Konglomerasi Media Ancaman Kebebasan Pers
Sejumlah kalangan mengaku sangat khawatir dengan perkembangan
konglomerasi dalam kepemilikan media massa belakangan ini di Indonesia.
Mereka meyakini, konglomerasi kepemilikan itu sudah sampai pada tahap
mengancam kebebasan pers.
Konglomerasi
Media adalah penggabungan-penggabungan perusahaan media menjadi perusahaan yang
lebih besar yang
membawahi banyak media. Konglomerasi ini dilakukan dengan melakukan korporasi
dengan perusahaan media lain yang dianggap mempunyai visi yang sama. Pembentukan konglomerasi ini dengan cara
kepemilikan saham, joint venture / merger, atau pendirian kartel komunikasi
dalam skala besar, baik intergrasi vertikal, intergasi horisontal maupun kepemilikan silang. Akibatnya kepemilikan media yang berpusat
pada segelintir orang. Contoh dalam hal ini Trans7 dan Trans TV berada pada
payung bisnis yang sama yakni Trans Corp yang dikuasai oleh Chairul Tanjung ,
Global TV, RCTI dan TPI bergabung dalam Group MNC dan bertindak selaku pemilik
di Indonesia adalah hary Tanoesoedibyo, TV One dan ANTV bernaung di bawah
bendera Bakrie Group dengan Boss utama Abu Rizal bakrie, SCTV yang sebahagian
besar sahamnya dimiliki oleh Eddy Sariatmadja, dan yang terakhir Metro TV
dengan Surya Paloh pemimpinnya yang termasyhur karena wajahnya sering
ditampilkan oleh TV yang dimilikinya sendiri.
Kepemilikan berbagai macam perusahaan media massa, baik cetak, online,
maupun elektronik, oleh satu konglomerat tertentu diyakini membatasi
hak publik dalam memperoleh keberagaman informasi, pemberitaan, dan
pandangan, yang sangat diperlukan dalam konteks berdemokrasi.
Sementara
di sisi lain, keberadaan konglomerasi perusahaan media massa juga
dianggap tidak memberi banyak kontribusi pada perlindungan dan
peningkatan kesejahteraan para pekerja pers. Perusahaan juga diketahui
sangat alergi terhadap keberadaan serikat pekerja media massa yang ada.
Penilaian
tersebut terungkap dalam diskusi di Dewan Pers, Rabu (3/3/2010), yang
digelar Aliansi Jurnalis Independen (AJI) bersama Dewan Pers, dengan
tema "Konglomerasi Media: Ancaman atau Peluang bagi Kebebasan Pers".
"Akibat
konglomerasi dan kekuasaan modal yang semakin tak
tertahankan, keberadaan pemilik media massa di ruang redaksi menjadi
sangat dominan. Mereka bahkan mampu mencengkeram media massa, yang
sebenarnya selama ini bersikap independen," ujar Direktur Eksekutif
Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP) Ignatius Haryanto.
Selain
Haryanto, turut hadir sebagai pembicara, antara lain Abdul Manan
(Federasi Serikat Pekerja Media Independen) dan anggota Dewan Pers
Bambang Harimurti. Juga datang sejumlah perwakilan pekerja media, yang
beberapa waktu belakangan terkena dampak mengalami pemutusan hubungan
kerja (PHK) sepihak.
Lebih lanjut, menurut Haryanto, praktik
konglomerasi perusahaan media massa juga menciptakan berbagai kondisi
merugikan lain, terutama ketika media massa kemudian hanya dijadikan
sekadar corong demi kepentingan politik dan bisnis sang pemilik modal.
Dalam
kondisi seperti itu, media massa dan pemberitaan yang dihasilkan
menjadi sangat bias serta cenderung berbohong kepada publiknya. Bahkan,
dalam beberapa kasus diketahui telah terjadi semacam ”malapraktik”
pemberitaan media massa.
Pemberitaan dimanfaatkan oleh pemilik
modal untuk menekan kelompok lawan, baik untuk kepentingan politik
maupun bisnis, dari sang konglomerat atau bahkan untuk mempromosikan dan
menguntungkan kelompok bisnisnya sendiri.
”Selain itu, bisa
dibilang, perilaku pemilik media hampir rata, mereka sama-sama
antiserikat pekerja dan mudah resah ketika para pekerja media massa
mencoba bersatu membela kepentingannya. Belum apa-apa para aktivis
serikat pekerja disingkirkan dengan berbagai alasan,” ujar Haryanto.
Padahal
dalam perkembangannya, praktik konglomerasi justru merugikan dan itu
tampak dalam sejumlah kasus seperti fenomena perkembangan multimedia di
mana wartawan dituntut tidak hanya bekerja dalam satu moda industri,
misal untuk media cetak saja, melainkan juga untuk beragam moda
pemberitaan lain.
”Para pengusaha menyebutnya media konvergensi
atau sinergi media. Namun, pada praktiknya wartawan diharuskan bekerja
membuat berita dalam berbagai format mulai dari online, cetak,
dan elektronik. Sementara di sisi lain, kesejahteraan mereka sama sekali
tidak menjadi lebih baik dengan beban kerja yang bertambah itu,” ujar
Haryanto.
Dalam kesempatan yang sama, anggota Dewan Pers Bambang
Harimurti menilai konglomerasi media bisa jadi merugikan, tetapi di sisi
lain bukan tidak mungkin pula bisa menguntungkan dan memberi peluang
bagi kebebasan pers. Namun, semua itu tergantung pada pengaturan yang
ada dan bagaimana aturan itu dilaksanakan.
Kelebihan konglomerat,
menurut Bambang, memiliki kemampuan modal yang kuat sehingga mampu
merugi dalam waktu lama untuk merebut pasar. Selain itu, dukungan modal
kuat juga bisa diikuti kemampuan membayar gaji pengelola dengan baik dan
juga membiayai pelatihan.
”Peraturan harus mampu menciptakan
persaingan sehat, keberadaan media publik yang independen, transparansi
kepemilikan akhir, keberimbangan posisi pemilik dan pengelola media,
pemisahan penyedia infrastruktur dengan penyedia isi, dan keberagaman
pers,” ujar Bambang.
Aturan Konglomerasi Media Di Indonesia
Intervensi Pemilik Media "Konglomerasi Media"
Bahaya Konglomerasi Media
Dampak Konglomerasi Media
Regulasi atau Aturan Konglomerasi Media Di Indonesia
Konglomerasi Media Di Indonesia
Konvergensi Media dan Peran Pemilik Media