Regulasi Konglomerasi Media
Di Indonesia, Tak di Indah kan
Fenomena global yang mungkin sedang menjalar ke
Indonesia yang pelu di wasapaadahi adalah Fenomena Konglomerasi Media.
Konglomerasi media terjadi makalala ada konvergensi kepemilikan silang yang terjadi
antara satu industri dengan industri lainnya. Satu perusahaan bisa memiliki
industri televisi, suratkabar, radio, film, musik rekaman, telekomunikasi
sebagai satu kesatuan. Kenapa perlu kita waspadahi ? mari kita bahas.
Edward S. Herman dan Robert W. McChesney dalam bukunya
The Global Media: A New Missionaries to Corporate Capitalism (1997)
menunjukkan bahwa sejak pertengahan tahun 1980-an, industri media global
menunjukkan perkembangan terjadinya kapitalisasi dan industri media yang makin
lama hanya dikuasai oleh beberapa pelaku industri.
Konglomerasi Media adalah penggabungan-penggabungan
perusahaan menjadi perusahaan yang lebih besar yang membawahi banyak media.
Konglomerasi ini di lakukan dengan melakukan korporasi dengan perusahaan media
lain yang di anggap mempunyai visi yang sama. Pembentukan konglomerasi ini
dengan cara kepemilikan saham, joint venture atau merger, atau pendirian kartel
komunikasi dalam sekala besar.
Di Indonesia, ada paparan aturan main atau kebijakan
hukum (legal policy) seputar pemusatan kepemilikan dan penguasaan media
penyiaran atau spirit anti monopoli dalam regulasi penyiaran. Aturan main
tersebut tercantum dalam Undang-Undang (UU) Penyiaran No. 32 Tahun 2002,
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 50 Tahun 2005 tentang Lembaga Penyiaran
Swasta.
Dalam UU Penyiaran No. 32 Tahun 2002 ayat 1, pasal 18
disebutkan bahwa: “Pemusatan kepemilikan dan penguasaan lembaga penyiaran
swasta oleh satu orang atau satu badan hukum, baik di satu wilayah siar maupun
beberapa wilayah siar, dibatasi”.
Selanjutnya Peraturan Pemerintah Nom. 50 Tahun 2005
tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Swasta menyebutkan tentang
pembatasan kepemilikan dan penguasaan atas jasa penyiaran radio dan televisi
dikatakan :
Pasal
31
(1)
Pemusatan kepemilikan dan penguasaan Lembaga Penyiaran Swasta jasa penyiaran
radio oleh 1 (satu) orang atau 1 (satu) badan hukum, baik di satu wilayah
siaran maupun di beberapa wilayah siaran, di seluruh wilayah Indonesia dibatasi
sebagai berikut:
- 1 (satu) badan hukum hanya
boleh memiliki 1 (satu) izin penyelenggaraan penyiaran jasa penyiaran radio;
- paling banyak memiliki saham
sebesar 100% (seratus perseratus) pada badan hukum ke-1 (kesatu) sampai
dengan ke-7 (ketujuh);
- paling banyak memiliki saham
sebesar 49% (empat puluh sembilan perseratus) pada badan hukum ke-8
(kedelapan) sampai dengan ke-14 (keempat belas);
- paling banyak memiliki saham
sebesar 20% (dua puluh perseratus) pada badan hukum ke-15 (kelima belas)
sampai dengan ke-21 (keduapuluh satu)
- paling banyak memiliki saham
sebesar 5% (lima perseratus) pada badan hukum ke-22 (ke dua puluh dua) dan
seterusnya).
- badan hukum sebagaimana
dimaksud pada huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, berlokasi di
beberapa wilayah kabupaten/kota yang tersebar di seluruh wilayah
Indonesia.
(2)
Pengecualian terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c,
huruf d, dan huruf e, memungkinkan kepemilikan saham sebesar 100% (seratus
perseratus) untuk Lembaga Penyiaran Swasta jasa penyiaran radio yang berada di
daerah perbatasan wilayah nasional dan/atau daerah terpencil.
(2) Kepemilikan
1) Kepemilikan
badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa saham yang dimiliki oleh
paling sedikit 2 (dua) orang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
2) Ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat ditinjau kembali untuk disesuaikan dengan perkembangan
teknologi dan kebutuhan informasi masyarakat.
Paragraf 2
Jasa Penyiaran
Televisi
Pasal 32
(1)
Pemusatan kepemilikan dan penguasaan Lembaga Penyiaran Swasta jasa penyiaran
televisi oleh 1 (satu) orang atau 1 (satu) badan hukum, baik di satu wilayah
siaran maupun di beberapa wilayah siaran, di seluruh wilayah Indonesia dibatasi
sebagai berikut:
- 1 (satu) badan hukum paling
banyak memiliki 2 (dua) izin penyelenggaraan penyiaran jasa penyiaran
televisi, yang berlokasi di 2 (dua) provinsi yang berbeda;
- paling banyak memiliki saham
sebesar 100% (sera‑
tus perseratus) pada badan hukum ke-1 (kesatu);
- paling banyak memiliki saham
sebesar 49% (empat puluh sembilan perseratus) pada badan hukum ke-2
(kedua);
- paling banyak memiliki saham
sebesar 20% (dua puluh perseratus) pada badan hukum ke-3 (ketiga);
- paling banyak memiliki saham
sebesar 5% (lima perseratus) pada badan hukum ke-4. (keempat) dan
seterusnya;
- badan hukum sebagaimana
dimaksud pada huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, berlokasi di
beberapa wilayah provinsi yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.
(2)
Pengecualian terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c,
huruf d, dan huruf e, memungkinkan kepemilikan saham lebih dari 49% (empat
puluh sembilan perseratus) dan paling banyak 90% (sembilan puluh perseratus)
pada badan hukum ke-2 (kedua) dan seterusnya hanya untuk Lembaga Penyiaran
Swasta yang telah mengoperasikan sampai dengan jumlah stasiun relai yang
dimilikinya sebelum ditetapkannya Peraturan Pemerintah ini.
(3) Kepemilikan
(4) Kepemilikan
Lembaga Penyiaran Swasta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa saham yang
dimiliki oleh paling sedikit 2 (dua) orang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
(5)
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditinjau kembali untuk
disesuaikan dengan perkembangan teknologi dan kebutuhan informasi
masyarakat.
Bagian Kedua
Pembatasan Kepemilikan Silang
Pasal 33
Kepemilikan
silang antara Lembaga Penyiaran Swasta, perusahaan media cetak, dan Lembaga
Penyiaran Berlangganan baik langsung maupun tidak langsung dibatasi sebagai
berikut:
- 1 (satu) Lembaga Penyiaran
Swasta jasa penyiaran radio dan 1 (satu) Lembaga Penyiaran Berlangganan
dengan 1 (satu) perusahaan media cetak di wilayah yang sama; atau
2.
1 (satu) Lembaga Penyiaran Swasta jasa penyiaran televisi dan 1 (satu) Lembaga
Penyiaran Berlangganan dengan 1 (satu) perusahaan media cetak di wilayah yang
sama; atau
3.
1 (satu) Lembaga Penyiaran Swasta jasa penyiaran radio dan 1 (satu) Lembaga
Penyiaran Swasta jasa penyiaran televisi dengan 1 (satu) Lembaga Penyiaran
Berlangganan di wilayah yang sama.
Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah diatas telah
menggambarkan setidaknya bahwa Indonesia mempunyai sistem regulasi dalam
mengatur dan membatasi kepemilikan media massa, khususnya penyiaran agar tidak
ada konglomerasi media yang pada akhirnya dapat mempengaruhi konten media
tersebut.penyiaran yang menggunakan ranah publik (public domain). Hal
itu untuk menjamin adanya keragaman kepemilikan (diversity of ownership),
keragaman isi (diversity of ownership), dan kebergaman pendapat di media
(diversity of voice). Di sinilah terlihat fungsi regulasi sebagai
pengatur sistem kepemilikkan media
Membahas konglomerasi media tentunya tidak terlepas
dari masalah liberalisasi media itu sendiri. Liberalisasi media di Indoesia
yang terjadi sejak reformasi 1998 telah membawa pengaruh yang sangat penting
dalam proses demokratisasi. Perkembangan yang signifikan adalah dipertegasnya
kebebasan pers dalam konstitusi (UUD 1945) dan Undang-undang Pers, serta
semakin kokohnya liberalisasi ekonomi. Kebebasan atau liberalisasi media juga
memberikan keleluasaan dalam pemilikan media yang oleh pemodal kesempatan
tersebut bergegas dimanfaatkan karena menjadi bagian dari strategi bisnis yang
sangat menguntungkan.
Di Indonesia, peraturan hukum tentang anti monopoli,
pemusatan, dan kepemilikan silang media penyiaran sudah ada dan jelas berlaku
sejak diundangkan, namun dalam praktiknya hingga saat ini, indsutri media
penyiaran masih dikuasai kelompok tertentu.
Setelah tahun 1998, banyak media yang melakukan
konsolidasi guna membentuk konglomerasi media yang lebih besar. Saat ini
setidaknya ada empat 4 nama bos media yang boleh dibilang adu kuat di
industri media yang sarat modal. Sebut saja Chairul Tanjung dengan PT Trans
Corpora (Grup Para), Harry Tanoesoedibjo dengan PT Media Nusantara Citra (MNC
Grup), Aburizal Bakrie dengan PT Bakrie Brothers (VIVA Group) serta Surya Paloh
dengan Media Group. Berbagai media, mulai dari koran, majalah, radio, media on
line, televisi, hingga televisi berlangganan ada di genggaman ke-empat orang
ini. Selain empat orag tersebut, juga ada Jacob Oetama sebagai pemilik
Garamedia Group dan Dahlan Iskan yang memiliki Jawa Pos Group.
Pengelompokkan
konglomerasi media di Indonesia:
- MNC Grup : RCTI, Global TV, dan
MNC TV (TPI), Koran Sindo, Radio Dangdut TPI, MNC Sport, Trijaya (Sindo
FM), Global Radio, Okezone.com, Sun TV, Indovision, Sindo TV, Majalah
Trust, Majalah High n Teen.
- VIVA Group : TVOne, ANTV dan
VIVANews.com
- Surya Citra Media (SCM) :
SCTV, Idosiar, O-Channel, dan Liputan6.com
- Media Group : Metro TV, Media
Indonesia, Lampung Pos.
- Trans Corp : Transs TV, Trans
7, Detik.com
- Berita Satu Media Holding
bekerjasama dengan First Media dan Sitra wimax menaungi 12 media, a.l :
Berita Satu.com, Jakarta Globe, Investor Daily, Suara Pembaruan, Campus
Life.
- Gramedia Group : Kompas Group
(koran2 tersebar di berbagai daerah seluruh Indonesia dengan label Tribun,
misal Tribun Pekanbaru), Tabloit Bola, Tabloit Nova, Kompas.com Kompas TV,
Warta Kota.
- JAWAPOS GROUP : JPNN
(Jawa Pos News Network - kantor berita, JPNN.com), JPMC (Jawa Pos
Multimedia Center), Jawa Pos, Indo Pos, Rakyat MErdeka, Lampu Hijau, Koran
Nonstop. Koran-koran lainnya di bawah grup POS seperti : Tangsel Pos, Riau
Pos dan Koran dengan lebel RADAR seperti Radar Bogor, Radar Purwokerto, TV
Lokal seperti : JTV di Jawa Timur, Riau TVdi Riau, Majalah RM, Tabloid
Nyata.
Dari pengelompokkan konglomerasi media yang ada
terlihatlah bahwa regulasi konglomerasi media penyiaran telah tercantum dalam
UU maupun PP yang ada faktanya tidak terlaksa. Di Peraturan Pemerintah Nom. 50
Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Swasta pada
Paragraf Dua – Jasa Penyiaran Televisi – Pasal 32 telah jelas menyebutkan
ketentuan batasan kepemilikan media, tapi lagi-lagi fakta di atas telah
menjelaskan bahwa ternyata satu orang/ satu badan usaha yang ada memiliki
hampir 100% saham di setiap media yang dimilikinya, dan tentunya masih dalam
satu provinsi ini menampilkan bahwa peraturan ini tak berlaku.
Terkonsentrasinya jumlah kepemilikan terhadap media
menghasilkan sistem yang bekerja untuk mempromosikan pasar bebas global dan
nilai-nilai komersialisasi. Dalam pandangan standar manapun, konsentrasi
kekuatan media yang mengerucut membuatnya sangat berpengaruh. Ini semua
menunjukkan bahwa media dimiliki oleh segelintir saja perusahaan kapitalis.
Meningkatan keuntungan sebanyak-banyakanya adalah tujuan utama yang ingin
dicapai dalam kerangka kapitalisme. Jadi wajar jika konten yang disajikan
dalam berbagai media yang ada lebih banyak bersifaf rekreatif dan jauh dari
kesan edukatif yang dapat meningkatkan moral generasi bangsa, karena pada
hakikatnya media hanya ingin mencari keuntungan materi bukan perbaikan
generasi.
Hal lain yang dipermasalahkan ketika konglomerasi
media ini muncul ialah mengenai opini berita bisa dikuasai oleh beberapa
konglomerasi media, terlebih jika owner media tersebut memiliki kepentingan
tertentu, seperti politik, dsb. Dampak paling nyata adalah penyeragaman
informasi yang disampaikan kepada publik yang bisa mengarah kepada penyeragaman
opini atas suatu fenomena yang disajikan media. Tepatnya, dengan konglomerasi
media menyebabkan kita seperti tidak punya pilihan lain dalam melihat dan
memahami dunia. Semua masalah dunia dilihat dari cara bagaimana pemilik media
melihatnya, kemudian mereka mencoba membingkainya sedemikian rupa seolah hanya
itulah pandangan yang dianggap benar (hegemonik) dan yang lain tentu saja
salah.
Pada buku yang lain, McChesney (1997; 1998; 2000)
menyindir konglomerasi ini sebagai kondisi Rich Media Poor Democracy, meski
menguntungkan secara ekonomi, konglomerasi merupakan ancaman bagi iklim
demokrasi. Demokrasi menghendaki adanya akses kepemilikian media yang merata
dan tidak terpusat segelintir orang atau sekelompok orang dengan agenda
kepentingan masing-masing. Tapi yang terjadi malah sebaliknya.
Dengan berbagai hal inilah, permasalahannya telah jelas
bahwa peraturan-peraturan yang lahir dari sistem demokrasi yang sarat akan
prinsip liberalisme dan kapitalisme inilah akar permasalahan sebenarnya.
Peraturan-peraturan yang dilahirkan demi mewujudkan kebebasan berpendapat dan
berekspresi nyatanya sekarang malah ditakutkan keberadaannya. Takut jika
kongomerasi media hanya bermanfaat dan dimanfaatkan oleh kepentingan tertentu,
dan dapat membungkan kebenaran yang ada. Walau ada “teori” regulasi yang
dibuat, nyatanya itu hanyalah sebagai teori yang tak terealisasi karena
terkalahkan oleh suara para kapitalis.
Tentunya, solusi yang diberikan pun bukan hanya
sekedar “teori” yang tak jelas kapan akan terealisasi, atau jika terealisasi
apakah realisasi tersebut dapat membawa kebaikan untuk seluruh masyarakat atau
tidak. Solusi yang dihadirkan pun tidak hanya solusi parsial, karena
sesunguhnya permasalahan konglomerasi media juga menyangkut kebijakan di sistem
ekonomi yang juga akan merambat ke seluruh sistem yang ada (hukum, sosial
kemasyarakatan, budaya hingga pendidikan) dalam sistem pemerintahannya.
Demokrasi kapitalisme sudah tak mampu diharapakn untuk memberikan solusi.
Anggota Komisi
I DPR Yorris Yawerai mengatakan, konglomerasi media sama sekali tidak berdampak
negatif bagi negara demokrasi. Justru pengelolaan media yang profesional harus
didukung sistem yang kuat dan kokoh. ”Konglomerasi media itu tentu tidak
masalah dalam negara demokrasi. Malah di negara- negara maju itu didorong agar
media yang profesional semakin terbangun melalui pengelolaan dan manajemen yang
kuat,”ungkapnya.
Kalo Konglomerasi tidak ada dampaknya dalam negara
demokrasi, itu menurut teori yang mana ya ? jelas-jelas konglomerasi Media itu
yang merusak tatatan demorasi, manakala kebenaran di ombang ambingkan oleh
pemilik segelintir media. Masyarakat hanya dapat melihat kebenaran palsu yang
sengaja di manipulasi oleh segelintir orang demi kepentingannya.
”UU kita kan nggak melarang adanya pengelolaan media
oleh konglomerat. Media justru semakin kokoh sebagai pilar demokrasi dan
menjadi pembimbing bagi masyarakat,”tegasnya. ??mohammad sahlan.
Ini salah kaprah lagi, pak baca dong pengertian
konglomerasi media. Artinya bukan media yang di miliki oleh konglomerat. Kalo
memang ada konglomerat yang memiliki media tidak ada masalah. Dengan syarat
hanya memiliki satu media dan tidak membentuk suatu konvergensi media dengan
memiliki banyak media yang saling terintegrasi.
Regulasi yang ada seharusnya dilaksanakan dengan
pengawasan. Jangan sampai regulasi yang ada hanya sebagai pajangan, harus di
terapkan dan beri sanksi jika ada saksi tegas kepada yang melanggar.