Pengaruh Perkembangan Teknologi "Konglomerasi media"
Pengaruh Perkembangan Teknologi
Menurut teori
determinisme teknologi, kehidupan masyarakat ditentukan oleh teknologi
komunikasi yang digunakan. Perubahan sosial dan
kemasyarakatan yang terjadi, tersentralisasi karena kehadiran teknologi
komunikasi. Diakui dalam sejarah perkembangan manusia, teknologi komunikasi
berperan penting dalam perubahan sosial yang terjadi. Everett M Rogers (1986)
mengatakan bahwa penemuan tulisan atau teknologi tulisan (writing) telah
menyebabkan perkembangan teknologi cetak menjadi sangat pesat. Sementara
itu penemuan teknologi telekomunikasi dan komputer telah membawa pengaruh besar
terhadap kemajuan teknologi interaktif. [11]
Dalam pandangan determinisme teknologi, kehidupan masyarakat tergantung pada
mesin-mesin teknologi komunikasi yang ditemukan. Menurut Harold Adam Innis
(1989) dari Toronto School, setiap teknologi komunikasi yang dominan digunakan
masyarakat, memiliki bias dalam hal pengaruhnya terhadap bentuk masyarakat itu
sendiri.[12]
Determinisme teknologi komunikasi menjelaskan bahwa rangkaian penemuan dan
aplikasi teknologi komunikasi telah mempengaruhi perubahan-perubahan sosial
yang terjadi di masyarakat. Perkembangan teknologi yang begitu pesat di
Indonesia, tentu juga memiliki pengaruh yang signifikan.
Daniel Dakhidae
dalam studi doktornya mencatat bahwa implikasi inovasi teknologi cetak telah
mempengaruhi ekspansi bisnis surat kabar menjadi kian besar dan membutuhkan
dukungan manajemen yang lebih profesional. Berkat perkembangan teknologi,
terjadi intensifikasi kerja jurnalistik, yang pada akhirnya mendorong ekspansi
di bidang lain. Terjadilah ekstensifikasi bisnis yang berkait dengan
pemanfaatan teknologi tersebut. Itu berarti perkembangan sarana teknologi tidak
berarti hanya sekedar perkembangan teknologi semata, melainkan juga merupakan
adanya transformasi kapital. Menurut Daniel, teknologi bukanlah sekadar sarana,
namun merupakan jantung persoalan yang dirasakan telah merubah bentuk produksi
komoditas yang sederhana menjadi bentuk produksi yang sangat maju dengan
tujuan, ”to have more, to be more in order tobe more”[13].
Lebih lanjut dalam kesimpulannya Dakhidae mengatakan bahwa, kombinasi antara
teknologi tinggi dengan tingkat integrasi antara industri baru dengan industri
yang lain memiliki pengaruh nyata pada kapitalisme. Teknologi telah
mendorong terjadinya konsentrasi industrial menjadi industri baru.[14]
Kecenderungan
di atas secara teoritik juga terjadi pada perkembangan teknologi baru dewasa
ini. Teknologi interaktif melalui komputer misalnya, berpotensi mempengaruhi
perubahan intensitas sosial untuk tatap muka secara leangsung. Semakin banyak
pergeseran bentuk interaksi sosial, dari yang kongkrit menjadi virtual
karena teknologi. Dengan teknologi interface, orang dengan mudah menjadi
get connected atau terhubungkan, tanpa batasan jarak (space) dan
waktu (time). Maka yang terjadi adalah, revolusi komunikasi telah
menyebabkan revolusi-revolusi sosial dalam masyarakat.
Fenomena munculnya
teknologi konvergensi terjadi ketika teknologi komputer, telekomunikasi, dan
media massa menyatu dalam lingkungan digital secara bersama, atau yang
didefinisikan oleh Pavlik dan McIntosh [15] “the coming together of computing, telecommunications, and media in a
digital environment is known as convergence.” Konvergen bisa juga diartikan
bergabungnya perusahaan internet dengan perusahaan-perusahaan media tradisional.
Konvergen juga
berarti menyatunya media massa seperti media cetak, audio, dan video kedalam
satu media digital. Walaupun sebenarnya definisi tentang konvergen yang ada
belum semuanya disepakati oleh banyak pihak, namun yang terpenting, konvergen
adalah transformasi dari sifat alamiah komunikasi massa, ke dalam bentuk yang
baru dengan implikasi-implikasi yang baru juga.
Konvergensi
pada akhirnya menyebabkan transformasi tidak hanya pada organisasi media maupun
pada kalangan kreatif atau profesional media yang bekerja di organisasi media,
melainkan juga menyebabkan transformasi pada khalayak, bahkan pemerintah atau
negara sebagai otoritas regulator, dan juga industri. Perubahan teknologi media
telah membawa paradigma baru yang terjadi karena digitalisasi media dan
jaringan media massa yang semakin meluas dan konvergens.
Bagi dunia
industri, implikasi dari konvergensi teknologi komunikasi, bukan sekadar
berubahnya sarana. Menggunakan istilah Daniel Dakidae; “It means technology
is not just a technology, It is transformed into capital.”[16] Dengan konvergensi terjadi
kecenderungan merger atau bergabungnya institusi media dengan institusi
media yang lain semakin kuat. Pada akhirnya, kondisi ini akan
menghasilkan sentralisasi kekuatan media pada satu institusi. Keragaman
kepemilikan menjadi semakin sulit karena telah menjadi bisnis hyper capital.
Semakin banyak media yang melakukan merger, maka semakin sulit untuk dikontrol.[17] Hal semacam ini berpengaruh terhadap berbagai konsep bagaimana sistem
penyiaran yang demokratis harus dioperasionalkan. Itulah konsekuensi dari perkembangan
teknologi komunikasi yang melahirkan konsep konvergensi media.
tidak perlunya kekhawatiran yang berlebihan terhadap
terjadinya konsentrasi media. Karena akan menghambat perkembangan industri
media penyiaran Indonesia menjadi perusahaan yang kuat dan kompetitif secara
global. Sementara membiarkan seluruh sumber daya frekuensi dikuasai oleh
segelintir orang juga akan memunculkan persoalan. Maka diperlukan suatu
konsep yang seimbang antara dua kepentingan itu. Kekhawatiran berlebihan pada
konsentrasi media, bertentangan dengan bukti empiris bahwa tidak ada kontrol
yang sempurna terhadap konten media, kendati oleh pemiliknya sendiri. Dengan
kata lain kekuatan kapitalisme dalam industri penyiaran, lebih hanya pada
kontrol asset atau kekayaan media, sementara kontrol terhadap isi, tidak
mungkin efektif secara sempurna. Karena para pekerja media memiliki logika
sendiri, mereka senantiasa mempertimbangkan kepentingan pasar, dan kehendak
khalayak, baik dalam pemberitaan maupun program. Peran rating amat tinggi,
ia menjadi ukuran keberhasilan penetrasi media, sekaligus pedoman isi untuk
melangsungkan hidupnya. Tanpa memperhitungkan rating atau keinginan
khalayak, industri media tidak akan hidup. Rating bukan hanya menjadi
barometer, melainkan juga ”filter” bagi ”ownership control”.
Disamping itu, format isi penyiaran juga bisa menjadi
kontrol, bila senantiasa dikaitkan dengan surat izin yang diberikan oleh
negara. Lembaga penyiaran swasta yang berubah format siarannya, berarti
mengingkari kontrak, yang menjadi alasan diberikannya izin, karena itu
idealnya, apabila ada media penyiaran yang berubah format isinya, berarti
bisa dicabut izinnya. Sedangkan perubahan pemilikam saham, bisa tetap
dimungkinkan, asal tidak merubah format isi siaran. Disinilah perlunya peran
pengawasan KPI.
Menurut Baker apa yang dikemukakan Bagdikian, ataupun
Mc Chessney adalah dramatisasi fakta dan pemikiran. Baker mengutip
pendapat Benjamin Compaine mengatakan, “because of internet, whatever
concentrated media power that existed previously “is breaking up”,
conclusion that objectionable concentration does not exist, especially as
properly evaluated in respect to the media as a whole “[18]
Menurut Baker internet telah merubah segalanya, karena menyajikan berbagai
alternatif dan isinya tidak dapat dikontrol secara sempurna oleh siapapun.
Dikatakan Baker, perkembangan teknologi tetap akan menjamin adanya diversity
of voices karena media yang beragam, sesuai dengan pasar ide
mereka, akan memiliki suara yang beragam pula. Baker dalam kesempatan yang lain
juga mengatakan, bahwa konsentrasi kepemilikan tujuannya selain efisiensi,
untuk memperkuat perusahaan dalam persaingan pasar dunia. Disimpulkannya
konsentrasi kepemilikan merupakan sarana yang menguntungkan untuk perusahaan
Amerika mendominasi pasar dunia (media concentrations of media ownership
beneficially aids American firm domination of world markets)[19].
Hasil studi ini sejalan dengan thesis Baker mengenai
konsentrasi media. Kekhawatiran yang berlebihan terhadap konsentrasi pemilikan
media perlu ditinjau kembali, karena konsentrasi tidak identik dengan
monopioli. Konsentrasi merupakan keniscayaan sejarah karena perkembangan
tekonologi dan tuntutan bisnis. Membetasi konsentrasi secara berlebihan akan
menghambat perkembangan industri penyiaran menjadi perusahaan yang mampu
berkompetisi secara global. Alasan yang lain, studi ini mengungkapkan pula,
bahwa tidak ada kontrol yang sempurna terhadap konten media, kendati oleh
pemiliknya sendiri. Isi media senantiasa mempertimbangkan kepentingan
pasar, dan kehendak khalayak, sehingga rating berperan tidak hanya
sebagai ukuran penetrasi media, tetapi juga pedoman isi untuk melangsungkan
hidupnya. Industri media tanpa memperhitungkan rating atau keinginan
khalayak tidak akan hidup. Jadi rating bukan hanya sebagai barometer,
melainkan juga ”filter” bagi ”ownership control” terhadap
isi. Dengan demikian demokrasi tidak sepenuhnya terancam oleh kepemilikan media
semata, ada kekuatan pengontrol terhadap “the power of ownership”.
Terlebih lagi berdasar studi ini, perkembangan teknologi komunikasi konvergensi
tidak bisa dihindarkan akan memunculkan konsekuensi baru, termasuk
konsentrasi kepemilikan. Perkembangan teknologi juga memunculkan berbagai
bentuk alternatif media, baik yang berdasar keberagaman segmen pasar,
hingga bentuk media baru yang bersifat interaktif. Teknologi interaktif inilah
kemudian memunculkan citizen journalism, dan terbentuknya public
sphere yang menggairahkan partisipasi publik, sehingga justru mendukung
iklim demokrasi.
Jadi bisa disimpulkan bahwa dalam sistem penyiaran
yang diikuti perkembangan teknologi yang semakin modern, juga keberadaan independent
regulatori body yang berfungsi mengawasi isi media secara baik,
konsentrasi pemilikan media tidak akan membahayakan secara signifikan terhadap
sistem penyiaran yang demokratis, khususnya tidak serta merta menghilangkan diversity
of contens and opinions. Dengan kesimpulan tersebut, berarti studi ini
sejalan dengan pemikiran, atau teori yang dikemukakan oleh Edwin C. Baker.
Implikasi penerimaan thesis Baker tadi, berarti
mengoreksi konsep sistem penyiaran yang demokratis dari Denis McQuail, yang
salah satunya mengharuskan adanya diversity of ownerships, yang kemudian
diterjemahkan pemilikannya harus banyak dan beragam, serta membatasi adanya
akuisisi, mereger hingga konsentrasi. Di masa depan, konsepsi semacam ini akan
semakin sulit dipenuhi, karena bertentangan dengan trend teknologi,
kecenderungan bisnis, hingga semakin tidak relevannya alasan yang mendasari
konsep tersebut. Dengan standpoint ini, berarti berimplikasi pula
terhadap perlunya peninjauan kembali mengenai regulasi keragaman kepemilikan,
sebagaimana yang juga tertuang dalam Undang-Undang Penyiaran dan Peraturan
Pemerintah no 50 tahun 2005.
0 comments:
Post a Comment