Efek Berbahaya Konglomerasi media
Efek Yang Berbahaya?
Itu semua, efek
liberalisasi media yang memuja pasar bebas. James Curran, profesor komunikasi dari University of London, dalam Rethingking
Media and Democracy (2000: 121-154), mengkritik fenomena tersebut. Menurutnya dengan liberalisme, justru mendorong media melakukan korupsi dan
bias mekanisme pasar. Dengan liberalisme peran media sebagai watchdog terhadap
kekuasaan, tidak memunculkan sikap independensi untuk melayani kepentingan
publik, melainkan lebih untuk keuntungan perusahaan. Liberalisme
menghambat freedom to publish. Menciptakan kondisi media sebagai big
business yang membutuhkan pemodal kuat, sehingga yang mampu mengelola
dan memilikinya hanyalah para baron yang elitis. Liberalisme dan pasar
bebas juga mereduksi perputaran informasi publik, dan meningkatkan jumlah
masyarakat yang tidak well informed. Karena semakin besarnya
porsi penempatan isi hiburan atau human interest dan meminggirkan
liputan public affairs, atau program yang mencerdaskan. Ini mengurangi
bobot demokrasi, sebab kontrol terhadap public affair menjadi semakin
elitis, keterlibatbatan masyarakat menjadi semakin kecil, padahal salah satu
prasarat demokrasi adalah partisipasi publik.
Jadi, strategi merger
bukanlah upaya untuk meningkatkan pelayanan kepada kepentingan publik,
melainkan lebih merupakan strategi bisnis semata. Sejalan dengan komersialisasi
media yang makin dominan. Produk media yang dihasilkan cenderung diarahkan ke
dunia hiburan yang acapkali tidak mendidik. Alih alih mencerdaskan khalayaknya,
yang terjadi justru sebaliknya, memberikan kontribusi pada proses pembodohan
dan ketidakcerdasan publik. Bagaimana publik akan cerdas, jika melalui
program-program yang memuja rating itu, masyarakat hanya diajak ketawa,
atau menangis, dengan lawakan dan sinetron? Sedang fungsi informasi dan
edukasi, teramat sedikit. Jadinya media massa hanya menjadi sarana
hiburan semata. Civic education untuk demokrasi menjadi semakin
terabaikan. Padahal hasil dari sistem demokrasi amat ditentukan oleh
kualitas orang banyak yang memiliki hak suara. Tanpa kualitas, demokrasi hanya
akan menghasilkan keburukan dan ironi-ironi
Satu hal yang
paling dikhawatirkan atas konsentrasi pemilikan adalah ancamannya terhadap
keragaman isi (diversity of content), terutama yang menyangkut pemberitaan.
Pengaruh kekuasaan pemilik dan pengelola media terhadap pemberitaan,
memang sempat dipertanyakan korelasinya. Namun berdasar berbagai studi,
sebagaimana dilakukan oleh Altschull (1984) yang hasilnya sering disebut
sebagai Second Law of Journalism, dikenal istilah; “the content
of the media always reflect the interest of those who finance them”
(McQuail, 2002 : 198).
Inilah yang
dibenarkan banyak kritisi media, bahwa bagaimanapun para pemilik media amat
menentukan isi medianya. Disitulah kemudian para pemilik media memiliki
kekuatan dengan korporasinya. Kekuatan itu tidak hanya dipakai untuk
kepentingan bisnis semata, tetapi juga untuk menentang peraturan yang akan
“membatasi” mereka. Bahkan tak jarang para pemilik media karena menyadari posisinya,
mereka melibatkan diri dalam politik, dan menggunakan medianya untuk
kepentingan politik. Walhasil para mereka ini amat menentukan siapa yang akan
mendapat dukungan publik.
Di luar negeri,
Silvio Belusconi merupakan contoh yang tepat. Belusconi pemimpin partai Forza
Italia, merupakan konglomerat media yang menguasai penerbitan dan televisi di
Itali. Dengan popularitasnya sebagai pemilik AC Millan, ia pun dua kali
menduduki jabatan Perdana Menteri Italia. Ini semua tak lepas dari kemampuan
Belusconi mengendalikan sumber daya media (Paul Satham, 1996: 88).
Ruperth
Murdoch, yang sekarang ikut memiliki ANTV, juga punya reputasi bermain politik,
baik di negara asalnya, Australia, Inggris, dan Amerika Serikat.
Pada Pemilu tahun 1970 Murdoch mendukung partai Buruh Australia dengan
memberikan rubrik khusus di medianya, agar partai tersebut lebih dikenal
masyarakat. Di tahun 1990-an Murdoch dicatat mengambil alih tabloid The
Sun, The Times dan Sky B television di Inggris. Melalui
media-medianya tersebut ia memberikan dukungan pada partai Buruh dan Tony Blair
pada pemilihan Perdana Menteri Inggris tahun 1997. Dengan dukungan Murdoch,
Tony Blair berhasil menggusur John Major. Hal yang sama dilakukan Murdoch di
Amerika Serikat. Mulanya Ia harus rela pindah kewarganegaraan supaya bisa
memiliki televisi di AS. Dengan jaringan Fox TV, Murdoch mendukung partai
Republik dan George W. Bush dalam pemilu Presiden 2004 lalu. Hasilnya, Bush-pun
menang.
Jadi,
kecenderungan para pemilik media menggunakan pengaruhnya atau kekuasaannya
dengan isi media dan berita-beritanya merupakan kenyataan yang sering terjadi.
Nah, bagaimana jadinya jika para pemiliki media semakin lama jumlahnya semakin
sedikit? Berarti check and balances antar-media semakin melemah juga.
Menurunnya pluralitas pemilikan, akan berpengaruh terhadap menurunnya
prularitas isi, terutama dalam hal informasi. Jika demikian bukankah sistem
demokrasi yang berlangsungpun, juga ditentukan dan dipengaruhi oleh jumlah
orang yang semakin sedikit pula?
Karena Media Power
Logika,
terancamnya demokrasi itu karena diakui bahwa kekuatan media (media power)
memang sangat signifikan mempengaruhi akses terhadap politik dan
partisipasinya. Ada tiga macam bentuk kekuatan media terhadap politik,
yaitu:
Pertama adalah
discursive power. Ini didasarkan pada asumsi “pengetahuan atau informasi
itu adalah kekuatan”. Media memiliki peran mendistribusikan informasi yang
didapatkannya, sehingga dapat disimpulkan media merupakan pemilik dari sesuatu
kekuatan yang cukup signifikan. Karena orang-orang itu berpikir dan berperilaku
sesuai dengan apa yang ia dengar, baca, atau lihat di media massa. Dengan kata
lain, media berperan sebagai pembentuk opini publik, dan common sense.
Terlebih pada masyarakat modern yang memang menggantungkan informasinya dari
media massa.
Kedua access
power, dengan dimilikinya peran sebagai pendistribusi informasi, media
memiliki otoritas mengatur keluar masuknya (peredaran) informasi yang akan
disebarkan ke publik. Dapat dipastikan, siapapun yang mengendalikan media massa
dapat secara leluasa menggunakan access power yang melekat pada media
massa tersebut.
Ketiga, resource
power. Dengan adanya discursive power dan access power yang
melekat pada media massa, maka institusi dan pemilik media memiliki posisi
tawar yang cukup untuk mempengaruhi perilaku pemerintah, dan bargaining
position yang lain. Hal tersebut disebabkan oleh kebutuhan pemerintah dalam
hal pencitraan diri terhadap masyarakat, yang jelas-jelas sangat membutuhkan
peranan media massa.
Nah, lalu apa
jadinya kalau pemilik dan pengelola media jumlahnya semakin sedikit? Sementara
mekanisme kontrol terhadap media penyiaran juga belum berjalan sebagaimana
seharusnya. Di negara maju yang aturan hukum dan etikanya telah mapan saja
banyak persoalan, apalagi di negara Indonesia yang masih belajar berdemokrasi,
dan sering mengabaikan aturan hukum dan etika? Lalu apa Jadinya nanti?
Terlebih dalam
sistem pemilihan presiden secara langsung, peran media massa, khususnya
televisi amat signifikan. Sungguh mengkhawatirkan bila stasiun-stasiun televisi
itu hanya berada di genggaman segelintir orang. Memang benar dalam
demokrasi pemilihan presiden ditentukan oleh rakyat banyak. Tapi dari mana rakyat banyak itu memperoleh informasi politik yang cukup
tentang para pemimpinnya? Tak lain adalah media massa, terutama televisi. Media
televisi memiliki kekuatan dominan, karena jumlah penonton televisi di
Indonesia jauh lebih banyak dari media lainnya. Kalau sekarang sudah terdapat
lebih dari 30 juta pesawat televisi, kalau satu pesawat TV rata-rata ditonton 5
orang, berarti yang potensial menonton televisi ada 150juta pemirsa. Belum lagi
waktu luang yang dipakai menonton televisi-pun, menurut data jauh lebih lama
dibandingkan waktu yang dipakai untuk menggunakan media lain. Walhasil televisi
memang dominan.
Disinilah
pentingnya mengkritisi konsentrasi pemilikan media televisi di Indonesia. Kehidupan sosial politik tidak bisa dilepaskan dari struktur dan sistem
media massa. Kalau kita sudah komitmen akan menegakkan demokrasi di negeri ini,
maka sistem medianyapun harus mencerminkan struktur yang demokratis pula,
baik dalam keragaman kepemilikan, maupun keragaman isinya. Tanpa berjuang
merubah sistem media, mustakhil sistem demokrasi politik dapat ditegakkan
dengan baik. Itulah salah satu inti kutipan Robert Mc Chesney di awal tulisan
ini. Persoalannya, sudahkah kita berjuang untuk merubah sistem media kita yang
cenderung sentralistik dan terkonsentrasi pemilikannya di segelintir orang? Jika ini kita biarkan, berarti kita membiarkan pula ancaman terhadap
demokrasi.
Dengan tuntutan liberalisasi, di
satu sisi industri penyiaran menjadi semakin bebas dari kontrol negara atau
pemerintah. Di sisi yang lain, industri penyiaran akan semakin rentan terhadap
represi rejim kapital, atau kediktatoran pasar (market dictatorship),
yang beroperasi melalui the invisible hand mekanisme pasar. Prinsip
mekanisme pasar mendasarkan diri pada kaidah-kaidah permintaan penawaran,
rasionalitas instrumental maksimalisasi produksi konsumsi, serta logika never
ending circuit of capital accumulation: M-C-M (Money-Commodities-More
Money). Khususnya dalam industri penyiaran, represi rejim kapital tersebut
berlangsung di dua front: pasar khalayak, dan juga pasar industri
periklanan.[1]
Media massa
khususnya penyiaran sebagai industri informasi, hiburan dan budaya, acapkali
dimanfaatkan untuk menginklusi kepentingan-kepentingan kapitalisme. Kalau
Althusser menganggap media massa berperan sebagai ideological state aparatus,
dalam konteks ini media massa penyiaran justru dijadikan sebagai alat
kapitalisme untuk mempertahankan kepentingannya.
Peter Golding dan Graham Murdoch melihat media massa bukan sebuah entitas yang
monolitik, dalam praktik pemilik bisa memiliki nilai yang berbeda dengan para
pekerja profesional. Hanya saja dalam kenyataannya
kepentingan kapitalisme dan kekuatannya bisa mereduksi perbedaan
tersebut. Disadari atau tidak, kalangan profesionalisme media yang pada
dasarnya merupakan bagian dari civil society telah dimanfaatkan oleh
kapitalis. Karya-karya mereka telah digunakan sebagai jembatan untuk meluaskan
budaya konsumsi, tujuannya supaya kaum proletar tetap tunduk, dan kapitalisme
tetap berjalan.
Industri
informasi dan budaya yang ada dalam dunia media massa telah menjadi faktor
ekonomi politik yang penting, yang sering mengalihkan perhatian dari masalah
yang sebenarnya dialami masyarakat luas, dengan menawarkan solusi palsu
tersebut. Disitulah sebenarnya media massa sebagai industri budaya telah
membantu memanipulasi kesadaran.
Repotnya kecenderungan industri media memang menuju
pada kondisi yang ”mengkhawatirkan”. Kecenderungan
struktur industri media di dunia, dalam beberapa tahun terakhir ini menurut
David Croteau dan Wiliam Hoynes mengalami empat macam perkembangan, yaitu: 1) Growth,
pertumbuhan yang pesat, diwarnai dengan fenomena mergers antar
perusahaan atau joint, sehingga menjadi makin besar dan merambah ke
mana-mana. 2) Integration, raksasa media baru terintergrasi
secara horisontal dengan bergerak ke berbagai bentuk
media seperti film, penerbitan, radio, televisi, internet, dan sebagainya.
Integrasi perusahaan media baru juga terbentuk secara vertikal, dengan memiliki
perusahaan di berbagai tahapan produksi dan distribusi. 3) Globalization, untuk
meningkatkan derajat keragaman, konglomerat media telah menjadi entitas global,
dengan jaringan pemasaran yang menembus yuridiksi negara dan menjadi mendunia.
4) Concentration of ownership, kepemilikan holdings media yang
menjadi meanstream dunia semakin terkonsentrasi kepemilikannya.[2]
Sebenarnya Amerika Serikat secara sadar memang melakukan banyak deregulasi
di bidang konsentrasi media, ini dilakukan tidak lain untuk mendorong
perusahaan mereka menjadi penguasa pasar dunia. Ada anggapan, konsentrasi kepemilikan
merupakan sarana yang menguntungkan untuk perusahaan Amerika mendominasi pasar
dunia (media concentrations of media ownership beneficially aids American
firm domination of world markets)[3]
Gejala konsentrasi pemilikan ini menurut Josef dan Meier, telah menjadi
salah satu persoalan penting dalam hal diskusi tentang perkembangan ekonomi
media. Diskusi tersebut
umumnya memfokuskan pada akibat, hasil dan konsekuensi dari fenomena
konsentrasi media. Beberapa isu utama yang sering dibahas adalah: pertama, kebijakan
konsentrasi media merupakan masalah politik yang sensitif. Biasanya sistem
politik memiliki perhatian terhadap hukum media, namun sering kesulitan dalam
proses legislasi, dan lebih sulit lagi dalam melaksanakannya. Kedua,
konsentrasi media memiliki sisi positif dan negatif untuk perkembangan kekuatan
elit politik. Bagi politisi, konsentrasi media dengan jumlah perusahaan media
yang sedemikian rupa memudahkan mereka
untuk mempengaruhi khalayak yang luas. Karena itu dalam membuat kebijakan yang
berkait dengan konsentrasi media, menempatkan aktor politik dalam posisi
menguntungkan media. Karena itu sistem politik tidak sepenuhnya meletakkan
masalah konsentrasi media sebagai agenda politik[4]
Tuntutan agar
negara memiliki peran yang lebih besar mengembangkan kebijakan yang bersifat
intervensi untuk menjamin kompetisi yang adil, menjaga keragaman dan
pluralitas, memunculkan beberapa model yang berbeda-beda dalam berbagai tingkat
di level nasional maupun transnasional. [5] Berikut ini, beberapa contoh model kebijakan
menghadapi konsentrasi media di tingkat nasional yang dilakukan beberapa negara
sebagai upaya menghadapi efek liberalisme [6]
Pertama adalah Model Pembatasan konsentrasi horizontal, kebijakan ini untuk mencegah korporasi media mengontrol beberapa
saluran, sehingga dimunculkan regulasi yang membatasi pemilikan media-media
sejenis, misalnya tidak boleh di suatu propinsi semua radio hanya dimiliki oleh
sebuah korporasi saja. Mayoritas negara Eropa melakukan kebijakan membatasi
ijin, kepemilikan dan partisipasi finansial. [7] -
Kedua, Pembatasan
konsentrasi vertikal, regulasi dirancang untuk mencegah monopoli
media di lebih dari satu wilayah. Biasanya disebut
sebagai kepemilikan silang (cross ownership). Misalnya larangan
atau pembatasan pemilikan atas beragam media dari hulu hingga hilir. Kebijakan
pembatasan semacam ini diterapkan di Jerman, Belanda dan Inggris.[8] -
Di Indonesia, tatkala reformasi terjadi, upaya utama yang diperjuangkan adalah
kebebesan pers. Kemudian tatkala kebebasan telah diperoleh, dan media penyiaran
berkembang begitu pesat, konsepsi untuk mewujudkan sistem yang adil dan
demokratis menjadi persoalan tersendiri. Di satu sisi media penyiaran telah
berkembang sesuai sifat alaminya sebagai institusi bisnis dan industri. Di sisi
yang lain tuntutan menata dunia penyiaran melalui regulasi baru, datangnya
belakangan. Terjadilah tarik ulur kepentingan yang memasukkan wacananya ke
dalam aturan baru, atau interpretasi terhadap aturan tersebut.
Dari uraian di atas, tulisan ini ingin mengungkap lebih jauh, bagaimana
sebenarnya relasi antara negara, industri penyiaran, dan civil society
dalam hal membangun sistem penyiaran yang demokratis. Kalau pada masa Orde
Baru, paradigma korporatisme negara menunjukkan kuatnya peran negara
mengontrol kapitalisme dan civil society. Setelah reformasi, civil
society yang diharapkan mampu mengontrol negara dan kapitalisme,
sebagaimana tatanan demokrasi berdasar konsepsi Habermas, juga Cohen dan Arato
ternyata belum terjadi. Disinyalir dikarenakan adanya anomali sebagai efek
liberalisasi, justru kapitalismelah yang kemudian mengontrol negara dan civil
society. Pasca reformasi negara mengalami pelemahan karena liberalisasi dan
demokratisasi, kemudian menurut Robison munculah fenomena konsolidasi kekuasaan
negara.[9]
Itulah yang oleh Hermin Indah Wahyuni dilihat sebagai fenomena re-regulating
pasca terjadinya transformasi politik 1998[10].
Jadi pasca
reformasi di Indonesia, pola hubungan negara, industri (pasar) dan civil
society, secara teoretik dapat dipilah menjadi beberapa kemungkinan bentuk
pola hubungan, yaitu:
A. Pola korporatisme negara, yaitu
tatkala negara kembali ke pola lama seperti pada massa Orde Baru, dimana
negara amat kuat dan mampu mengontrol kapitalisme dan civil society.
B. Pola dominasi civil society mengontrol
negara sekaligus juga mengontrol kapitalisme, sebagaimana yang diharapkan
kalangan civil society yang radikal, atau juga dalam konsepsi
Habermas.
C. Pola kuatnya pasar (industri)
menghegemoni atau mengontrol negara dan civil society. Dominasi
kapitalisme terhadap negara dan civil society bisa dilakukan dengan
menghilangkan state regulation, digantikan market regulation.
Hegemoni juga bisa dilakukan secara halus melalui pengetahuan, wacana, definisi
baik buruk, serta melalui kebudayaan yang konsumtif.
D.
Pola keseimbangan antara negara, industri (pasar)
dan civil society. Pada pola
ini tidak ada yang dominan, masing-masing melakukan check and balances.
Sistem demokrasi pada dasarnya lebih mengacu pada pola keseimbangan ini.
0 comments:
Post a Comment