Dewasa ini kecenderungan industri
media sebagai alat kapitalisme menjadi semakin nyata. Bentuknya menjadi
semakin menggurita, menjangkau ke mana-mana, cenderung ingin memonopoli, dan
bahkan melintasi batas negara. Tetapi kontrol pemilikannya justru makin terkonsentrasi
hanya pada beberapa orang saja. Dalam
menjelaskan fenomena tersebut Peter Gollding dan Graham Murdoch mengatakan “media
as a political and economic vehicle, tend to be controlled by conglomerates and
media barons who are becoming fewer in number but through acquisition,
controlled the larger part of the world’s mass media and mass
communication” (2000: 71).
Dalam fenomena global, tahun
1983, diperkirakan ada 50 konglomerat yang mendominasi pemilikan
televisi, radio, film, surat kabar, majalah, hingga penerbitan di Amerika
Serikat, Eropa, Australia dan Asia. Tapi tahun 1997 setelah melalui proses merger
dan akuisisi, para baron yang menguasai media dunia hanya tinggal 10
saja. Sedangkan catatan setelah tahun 2002, penguasa media dunia, menurut Mc
Chesney (2002) malah tinggal 3 holdings besar, yang disebut The Holy
Trinity of the Global Media System. Yaitu kelompok tiga besar
dunia, Time Warner and AOL Holdings, News Corp.’s Holding dan
Disney’s Holdings.
Terjadinya konsentrasi media
dengan berbagai konsekuensinya oleh banyak ilmuwan dinilai akan membahayakan
proses demokrasi. Fenomena itu dijelaskan Robert W Mc Chesney dalam buku
”Rich Media Poor Democracy”, yang ditulis tahun 2000. Juga yang
dilakukan David Croteau dan William Hones dalam buku The Business of
Media (2001). Atau tulisan Al Lieberman dengan Patricia Esgate dalam buku, The
Entertainment Marketing Revolution, Bringing The Moguls, The Media and The
Magic to the World (2002), Maupun buku yang ditulis Robert A Hackett dan William
K. Carroll yang berjudul Remaking Media, The struggle to democratize public
communication (2006).
Inti persoalannya terletak
pada efek, tatkala sistem produksi
budaya massa, informasi, dan kekuatan ekonomi, bahkan penentu opini publik
atau politik, terkonsentrasi secara vertikal maupun horisontal hanya pada
segelintir orang. Tentu saja amat mengkhawatirkan mengingat, bagaimanapun telah
banyak bukti bahwa kekuatan media dalam masyarakat modern amatlah signifikan
mempengaruhi sistem sosial, ekonomi dan politik. Menjadi masalah ketika sistem
media dominan, hanya dimiliki oleh beberapa gelintir orang saja.
Konsentrasi Media Di Indonesia
Repotnya,
“fenomena buruk” yang banyak dikritik di negara-negara Barat (Amerika Serikat
dan Eropa) yang dianggap sebagai ancaman demokrasi tersebut, malah juga terjadi
di Indonesia. Gejala neo liberalisme dengan
kecenderungan konsentrasi pemilikan, memang telah menjadi fenomena yang makin
menjadi-jadi, terutama pasca-reformasi. Boleh dikatakan sistem media di Indonesia sekarang ini ibarat lepas dari
mulut buaya, masuk ke mulut singa. Awalnya (di masa Orde Baru), sistem media
dikontrol oleh negara, setelah reformasi, gantian kekuatan kapitalis yang
menancapkan pengaruhnya. Lagi-lagi kemerdekaan dan independensi media ’terancam”
dalam bentuk lain.
Menurut
catatan, tahun 2004 kelompok Media Nusantara Citra (MNC) sukses melakukan merger
antara RCTI, TPI dan Global TV. Setahun kemudian kelompok media milik Hary
Tanoesoedibjo ini berhasil mengatrol TPI hingga sempat melejit dalam perolehan
iklan dengan program andalannya yaitu Kontes Dangdut Indonesia (KDI), dan
Rahasia Ilahi. Kelompok ini juga melebarkan sayap di bisnis media cetak, yaitu
harian Seputar Indonesia (Sindo), dan puluhan stasiun radio yang masuk dalam
jaringan Trijaya Network. Kelompok perusahaan yang berada di bawah payung Group
Bhakti Investama ini juga memiliki saham signifikan di perusahaan selulair,
Mobile 8 dengan produk CDMA di pasaran bernama Fren.
Di pihak
lain TV Swasta ANTV telah ”mengundang” masuknya mogul, atau media
baron, Rupert Murdoch, pemilik News Corporation yang jaringannya
tersebar di seluruh dunia. Melalui kelompok Star TV Hongkong mereka memiliki
20% saham. Sokongan dana dari konglomerat
global ini mampu membuat ANTV menyajikan program yang menghamburkan banyak
hadiah. Televisi yang dikelola Anindya Bakrie itu fokus pada program reality
show, seperti Super Milyarder, Super Milyarder 3 Milyar, Super Deal 2
Milyar dengan hadiah-hadiah fantastis. Belakangan ANTV diberitakan
”bekerjasama” juga dengan Lativi.
Sementara ”The
Rising Star” Trans TV menggandeng TV 7 milik kelompok Kompas Gramedia
Group. Ini merupakan kekuatan baru yang potensial, mengingat perusahaan milik
Chaerul Tanjung tersebut dinilai ”cukup berhasil” di dalam bisnis TV dan perbankan
(Bank Mega). Melalui kerjasama dengan kelompok Kompas Gramedia Group ---yang
sejak lama terkenal dengan kekuatan jaringan medianya, baik cetak maupun radio,
juga hotel dan perbankan--- terciptalah sinergi baru dalam
pertelevisian. Dengan kerjasama itu TV 7 kemudian berubah menjadi Trans
7. Kelompok ini mencoba menerapkan segmentasi di antara mereka. Trans TV
fokus pada life style dan trends setter. Sedangkan Trans 7
konsisten ke TV sport dan News. Kini, dari 10 stasiun televisi
yang siaran nasional, tinggal 3 stasiun yang belum bergabung dengan kelompok
lain.
Peta tahun
2014 sudah berubah. Gurita konglomerasi
media di indonesia, merupakah bukan hal yang baru..Konglomerasi Media adalah
penggabungan-penggabungan perusahaan media menjadi perusahaan yang lebih besar
yang membawahi banyak media. Konglomerasi ini dilakukan dengan melakukan korporasi
dengan perusahaan media lain yang dianggap mempunyai visi yang sama. Pembentukan konglomerasi ini dengan
cara kepemilikan saham, joint venture / merger, atau pendirian kartel
komunikasi dalam skala besar. Akibatnya kepemilikan media yang berpusat pada
segelintir orang. Contoh dalam hal ini Trans7, Trans TV dan detik.com berada
pada payung bisnis yang sama yakni Trans Corp yang dikuasai oleh Chairul
Tanjung , Global TV, RCTI, TPI bergabung dalam Group MNC, Sindo TV, MNC TV,
Koran Sindo, Trust, MNC Radio dan bertindak selaku pemilik di Indonesia adalah
hary Tanoesoedibyo, TV One dan ANTV bernaung di bawah bendera Bakrie Group
dengan Boss utama Abu Rizal bakrie, SCTV yang sebahagian besar sahamnya
dimiliki oleh Eddy Sariatmadja, dan yang terakhir Metro TV dan media Indonesia
dengan Surya Paloh pemimpinnya yang termasyhur karena wajahnya sering
ditampilkan oleh TV yang dimilikinya sendiri.
Kemudian ada Kelompok
Jawa Pos, pemiliki koran Jawa Pos dan Rakyat Merdeka. Jaringannya di
daerah-daerah juga cukup kuat, dengan merek Radar. Kelompok media ini didirikan
dan dimiliki oleh PT Grafiti Pers, yang juga pendiri Tempo, setelah
diambil-alih dari pemilik sebelumnya.Kelompok Jawa Pos yang dikelola dan
dibesarkan oleh Dahlan Iskan, kini Menteri Negara BUMN, dikabarkan berada di
belakang barisan Jokowi.
Merger oleh
perusahaan-perusahaan media, dinilai menjadi pilihan yang tepat untuk melakukan
efisiensi dan konvergensi. Merger dan akuisisi juga dianggap sebagai
strategi terbaik untuk menyehatkan kondisi keuangan televisi yang berat karena
menghadapi persaingan yang ketat. Merger memang menjadi
fenomena umum. Karena karakeristik para pengusaha di manapun, ada kecenderungan
sama, yaitu selain menerapkan efisiensi dan konvergensi, mereka juga berupaya
memperbesar jaringan usahanya, kemudian mengakumulasikan keuntungan dan modal
untuk kepentingan mereka.
Namun diakui pula, merger itu ada sisi negatifnya, karena itu
kendati merger diperkenankan, tapi selalu ada aturannya. Sebagai contoh
di negara liberal seperti Amerika Serikat, proses merger itu harus
terbuka, dan memperoleh persetujuan dari otoritas regulator. Keinginan
perusahaan raksasa Time Warner untuk bergabung dengan American
On Line (AOL) prosesnya cukup lama dan baru terlaksana januari
2001 setelah memperoleh ijin atau persetujuan dari Federal Communication
Commission (FCC).
Jadi Time Warner and AOL (TWOL), konvergensi dua konglomerasi media
yang nilai asetnya mencapai lebih 200 milyar dolar AS, atau holdings
media terbesar dunia itu bisa terjadi karena ada approval, persetujuan merger
dari FCC. Semua proses merger melalui mekanisme yang harus disetujui
oleh lembaga pengartur sistem komunikasi. Ini yang berbeda dengan di Indonesia,
hampir semua kegiatan merger di perusahaan stasiun televisi di sini,
sama sekali tidak meminta persetujuan KPI. Bahkan boleh dikatakan KPI tidak
pernah dilibatkan dalam proses konsentrasi pemilikan atau konsentrasi
operasional semacam itu. Padahal menurut UU Penyiaran, KPI memiliki tugas
menciptakan tatanan sistem penyiaran yang demokratis dan sehat. Bagaimana hal
tersebut bisa tercapai, jika media massa, terutama penyiaran jalan
sendiri-sendiri ketika melakukan merger, tanpa melibatkan regulator
penyiaran.
Namun tidak bisa disangkal proses meger dan akuisisi memang
merupakan fenomena global. Walau apa yang dilakukan para mogul itu
sering bertentangan dengan tuntutan keadilan dan demokrasi, tapi atas nama
efisiensi, tuntutan industri, dan neoliberal spirit, konsentrasi
itupun tetap saja berlangsung dan menjadi trend.
Itulah yang ditulis oleh David Croteau dan Wiliam Hoynes (2001: 73)
ketika menjelaskan kecenderungan struktur industri media kapitalis dewasa
ini. Menurut mereka ada empat macam perkembangan yang terjadi dalam
bisnis media, yaitu:
1. Growth (pertumbuhan) yang pesat, diwarnai dengan fenomena mergers antar-perusahaan
atau joint, sehingga menjadi makin besar dan merambah ke mana-mana.
2. Integration
(integrasi), raksasa media terintergrasi secara horisontal engan bergerak ke berbagai bentuk media seperti
film, penerbitan, radio dan sebagainya. Tapi
juga terjadi integrasi secara vertikal, dengan pemilikan perusahaan di
berbagai tahapan produksi dan distribusi, dari hulu sampai hilir. Misalnya
memiliki perusahaan produksi film, sekaligus perusahaan bioskop, perusahaan
DVD, dan jaringan stasiun televisi.
3. Globalization, konglomerat media telah menjadi entitas global, dengan jaringan pemasaran
yang menembus yuridiksi negara.
4. Concentration of ownership, kepemilikan holdings media meanstream semakin terkonsentrasi
kepemilikannya.
Yang jadi
persoalan, berbarengan dengan konsentrasi media tersebut, menurut Croteau dan
Hoynes (2001), media massa sekarang juga telah mengalami komersialisasi yang
luar biasa. Media menempatkan audience
semata-mata hanya dilihat sebagai consumer bukan warga negara (citizens).
Tujuan utamanya generate profits for owners and stockholders.
Kemudian mendorong khalayak untuk enjoy themselves view ads, and buy product.
Karena itu apa yang dianggap menarik bagi publik oleh media, adalah apapun yang
populer di masyarakat. Dengan demikian tujuan ideal media untuk promote
active citizenship via information, education and social integration, sudah
dilupakan dan tenggelam dengan gelombang hiper komersialisasi.
0 comments:
Post a Comment