Televisi Merusak Moral
Mungkin banyak yang akan bertanya, apa hubungan antara degradasi moral dan
televisi ? mari kita bahas satu persatu.
Degradasi moral adalah penurunan
tingkah laku manusia akibat tidak mengikuti hati nurani Karena kurangnya
kesadaran diri terhadap kewajiban mutlak. Degradasi artinya menurun sedangkan
moral adalah nilai-nilai positif. Memang sengaja tidak saya jabarkan satu
persatu. Untuk mudah dalam membayangkan degradasi moral saya contohkan
demikian. Seseorang saling memberikan salam dan tegur sapa itu baik, tapi yang terjadi saat ini orang
orang terlalu sibuk dengan gadget nya sampai tidak tahu ada yang datang atau
menghampirinya.
Guru itu harus dihargai dan dihormati, dengan bertutur kata
yang baik, menjaga sopan santun ketika bertemu dengan beliau, yang banyak
terjadi seorang siswa sma sederajat di kota besar mengangap guru seperti teman sebaya, berperilaku
seenaknya, tidak menghargai apa lagi menghormati beliau.
Baru saja terjadi, Seorang murid SMA di Madura membunuh gurunya dan di Banjarnegara seorang murid menantang Kepala sekolahnya. Seorang siswa baiknya
berpakaian seragam rapi, baju dimasukkan dan terlihat bersih dan terpelajar,
yang terjadi jika tidak ada guru, baju dikeluarkan, ada yang memakai rok
pendek, bak model, sengaja dipotong dll. Perilaku-perilaku yang jika dipandang
secara nilai kesopanan, etika, nilai ketimuran tidak tepat.
Lalu apa hubungannya dengan televisi? Apakah yang salah hanya televisi ?
memang tidak semua salah televisi, karena degradasi moral itu banyak sekali
faktor yang mendasari. Misal Faktor keluarga yang tidak mendidik anak secara
benar, faktor lingkungan yang tidak mendukung, sekolah yang tidak baik, penggunaan
teknologi yang tepat dan yang terakhir televisi. Kenapa televisi ? mari kita bahas.
Teori Komunikasi Dampak Televisi
TEORI KULTIVASI (GEORGE GERBNER) Teori Kultivasi merupakan bagian dari teori komunikasi yang
membahas efek dari komunikasi massa, teori ini dikembangkan oleh George
Gerbner. Teori Kultivasi ini muncul untuk meyakinkan orang bahwa efek media
massa lebih bersifat kumulatif dan lebih berdampak pada tataran social budaya
dari pada individual.
Teori Kultivasi ini juga memberikan gambaran bahwa efek
media massa tidak secara langsung menerpa khalayak. definisi: Menurut teori
kultivasi ini, televisi menjadi media atau alat utama dimana para penonton
televisi belajar tentang masyarakat dan kultur dilingkungannya. Dengan kata
lain, persepsi apa yang terbangun di benak pemirsa tentang masyarakat dan
budaya sangat ditentukan oleh televisi. Ini artinya, melalui kontak pemirsa
dengan televisi, mereka belajar tentang dunia, orang-orangnya, nilai (nilai
sosial) serta adat dan tradisi nya. Menurut Miller (2005: 282), teori kultivasi
tidak dikembangkan untuk mempelajari "efek yang ditargetkan dan spesifik
(misalnya, bahwa menonton Superman akan mengarahkan anak-anak untuk mencoba
terbang dengan melompat keluar jendela) melainkan dalam hal akumulasi dan
dampak televisi secara menyeluruh, yaitu bagaimana masyarakat melihat dunia
dimana mereka hidup ". Oleh karena itu disebut 'Analisis Budaya'. Gerbner,
Gross, Morgan, & Signorielli (1986) berpendapat bahwa meskipun agama atau
pendidikan sebelumnya telah berpengaruh besar pada tren sosial dan adat istiadat,
namun sekarang ini, televisilah yang merupakan sumber gambaran yang paling luas
dan paling berpengaruh dalam hidup. sehingga televisi merupakan gambaran dari
lingkungan umum kehidupan masyarakat.
Teori Kultivasi dalam bentuk yang paling
dasar menunjukkan paparan bahwa sesungguhnya televisi dari waktu ke waktu,
secara halus "memupuk" persepsi pemirsa tentang kehidupan realitas.
Teori ini dapat memiliki dampak pada pemirsa TV, dan dampak tersebut akan
berdampak pula pada seluruh budaya kita. Gerbner dan Gross (1976) mengatakan
"televisi adalah media sosialisasi kebanyakan orang menjadi peran standar
dan perilaku. Fungsinya adalah satu, enkulturasi".
Televisi memang sudah
sangat melekat dikehidupan kita sehari-hari. Dari televisilah kita belajar
tentang kehidupan dan budaya. Tontonan seperti acara sinetron maupun reality
show yang sering menunjukkan kekerasan, perselingkuhan, kriminal, dan lain
sebagainya akan dianggap sebagai gambaran bahwa itulah yang sering terjadi di
kehidupan realita. Padahal belum tentu semua yang terdapat pada tayangan itu
adalah kejadian-kejadian yang sering terjadi dikehidupan kita. Karena jika
ditelaah, semua yang terdapat pada reality show atau sinetron adalah hasil dari
skenario belaka. Lebih jauh dalam Teori Kultivasi dijelaskan bahwa pada
dasarnya ada 2 (dua) tipe penonton televisi yang mempunyai karakteristik saling
bertentangan/bertolak belakang, yaitu (1) para pecandu/penonton fanatik (heavy
viewers) adalah mereka yang menonton televisi lebih dari 4(empat) jam setiap
harinya. Kelompok penonton ini sering juga disebut sebagai khalayak ‘the
television type”, serta 2 (dua) adalah penonton biasa (light viewers), yaitu
mereka yang menonton televisi 2 jam atau kurang dalam setiap harinya. Dan teori
kultivasi ini berlaku terhadap para pecandu / penonton fanatik, karena mereka
semua adalah orang-orang yang lebih cepat percaya dan menganggap bahwa apa yang
terjadi di televisi itulah dunia senyatanya.
Pada dasarnya, Teori Kultivasi
pertama kali di kemukakan oleh George Gerbner bersama rekan-rekannya di
Amenberg School of Communication di Pennsylvania pada tahun 1969, dalam sebuah
artikel yang berjudul “the television of violence” yang berisikan bagaimana
media massa khususnya televisi menampilkan adegan-adegan kekerasan di dalamnya.
Teori kultivasi ini muncul dalam situasi pada saat terjadi perdebatan antara
kelompok ilmuwan komunikasi yang meyakini bahwa efek sangat kuat dari media
massa. Teori Kultivasi muncul untuk meyakinkan orang bahwa efek media massa
lebih bersifat kumulatif dan lebih berdampak pada tataran social budaya
ketimbang individual.
Signorielli dan Morgan pada tahun 1990 mengemukakan bahwa
analisis kultivasi merupakan tahapan lanjutan dari penelitian efek media yang
sebelumnya dilakukan Gerbner yaitu “Cultural Indicator” yang menyelidiki Proses
institusional dalam produksi isi media, image atau kesan isi media serta
hubungan antara terpaan pesan televisi dengan keyakinan dan perilaku khalayak.
Dalam penelitian lanjutan yang dilakukan oleh Gerbner diketahui bahwa penonton
Televisi dalam kategori berat mengembangkan keyakinan yang berlebihan mengenai
dunia sebagai tempat yang berbahaya dan menakutkan. Sedangkan kekerasan yang
mereka saksikan di Televisi menambah ketakutan sosial yang membangkitkan
pandangan bahwa lingkungan mereka tidak aman dan tidak ada orang yang dapat
dipercaya. KAJIAN TEORI KULTIVASI Teori Kultivasi menganalisis tayangan
televisi telah menjadi teman keseharian oleh kebanyakan orang dalam keluarga di
amerika serikat, karena Teori ini memprediksikan dan menjelaskan pembentukan
persepsi, pemahaman, dan keyakinan jangka panjang tentang dunia ini sebagai
hasil dari mengkonsumsi isi media. Gerbner (1999) mengemukakan bahwa “sebagian
besar yang kita ketahui, atau yang kita pikir kita ketahui, adalah tidak pernah
kita alami sendiri”. Banyak hal yang kita ketahui itu karena yang kita lihat
dan kita dengar dari media. Teori Kultivasi terus mengalami evolisi
bertahun-tahun lamanya, melalui serangkaian metode dan teori yang dilakukan ole
h Gerbner dan rekan-rekannya.
ASUMSI DASAR TEORI KULTIVASI Terdapat tiga asumsi
dasar teori kultivasi yang dikemukakan oleh Gerbner yaitu : 1). Secara Esensial
Dan Fundamental Televisi Berbeda Dengan Media Yang Lain. Asumsi ini menunjukkan
bahwa spesifikasi keunikan dari Televisi yaitu kelebihan Televisi menjadikannya
istimewa seperti televise tidak memerlukan sederetan huruf-huruf seperti halnya
media cetak lainnya, televisi bersifat audio dan visual yang dapat dilihat
gambar dan suaranya, Televisi tidak memerlukan Mobilitas atau memutar tayangan
yang disenangi dan karena aksesibilitas dan avaibilitasnya untuk setiap orang
membuat Televisi menjadi pusat kebudayaan masyarakat kita. 2). Televisi
Membentuk Cara Kita Berfikir Dan Berhubungan. Asumsi ini masih berkaitan dengan
pengaruh tayangan Televisi, pada dasarnya Televisi tidak membujuk kita untuk
benar-benar meyakini apa yang kita lihat di Televisi, berdasarkan asumsi ini,
Teori Kultivasi mensuplay alternative berfikir tentang tayangan kekerasan di
Televisi. 3). Televisi Hanya Memberi Sedikit Dampak. Asumsi yang terakhir ini
mungkin agak berbeda dengan asumsi dasar Teori Kultivasi, namun Gerbner
memberiikan analogi ice age untuk memberi jarak antara teori kultivasi dan
asumsi bahwa Televisi hanya memberikan sedikit efek atau dampak. Dalam analogi
ice age menganggap bahwa Televisi tidak harus mempunyai dampak tunggal saja
akan tetapi mempengaruhi penontonnya melalui dampak kecil yang tetap konstan.
Anak-anak
"Kalau
saja lihat anak-anak sekarang itu seharian bisa duduk di (depan) televisi, mau
acara apapun itu mereka lihat. Kalau saja acaranya mendidik, itu tidak apa-apa.
Namun faktanya 60 persen acara tidak mendidik. Mau jadi apa generasi bangsa
ini. Dan fakta ini hampir merata dari kota sampai ke kampung,” kata mantan
ASOPS TNI ini.
Selama ini
dia mengakui bahwa aduan dari masyarakat terus membanjiri KPI terhadap
konten-konten yang dianggap tidak pantas.
Televisi sebagai
kebutuhan primer.
Tidak dapat
dipungkiri, kemajuan jaman yang terjadi sekarang ini memberikan kemudahan serta
mampu mendekatkan yang jauh. Di era informasi sekarang, televisi sepertinya
telah menjadi kebutuhan hidup. Hampir disetiap rumah memiliki telivisi sebagai
akses terhadap informasi utama mereka. Tidak hanya itu saja, televisi juga
dijadikan sarana hiburan murah meriah bagi keluarga. Beragam program dan acara
disuguhkan untuk memberikan informasi terbaru ataupun sekedar memberikan
hiburan di waktu senggang. Walau kini telah ada internet, namun dominasi
televisi sebagai sumber informasi dan hiburan yang murah meriah belum dapat
tergantikan. Rasa-rasanya, masyarakat tidak mampu untuk hidup sehari saja tanpa
televisi.
Komersialisasi
yang tidak dibarengi dengan tanggung jawab moral.
Pada awal
kemunculan televisi, masyarakat harus membayar untuk dapat menikmati siaran
berita atau acara kesenian yang disiarkan oleh TVRI sebagai satu-satunya
stasiun televisi kala itu. Pada masa itu, acara televisi pun dapat dihitung
dengan jari. Namun walaupun sedikit, acara-acara yang disajikan berisikan nilai
moral, sejarah maupun perjuangan yang positif. Saat ini, tidak kurang 15
stasiun televisi lokal dan nasional dapat kita nikmati. Tak kurang ratusan
acara televisi dapat kita tonton nonstop 24 jam dan perlu lagi harus membayar
iuran apapun. Kita hanya harus merelakan waktu menonton kita disela oleh iklan
sebagai gantinya. Tak dapat dipungkiri, televisi kini telah menjadi lahan
bisnis yang menguntungkan bagi mereka yang mempunyai modal besar.
Komersialisasi
televisi saat ini sesungguhnya memberikan keuntungan yang besar bagi kita
selaku penonton. Setiap stasiun televisi berlomba-lomba menyugukan tayangan
terbaik mereka mulai dari berita, film hingga acara-acara hiburan.
Tayangan-tayangan tersebut sejatinya sangat bagus bila dikemas secara bertanggung
jawab dan mendidik. Namun sayangnya, persaingan bisnis yang makin ketat membuat
para stasiun televisi berlomba-lomba mengejar target iklan serta
mengesampingkan tanggung jawab moral. Banyak sekali tayangan dan tontonan yang
kurang mendidik, mempertontonkan akhlak yang buruk serta hanya menampilkan gaya
hidup hedonis yang siap meracuni para penontonnya terutama remaja dan pemuda.
Rendahnya
standard pengawasan membuat beberapa tayangan televisi berkualitas sangat
rendah.
Sebenarnya
untuk membendung komersialisasi tayangan yang hanya menguntungkan pengusaha
(pemilik stasiun televisi), di Indonesia telah ada lembaga khusus yang bertugas
mengawasi tayangan maupun siaran televisi. Setidaknya ada 2 lembaga yang
bertanggung jawab akan kualitas tayangan yang kita tonton yaitu Lembaga Sensor
Indonesia (LSI) dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Namun sampai saat ini,
peran kedua lembaga tersebut kurang maksimal. Masih banyak tayangan-tayangan
yang tak layak dan tidak mencerminkan budaya Indonesia sebagai negeri timur
yang santun.
Belum adanya
regulasi dan standard yang pasti akan mutu tayangan menjadi sebab banyaknya
tayangan yang tidak layak justru malah tayang dan bahkan digemari oleh
masyarakat. Sebagai contoh dalam hal berpakaian, seorang pelajar yang baik akan
memasukkan bajunya kedalam celana atau rok serta bagi siswi mengenakan rok
dibawah lutut. Namun kenyataannya, dalam berbagai tayangan dan hampir 100
persen -baik film maupun sinetron- nilai-nilai tersebut seperti diabaikan. Yang
ada justru para siswa memakai pakaian tidak rapi, sementara siswinya berpakaian
bak model yang mengenangkan rok mini dan pakaian ketat yang sangat tidak
mencerminkan nilai-nilai seorang pelajar. Tayangan-tayangan yang tidak bermutu
inilah yang secara sadar atau tidak dicontoh dan ditiru generasi muda -terutama
pelajar- kita.
Memang tidak
dapat dipungkiri, peran KPI dan LSI dalam membendung tayangan yang negatif
sangat besar. Telah banyak tayangan yang diberikan teguran bahkan sampai
dihentikan penayangannya oleh KPI. Namun yang sangat disayangkan, penghentian
penayangan sering kali bukan karena inisiatif dari KPI sendiri namun karena
banyaknya komplain dari masyarakat.
Peran
Televisi dalam degradasi moral Penerus Bangsa.
Kebutuhan
masyarakat akan televisi sebagai media hiburan yang murah, tidak didukung oleh
regulasi yang jelas untuk menjaga kualitas tayangan televisi tersebut.
Akibatnya, sebagian besar acara televisi pada jam utama (prime time) berisikan
tanyakan yang tidak mendidik. Disadari atau tidak, tayangan ini telah merasuk
dan membekas dalam ingatan para remaja. Dan tidak bisa dipungkiri, degradasi
moral remaja yang terjadi saat ini tidak bisa dilepaskan dari peran televisi.
Tidak hanya itu, cara berpakaian, tingkah laku dan gaya hidup remaja saat ini
telah berkiblat ke televisi sampai mereka tidak lagi memiliki jati diri.
Ketika para
remaja mengalami krisis jati diri dan kepribadian, maka sangatlah mudah bagi
mereka terombang-ambing mengikuti apapun yang mereka lihat dan denger tanpa
adanya filter yang membendungnya. Mudah bagi mereka meniru cara berpakaian,
gerakan, tutur kata bahkan tingkah laku idolanya di televisi. Tidak kah kita
sedih melihat generasi penerus bangsa ini tidak memiliki kebanggaan sama sekali
terhadap diri dan jati diri bangsanya?
Pemerintah dan
Keluarga bertanggung jawab dalam memfilter tayangan di televisi.
Sudah saatnya
kita semua sadar dan bertanggung jawab terdahap apa yang mereka dengar dan
lihat. Pemerintah harus membuat peraturan yang tegas tentang tontonan di
televisi. Tidak hanya itu saja, peran serta keluarga sangatlah penting. Jangan
biarkan anak-anak kita menonton televisi sendirian tanpa ditemani oleh orang
dewasa yang bertanggung jawab. Kesadaran akan pentingnya memfilter tayangan
anak harus ditumbuhkan dalam keluarga agar tercipta iklim yang sehat bagi
tumbuh kembang anak.
Mereka adalah
cerminan masa depan bangsa. Mereka adalah cerminan masa depan bangsa Menjamin
kualitas tontonan mereka adalah bukti tanggung jawab kita akan keberlangsungan
bangsa ini. Keceriaan mereka adalah cerahnya masa depan, jangan biarkan
keceriaan mereka direnggut oleh tontonan yang tidak bermutu dan mendidik.
Mereka adalah cerminan masa depan bangsa.
Belajar
Media massa tidak hanya menyuguhkan informasi mengenai
peritiwa, tetapi juga pengetahuan. Contoh kita belajar memasak lewat acara
memasak, atau belajar bertani lewat acara pertanian. Kita mendapatkan ilmu
pengetahuan dari televisi, tetapi anehnya kadang lewat televisi kita belajar
sesuatu yang sebenarnya kita tidak berniat untuk belajar.
Bandingkan jumlah pasangan yang bercerai lebih banyak mana,
sebelum dan sesudah menjamurnya berita perceraian artis yang di tayangkan pada
acara intertaiment.
Bandingkan jumlah kekerasan seks pada anak dan kasus
mutilasi, sebelum dan sesudah banyak nya berita mengenai hal tersebut.
Ketika kita mendengar, melihat, membaca media massa, kita tanpa sadar belajar sesuatu
yang bahkan tidak ingin kita pelajari. Siapa yang ingin belajar mengenai
kekerasan seks pada anak atau siapa orang yang hendak memutilasi orang beserta
cara untuk membuang jasad korbannya agar tidak ketahuan.
Ketika kita melihat acara atau berita negatif di televisi, tanpa sadar kita juga merekam informasi tersebut. Lambat laun informasi tersebut kita terima dan kita belajar dari sana. Perilaku yang di gambarkan dalam setiap adegan yang di suguhkan itu, lambat laun pun kita akan mempercayai bahwa itu sesuatu yang benar, walupun kita tahu adegan yang ada di sana ada lah suatu skenario atau sesuatu yang tidak baik kita tiru.
Menonton televisi lebih dari 4 jam sehari dan menonton tayangan yang negatif (kekerasan, berita kriminal, pornografi, dll) tanpa sadari berdampak terhadap cara pandang kita terhadap dunia. Kita akan mempercai apa yang ada dalam tayangan tersebut dan kita mempraktekkan hal negatif yang ada di sana. Tanpa sadar sikap dan perilaku yang digambarkan dalam televisi akan kita tiru dan kita anggap sebagai realita. Moral pecandu televisi yang berat, moralnya seperti moral yang dia tonton.
Masih berfikir menonton tayangan negatif televisi tidak berbahaya ?