Keluarga bertanggung jawab dalam memfilter tayangan di
televisi.
Sudah saatnya kita semua sadar dan
bertanggung jawab terdahap apa yang mereka dengar dan lihat. Pemerintah harus
membuat peraturan yang tegas tentang tontonan di televisi. Tidak hanya itu
saja, peran serta keluarga sangatlah penting. Jangan biarkan anak-anak kita menonton
televisi sendirian tanpa ditemani oleh orang dewasa yang bertanggung jawab.
Kesadaran akan pentingnya memfilter tayangan anak harus ditumbuhkan dalam
keluarga agar tercipta iklim yang sehat bagi tumbuh kembang anak.
Mereka adalah cerminan masa depan bangsa.
Menjamin kualitas tontonan mereka
adalah bukti tanggung jawab kita akan keberlangsungan bangsa ini. Keceriaan
mereka adalah cerahnya masa depan, jangan biarkan keceriaan mereka direnggut
oleh tontonan yang tidak bermutu dan mendidik. Mereka adalah cerminan masa
depan bangsa.
0 comments:
Post a Comment