Konglomerasi Media di Indonesia
lewat Stasiun Televisi
Kata Tapsell, stasiun televisi membuat kelompok pertama
mampu lebih cepat berinvestasi di platform-platform media yang sebelumnya tak
mereka miliki.
CT Corp, misalnya. Perusahaan milik konglomerat yang sempat
jadi Menko Perekonomian selama lima bulan di era Susilo Bambang Yudhoyono ini
membeli 55 persen saham TV 7 dari Kompas pada 2006. Mengganti namanya menjadi
Trans7, yang sebentar saja pada pertengahan 2007, sudah menghasilkan
keuntungan. Punya dua televisi membuat Tanjung menerapkan konvergensi dapur
redaksi, yang kelak diikuti perusahaan media lain. Pusat berita Trans TV dan
Trans7 akhirnya disatukan pada 2018, seperti dikutip dari buku Chairul Tanjung
Si Anak Singkong (2012).
Pada 2011, Tanjung membeli detik.com. Disusul Telkomvision,
cable network, yang dinamai ulang jadi Transvision pada 2012. Ia terus
mengembangkan pola ini dengan gerak cepat. Bekerja sama dengan CNN, pada 2013
ia membentuk CNN Indonesia yang kemudian hadir tak cuma sebagai portal berita
online tapi juga stasiun televisi.
Kemarin, 8 Februari, Tanjung hadir dalam peresmian CNBC yang
juga bekerja sama jadi bagian dari konglomerasi media CT Corp. Dalam wawancara
spontan sesudah acara, Tanjung berkata kepada reporter Tirto bahwa semua
medianya bakal berpusat di Tendean, Jakarta Selatan, yakni di Gedung Trans,
termasuk CNBC.
“Pasti akan bergabung, tidak physically. Media zaman
sekarang berbeda konvergensinya dari yang dulu. Semua nanti (lebih) virtual,”
ia bilang.
Saat ditanya apakah ia akan membeli PT Asuransi Jiwa
Bumiputera, yang bisnisnya sakit parah dan jadi pemberitaan mencolok pada akhir
tahun 2016, Tanjung menjawab bahwa "ada pembicaraan" perusahaan
asuransi tertua itu menawarkan, "tapi pembicaraan belum sampai ke
saya." Ia juga berkata "selalu terbuka" bila ada
perusahaan-perusahaan dari luar negeri menanam investasi ke CT Corp.
Konglomerat lain, Hary Tanoesoedibjo, memulai proses
memantapkan sekaligus meluaskan bisnis media pada awal 2000-an. Selain punya
tiga televisi (MNCTV, RCTI, dan GlobalTV), Global Mediacom memiliki 34 radio
lokal yang mulai diakuisisi sejak 2005. Koran Sindo News (kini tinggal situs
beritanya) dan portal berita Okezone juga masuk kelompok ini.
Dalam buku Tapsell, MNC dicatat punya satu satelit sendiri
yang dibeli pada 2010, dan punya kapasitas 160 kanal. MNC Group punya 19 kanal
TV berbayar, 46 stasiun TV lokal, dan 2,6 juta pelanggan lewat IndoVision,
TopTV, dan OKVision. Pada 2015, ekspansi itu makin besar ketika I-News, stasiun
berita 24 jam, diluncurkan pasca-MNC Group menghabiskan 250 juta dolar AS untuk
membeli 40 fasilitas studio di Jakarta Pusat.
Emtek Group milik Eddy Sariaatmadja, yang didirikan pada
1983 sebagai perusahaan jasa layanan komputer, berkembang jadi konglomerat
digital sejak membeli SCTV pada 2004. Ketika Global Mediacom dan CT Corp sudah
punya lebih dari satu stasiun teve, Sariaatmadja membeli Indosiar dengan
kesepakatan Rp1,6 triliun pada 2011. Alasannya, seperti dikutip Tapsell dari
Forbes: “Kalau kami tidak melakukannya, mungkin kami akan tamat."
Selain ketiga konglomerat digital ini, ada Visi Media Asia
milik Keluarga Bakrie dan Media Group milik Surya Paloh yang digolongkan
Tapsell dalam kelompok pertama.
Visi Media Asia, lewat akuisisinya atas Lativi (kini bernama
TVOne) pada 2007 membentuk konglomerasi dengan ANTV. Pada 2008, Bakrie Group
membeli ArekTV di Surabaya dan koran Surabaya Post. Kemudian, bersama pengusaha
Erick Thohir, keluarga Bakrie mengonvergensi TVOne, ANTV, dan portal berita
online baru Viva.co.id.
Sementara Media Group milik Surya Paloh, meski sudah
dibangun dari investasinya di sejumlah koran sejak 1988 hingga 1990, baru
disebut sebagai kerajaan media setelah mendirikan Metro TV pada 2001. Pada 2014,
untungnya mencapai Rp920 miliar, meski hitungannya masih sedikit bila
dibandingkan TV milik Tanoesoedibjo dan Chairul Tanjung. Paloh juga masih punya
koran nasional Media Indonesia, yang portal onlinenya kini terkonvergensi
dengan metrotvnews.com.
Televisi, faktanya, membantu kelompok pertama bertahan
karena kue iklan yang besar. Menurut riset Nielsen Indonesia tahun 2017, 80
persen dari Rp145 triliun total belanja iklan habis digunakan di televisi. TV
unggul dibandingkan kanal media lain seperti cetak maupun online. Selama
beberapa tahun belakangan, belanja iklan di TV memang stabil menguasai pasar,
bukan cuma tahun lalu saja.
Tidak seperti yang terjadi pada belanja iklan di media
cetak, menurut Tapsell, koran-koran lokal bertahan dengan mengandalkan dana
dari pemerintah daerah.
“Pada beberapa media, ketergantungan akan iklan dari
pemerintah hingga 75 persen. Jadi, kalau pemerintah menghentikan iklan itu,
mereka kemungkinan besar akan kolaps,” ungkapnya.
Sumber :
tirto.id