Televisi, Media dan Politik
Media massa khusunya TV saat ini menjadi primadona
di kalangan masyarakat dibandingakn dengan media lain seperti koran dan radio.
Hampir setiap hari masyarakat selalu menonton TV, baik daerah perkotaan maupun
yang tinggal di perdesaan. TV menjadi sarana informasi yang selalu terdepan
dalam memberitakan berbagai hal yang terjadi di masyarakat. Hal ini sangat disadari oleh pemilik media
yang juga ketua partai politik. Dalam konteks media dan politik, ada premis
yang berbunyi “siapa yang memiliki media massa, ia akan menguasai politik.” Hal
ini terbukti terjadi di Italia. Mantan Perdana MenteriItalia,Silvio Berlusconi
merupakan pemiliksebuah perusahaanmedia, dan dia dapat menguasai politik.
Kekhawatiran banyak kalangan terkait potensi tidak
proporsionalnya berita politik dalam media penyiaran, tampaknya benar-benar
terjadi. Hari ini secara kuantitas, potensi dukungan media televisi kepada
capres Jokowi-Ma’ruf lebih besar dibandingkan dengan capres Prabowo-Uno. TV
ONE, dan ANTV, dekat ke Prabowo-Uno,
sementara MNC TV, Global TV, RCTI, Metro
TV ke Jokowi-Ma’ruf. Yang menarik, ruang-ruang diskursif politik tidak sebatas
bermodal dana kampanye yang menggunung, tetapi sekaligus oleh modal stabilitas
media dalam menopang citra personal calon. Arus deras dukungan media televisi,
menjadi satu magnet tersendiri, sebab siapa yang menguasai media, maka ia
berpotensi menguasi suara. Politik media adalah gerakan strategis untuk
mendapatkan kemenangan yang telah digaris.
Keberpihakan media dalam skala politik tentu bukan
sesuatu yang instan dan tanpa sebab. Para pemangku kebijakan dalam industri
media--dalam hal ini pemilik media--telah sejak awal menisbatkan kiprahnya
dalam pusaran politik praktis. Sehingga, keberpihakan media terhadap salah satu
calon, tidak ditentukan oleh nalar dan kadar profesionalitas jurnalisme, tetapi
oleh kepentingan partikular pemilik media. Di sini, media televisi terancam
menjadi mobilitas politik yang mengabaikan netralitas media sebagai penghubung
kepentingan publik.
Kita analisa secara sederhana,
Kedekatan Chaerul Tanjung dengan megawati
mengindikasikan gerbong yang dibekangnya
Trans7, Trans TV dan detik.com berada pada payung bisnis yang sama yakni
Trans Corp Mendukung PDIP artinya Jokowi, tetapi walau masih abu-abu
Pernyataan Hary Tanoesoedibyo yang dukung Jokowi,
memastikan Global TV, RCTI, TPI bergabung dalam Group MNC, Sindo TV, MNC TV,
Koran Sindo, Trust, MNC Radio pasti dukung Perindo, perindo Pro Jokowi
Abu Rizal bakrie juga dukung prabowo, TV One dan
ANTV bernaung di bawah bendera Bakrie Group pasti dukung Golongan Karya, tetapi
menurut Tirto.id masih setia mendukung Prabowo
SCTV dan Indosiar
yang sebahagian besar sahamnya dimiliki oleh Eddy Sariatmadja ini dukung
siapa ya ? abu-abu
Metro TV dan media Indonesia dengan
bergabungnya Surya Paloh (nasdem ke
PDIP) Jelas akan dukung jelas NAsdem dan PDIP, dipastikan mendukung Jokowi
Namun hal ini tidak berlaku bagi wartawan. Seorang
wartawan memang menyuarakan berbagai fenomena di masyarakat dan tetap bersikap
netral tidak menjadi media corong dari petinggi parpol. Anggapan menyamakan
wartawan corong dari partai tentu merendahkan derajat seorang wartawan yang
bekerja pada instusi media. Wartawan yang profesional memegang kode etik
jurnalisme dalam mencari betrita. Wartawan sebagai kuli tinta setiap hari
mencari berita untuk masyarakat, bukan robot yang dapat disetir dan
dikendalikan para pemilik kepentingan.
Kedua kekuatan media yaitu TVOne dan MetroTV,
apabila tidak disadari oleh media lain, tentu akan menjadi saingan politik yang
tidak seimbang. Para penguasa partai politik seharusnya dapat memanfaatkan
media dalam bentuk pemberitaan yang berimbang, namum dalam prakteknya hal itu
sulit terlaksana. Terlihat adanya perbedaan yang menonjol dalam kampanye iklan
antara parpol yang kaya dan parpol yang miskin. Namun sepertinya dewan pers
maupun Komisi Penyiaran Indonesia belum bertidak secara serius menangani hal
ini.
Secara teorits, pers sebaiknya tidak memihak, harus
independent dan kredibel dalam memberitakan informasi kepada masyarakat. Namun
prakteknya, pers sering mempunyai kepentingan apalagi jika menyangkut petinggi
partai yang menyokong dana media cetak atau media penyiaran seperti TV atau
radio.
Dalam pemberitaannya, media harus mengedepankan
prinsip obyektif, independen dan berimbang. Namun seperti yang pernah
disampaikan Jakob Oetama dalam pidato pengukuhan gelar doktor honoris causa
dari Universitas Gajah Mada, “obyektivitas media massa merupakan obyektivitas
yang subyektif.” Bisnis industri televisi memang menggiurkan dan sarat akan nilai
kapitalisme. Pengusaha yang mempunyai modal besar dapat menggelontorkan uangnya
untuk membangun sebuah media penyiaran yang nantinya dapat mendukung kegiatan
dan sarana kampanye parpol.
Konglomerasi Media adalah penggabungan perusahaan
media menjadi perusahaan yang lebih besar yang membawahi banyak media.
Konglomerasi ini dilakukan dengan melakukan korporasi dengan perusahaan media
lain yang dianggap mempunyai visi yang
sama. Pembentukan konglomerasi ini dengan cara kepemilikan saham, joint
venture / merger, atau pendirian kartel komunikasi dalam skala besar baik
intergrasi vertikal, intergasi horisontal maupun kepemilikan silang.
Intinya adalah kepemilikan media pada hanya
segelintir orang saja, membentuk sebuah gurita media karena satu orang
menguasai berbagai media. Mungkin bagi kebanyakan orang nampaknya hal ini sah-sah saja, karena
setiap orang pasti akan selalu berusaha untuk mengembangkan usahanya. Tetapi
ternyata konglomerasi mempunyai dampak yang luar biasa berbahaya bagi
masyarakat, karena dapat membentuk opini tertentu yang tidak sehat, sterotipe
pada suatu hal tertentu dan lain-lain.
Konglomerasi Media di Indonesia menyebabkan satu
orang dapat menguasai banyak media, sehingga orang tersebut dapat mengendalikan
berbagai media dalam satu waktu, dari kebijakan yang harus dianut, berita mana
yang layak di publikasikan, nilai-nilai yang dianut dan sebagainya. Akibatnya
jika media yang tergabung dalam satu group tertentu maka berita dan informasi
yang disampaikan akan homogen. Selain itu berita yang disampaikan hanya berita
yang dianggap menguntungan secara ekonomi bagi media atau pemilik media
tersebut. Akhirnya berita tidak lagi dinilai dari seberapa besar nilai
beritanya, tetapi berapa banyak keuntungan yang akan didapatkan dari pemuatan
berita tersebut. Sebetulnya ini merupakan tanda-tanda bahwa regulasi atau peraturan yang mengatur tentang
kepemilikan media tidak berjalan dengan baik. Padahal konglomerasi media
berbahaya dan mengancam kebebasan pers.
Dalam tulisannya, Waren Breed (1955) Social control
in The Newsroom , menegaskan bahwa gelombang media penyiaran pada akhirnya akan
surut ketika politik telah masuk menjadi kanker kehidupan media massa, terutama
televisi. Televisi menjadi sebuah black box karena sarat kepentingan politik
yang turut menentukan arah pemberitaan.
Kerja televisi tidak sebatas berkutat pada proses linear, sekadar
langkah-langkah kegiatan memproduksi berita. Tetapi, oleh ambisi politik salah
satu kandidat yang dipaksakan.
Televisi telah menjelma menjadi dua arus besar. Pertama,
televisi memainkan peran sebagai alat politik (political tool) terhadap
kandidat, kemudian pada saat yang sama pendukung kritis (critical supporter)
bahkan pembengkang (spoiler)terhadap
kandidat lain yang dianggap sebagai lawan. Ekspektasi ini akan mencederai
gugus politik yang berkembang. Setidaknya bagi mereka yang tidak memiliki
banyak dukungan dari media televisi akan berpotensi menjadi sasaran empuk
instabilitas sebuah citra. Jika pada rezim Orde Baru televisi seperti RCTI,
SCTV, dan Indosiar, harus mendukung penuh program pemerintah dan partai politik
tertentu karena terancam oleh gerakan Represif State Aparatus, tetapi justru
kini setelah semuanya bebas dan aman media menjelma menjadi penopang strategis
gerakan politik.
Referensi
Rohim, Syaiful. 2009. Teori Komunikasi. Rineka Cipta, Jakarta
Littlejhon, Stepen W, Foss, Karen A. 2009. Teori Komunikasi, Salemba Humanika, Jakarta
Yasir. 2009. Pengantar Ilmu Komunikasi, Wita Irzani, Pekanbaru